BERTUAHPOS.COM – Penggunaan obat-obatan non steroid anti peradangan atau dikenal sebagai NSAIDs tidak hanya efektif mengurangi rasa sakit. Penelitian terbaru menunjukkan, penggunaan obat jenis ini bisa mengurangi risiko terkena parkinson.
Para peneliti di Amerika Serikat mengungkapkan, obat penghilang rasa sakit, seperti aspirin dan ibuprofen dapat mengurangi risiko terkena penyakit parkinson. Penyakit parkinson adalah penyakit saraf kronik yang menyebabkan ketidakmampuan yang semakin memburuk dan makin mengganggu yang terjadi dalam jangka panjang.
Kondisi itu terutama ditandai oleh gangguan gejala motorik seperti tremor atau bagian tubuh tertentu seperti tangan yang seperti gemetaran, kekakuan otot, perubahan postur tubuh, dan kesulitan atau melambatnya gerakan.
Parkinson terjadi akibat adanya gangguan di bagian otak.Penurunan suplai dopamine sampai 80% dianggap sebagai pemicu. Hal ini mengingat dopamine merupakan zat penting dalam proses pengiriman sinyal antara sel-sel saraf di otak untuk mengontrol gerakan.
Penyakit parkinson yang diderita lebih dari satu juta orang di AS, ditandai oleh matinya sel-sel otak yang memproduksi dopamine. Dopamine adalah satu jenis senyawa kimia pengantar pesan bagi saraf yang diikuti dengan gerakan. Obat-obatan dapat menghambat gejala-gejala parkinson untuk beberapa waktu lamanya, tapi sejauh ini belum ada obat atau terapi yang tepat untuk pengobatan bagi penyakit tersebut.
Untuk itu, upaya terbaik adalah menghindari risikonya sejak dini. Salah satunya bisa dengan mengonsumsi obat penghilang rasa sakit atau dikenal dengan obat-obatan nonsteroid antiradang atau NSAIDs. Selama ini obat jenis telah dikonsumsi oleh jutaan orang di seluruh dunia.
Penelitian yang dilakukan oleh tim dari University of California, Los Angeles (UCLA) terhadap 579 laki-laki dan perempuan menunjukkan separuh di antaranya terkena didiagnosa terkena parkinson.
Penelitian itu juga menemukan bahwa dengan meminum obat-obat tersebut secara berkala yang menimbulkan reaksi menghilangkan rasa nyeri akibat penyakit arthritis atau sakit kepala, risiko menderita penyakit parkinson juga menurun.
Dalam penelitian itu, para responden ditanya apakah mengonsumsi aspirin atau obat NSAIDs lainnya seperti misalnya ibuprofen sekali dalam seminggu atau dalam satu periode yang sedikitnya satu bulan dalam hidup mereka.
Pasien yang minum dua atau lebih obat tersebut selama sepekan atau sedikitnya satu bulan dapat dianggap sebagai pengguna secara berkala. Acetaminophen yang juga dikenal sebagai paracetamol bukan termasuk NSAIDs tidak bekerja seperti aspirin atau ibuprofen, naproxen dan obatobatan yang sejenisnya.
Para peneliti tersebut menemukan bahwa para pengguna NSAIDs secara berkala menerima manfaat dari obat-obatan tersebut karena bekerja sebagai penangkal terhadap penyakit parkinson.
“Dampak yang dihasilkan semacam perlindungan bagi pengguna NSAIDs secara berkala, terutama mereka yang menggunakan NSAIDs selama dua tahun atau lebih,” kata Angelika Wahner dari UCLA.
Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil tersebut dan adanya kondisi semakin besar beban yang diakibatkan penyakit parkinson dengan bertambahnya usia,maka semakin besar pula kepentingan untuk mempelajari atau meneliti mengapa obat-obatan tersebut berperan sebagai penangkal terhadap penyakit tersebut.
“Perempuan yang mengonsumsi aspirin secara teratur menurunkan risiko terhadap penyakit parkinson yang diderita oleh 40% wanita usia lansia,” tutur Wahner dan koleganya dalam Jurnal Neurologi. Yang menarik aspirin hanya memberikan dampak positifnya kepada kaum perempuan saja.
“Hal itu mungkin dikarenakan laki-laki meminum aspirin dalam dosis rendah untuk masalah jantung yang mereka alami. Sementara perempuan mengonsumsi aspirin dalam dosis tinggi untuk sakit kepala dan arthritis yang mereka derita,” tuturnya.
Ahli epidemiologi Beate Ritz yang juga ikut dalam penelitian tersebut menambahkan, obat-obatan penghilang rasa nyeri dapat mencegah terjadinya kerusakan pada otak akibat peradangan.
“Kemungkinan besar senyawa antiperadangan yang terdapat dalam NSAIDs memberikan pengaruh dengan efek penangkalan terhadap penyakit parkinson. Namun, mekanismenya secara tepat masih belum jelas dan karenanya penelitian lanjut harus dilakukan,”ungkap Ritz. (bpc3)