Lebih kurang 30 tahun hidup dalam keterasingan, rasa cinta kepada Aceh mengalahkan segalanya. “Saya pulang demi sejarah.” Sebuah kalimat penegas yang keluar dari bibir Tengku Hasan Muhammad di Tero.
Sorang pria lanjut usia duduk di sebuah sofa, mengenakan jas abu-abu dengan dalaman kemeja putih berdasi hitam, lengkap dengan kaca mata. Rambutnya sudah memutih. Kulit tubuhnya keriput. Dia mendekatkan telinganya untuk mendengar lebih jelas pertanyaan dari wartawan, saat dia tampil dalam sebuah sesi wawancaya—ditayangkan oleh stasiun televisi nasional Metro TV.
Dia batuk. Lalu berkata, “Sejarah Aceh adalah segalanya, dan kita mengetahui itu dari dulu,” katanya dengan nada suara berat, serak, menjwab pertanyaan itu menggunakan Bahasa inggris.
Sudah terlalu tua bagi Tengku Hasan Muhammad di Tero, untuk tampil menjawab pertanyaan wartawan. Namun, kalimat yang keluar dari bibirnya, syarat dengan ‘perjuangan panjang dan betapa cintanya ia pada tanah kelahirannya, Aceh.’
Bertuahpos.com memutar kembali video rekaman wawancara itu pada, Senin, 23 Mei 2022. Kebetulan, video yang diunggah oleh akun channel youtube Aceh New Project itu, muncul di mesin pencarian Google ketika ditelusuri dengan kaakunci ‘Hasan di Tero’. Video itu sudah diunggah 4 tahun yang lalu.
“Saya pulang demi sejarah. Tidak lebih dari itu,” tuturnya.
“Apa pesan khusus yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat Aceh?”.
“Bagi masyarakat Aceh, ada banyak hal yang wajib kita teriakkan lagi. Demi Aceh di masa mendatang.”
Namun, ekspresi wajah Hasan di Tero berubah tatkala mendengar pertanyaan, “Apa pesan khusus Anda untuk Pemerintah Indonesia?”. Dari balik raut wajah ringkih itu, dia mengeluarkan satu pernyataan singkat, namun tegas. “Itu cerita yang berbeda,” tuturnya.
Siapa Tengku Hasan Muhammad di Tero
Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, punya gelar akademis M.S., M.A., LL.D., Ph.D. Pria kelahiran 25 September 1925 itu adalah pendiri Gerakan Aceh Merdeka. Dia juga Wali Nanggroe Aceh ke-8. Anak ketiga dari keturunan Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro—Pahlawan Nasional yang memimpin perang melawan Belanda pada tahun 1890-an.
Pria yang lahir di Gampong Tiro, Kabupaten Pidie itu, memang berasal dari keluarga terpandang. Tengku Hasan Muhammad di Tiro meninggal dunia pada 3 Juni 2010—sehari setelah dianugerahi status warga negara kehormatan oleh pemerintah Indonesia.
Secara akademis, dia tergolong cerdas, namun dikenal sangat tegas. Hasan di Tero pernah mengenyam pendidikan di Yogyakarta, dan terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda saat Revolusi Nasional Indonesia.
Dia juga pernah belajar di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa. Saat belajar di New York pada 1953, Hasan di Tero secara berani mendeklarasikan diri sebagai Menteri Luar Negeri untuk Gerakan Perjuangan Darul Islam—sebuah Negara Islam Indonesia atau DII—yang ketika itu dipimpin oleh Daud Beureueh.
Hasan di Tero dan Identitas GAM
Aksi yang tergolong ekstrem itu, takayal membuat status kewarganegaraan Indonesia Hasan di Tero dicabut. Dia lalu dipenjara di Ellis Island sebagai warga asing yang ilegal [Buku: Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces – edisi November 16, 2002, yang ditulis oleh Kenneth Conboy]. Perjuangan Darul Islam di Aceh sendiri berakhir dengan perjanjian damai pada 1962. Di bawah perjanjian damai itu, Aceh diberikan status otonomi.
Bukan Hasan di Tero namanya, jika perjuangannya terhenti sampai di situ. Lebih kurang 19 tahun kemudian, dia membentuk Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera atau Gerakan Aceh Merdeka [GAM] pada 4 Desember 1976.
Menurutnya, Aceh harus mendapatkan kemerdekaan secara penuh dari cengkeraman pemerintah Indonesia kala itu. Ya. “Kemerdekaan, bukan otonomi khusus daerah”. Itulah salah satu alasan mengapa GAM hadir, menurut Hasan di Tero—karena fokus pada sejarah Aceh sebelum masa kolonial Belanda—sebagai sebuah negara merdeka.
Mengutip salinan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, dia menyebut, jika Darul Islam berusaha mengubh Ideologi Pancasila yang sekuler ke Negara Islam Indonesia berideologi syariah. Tapi GAM tidak seperti itu. Sebab itu dia menyatakan GAM berbeda dengan Darul Islam. Murni untuk memerdekakan diri seutuhnya.
Hasan di Tero mempertanyakan hak Indonesia untuk berdiri sebagai negara, karena pada asalnya itu adalah negara multi-budaya berdasarkan kekaisaran kolonial Belanda dan terdiri dari negara-negara sebelumnya yang terdiri atas banyak sekali etnis dengan sedikit kesamaan.
Sehingga, Hasan Tiro percaya bahwa rakyat Aceh harus memulihkan keadaan pra-kolonial Aceh sebagai negara merdeka dan harus terpisah dari negara Indonesia. Karena fokus baru pada sejarah Aceh dan identitas etnik yang berbeda, beberapa kegiatan GAM melibatkan serangan terhadap para transmigran, terutama mereka yang bekerja dengan tentara Indonesia, dalam upaya untuk mengembalikan tanah Aceh untuk masyarakat Aceh.
Transmigran etnis Jawa di antara mereka yang paling sering menjadi target, karena banyak di antara mereka yang berhubungan dekat mereka dengan tentara Indonesia. Prinsip militer GAM, bagaimanapun, melibatkan serangan gerilya terhadap tentara dan polisi Indonesia.
Pada tahun 1977, setelah memimpin serangan GAM di mana salah satu insinyur Amerika Serikat tewas dan satu insinyur Amerika lain dan satu insinyur Korea Selatan terluka,[2][4] Hasan Tiro diburu oleh militer Indonesia. Ia ditembak di kaki dalam sebuah penyergapan militer, dan melarikan diri ke Malaysia.
Dari tahun 1980, Hasan Tiro memilih tinggal di Stockholm, Swedia dan mengantongi status kewarganegaraan negara itu. Dalam rentang waktu 2 periode tersebut seorang rekan terdektnnya di Swedia, Zaini Abdullah, menjadi Gubernur Aceh pada tahun 2012.
Tidak hanya soal GAM, negeri paling ujung di Pulau Sumatera ini dihadapkan pada bencana yang besar pada tahun 2004. Bencana tsunami, tepatnya di Desember 2004. Tidak hanya bagi warga Aceh, salah satu bencana alam terbesar di Indonesia itu turut memberikan pelajaran berharga, khususnya bari rakyat dan pemerintah Indonesia.
Pascatsunami, GAM dan pemerintah Indonesia setuju untuk menandatangani perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada Agustus 2005—dicetuskan ole Wakil Presiden Indonesia ketika itu, Muhammad Jusuf Kalla.
Perjanjian perdamaian yang diterima oleh pimpinan politik GAM dan disahkan oleh Hasan di Tiro, di situlah Aceh mendapat status otonomi yang lebih besar.
Setelah itu, sebuah Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh disahkan oleh parlemen nasional di Jakarta untuk mendukung pelaksanaan perjanjian damai. Salah satu catatan penting dan jangan sampai terlewatkan, selama konflik, pada tiga kesempatan terpisah pemerintah Indonesia keliru menyatakan bahwa Hasan Tiro telah meninggal.
Hasan di Tero Pulang Kampung.
Lalu, 3 tahun setelah perjanjian damai Hasan di Tero pulang kampung setelah 30 tahun hidup dalam pengasingan—tepatnya pada 11 Oktober 2008. Tapi, kesehatannya kian memburuk, karena usia yang uzur. Dia tak lagi berperan aktif dalam pencaturan politik.
Keberadaan Hasan di Tero di Aceh ketika itu tidak lama. Hanya 2 minggu. Lalu kembali bertolak ke Swedia. Setahun di Swedia dia balik lagi ke Aceh dan bertahan di sana sampai maut menjemput. Pada 2 Juni 2010, Hasan dianugerahi status warga negara kehormatan oleh pemerintah Indonesia, dan di hari brikutnya ia wafat di rumah sakit di Banda Aceh.***