BERTUAHPOS.COM — Pembangunan smelter PT Freeport Indonesia baru sekitar 6% dari target 10,5%, alias tidak mencapai target. Meski progres pembangunan smelter belum mencapai target, namun nyatanya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap memberikan rekomendasi persetujuan ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia.
Hal ini dapat cercaan dari anggota Komisi VII DPR RI. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Muhammad Nasir, menuding rencana pembangunan smelter baru oleh PT Freeport Indonesia ini hanya cerita bohong, karena kerap berpindah-pindah lokasi, namun hingga kini tak kunjung rampung.
Mengutip CNBC Indonesia, Nasir menyebut, pembangunan smelter Freeport yang mulanya di Papua akhirnya tidak jadi, lalu berpindah ke Gresik juga belum jadi.
Kini Freeport pun dikabarkan akan membangun smelter tembaga baru di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara, bersama investor lainnya. Nasir pun menganggap rencana pembangunan smelter ini sebagai kebohongan saja.
“Sekarang ke Halmahera lagi, nanti hantunya Halmahera yang datang, sudah bohong ini semua perjanjian seperti apa,” ungkapnya dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM, Senin, 22 Maret 2021.
Nasir pun mempertanyakan kenapa Freeport dibeda-bedakan dengan yang lain. Pasalnya, izin ekspor Freeport tetap diberikan, sementara smelternya tidak kunjung rampung.
“Semua perusahaan harus bikin smelter, baru ekspor, tapi Freeport nggak punya (smelter baru), izin ekspor keluar terus, ini mana yang salah dan benar, ini dilihat publik ada apa,” tanya Nasir.
Hal senada disampaikan oleh Anggota DPR Komisi VII Falah Amru. Dia mengaku memahami jika dampak pandemi Covid-19 membuat pembangunan smelter terhambat.
Namun, kabar kerja sama antara Freeport dengan perusahaan asal China, Tsingshan Group untuk membuat smelter baru di Weda Bay, menurutnya akan berdampak pada pembangunan smelter yang akan semakin mundur, bahkan hingga dua tahun dari rencana awal pada 2023.
“Akan molor jadi dua tahun, akan lama sekali,” ujarnya.
Dia mempertanyakan apakah pemindahan smelter Freeport ke Halmahera akan dilakukan atau tetap bertahan di Gresik dengan segala fasilitasnya.
“Ini semua harus melihat kepentingan rakyat Indonesia,” tegasnya.
Menanggapi hal ini, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pada 2020 karena terdampak pandemi, Freeport meminta kepada pemerintah agar ada penundaan pembangunan smelter. Permintaan ini disampaikan Freeport secara tertulis pada tahun lalu.
“Terkait penundaan (smelter), belum kita setujui, kita nggak buru-buru, lihat perkembangan Covid-19 dulu pada 2020 akhir yakni progres 6% dari 10%,” paparnya.
Menurut Arifin, berdasarkan aturan, keterlambatan pembangunan smelter ini akan mendapatkan penalti. Dia menyebut penalti yang diberikan sebesar 20% dari pendapatan tahun berjalan.
“Akan diberikan sanksi sebesar 20% dari revenue tahun berjalan,” tegasnya.
Menurutnya, jika tidak diberikan izin ekspor, maka akan berdampak pada penurunan penerimaan negara. “Kalau nggak diberikan izin ekspor, akan berdampak pada penerimaan negara dan juga dampak sosial ke para karyawan. Oleh karena itu, berikan izin dengan tetap denda karena keterlambatan,” jelasnya.
Seperti diketahui, Kementerian ESDM baru saja menerbitkan aturan baru terkait pemberian rekomendasi penjualan ke luar negeri mineral logam pada masa pandemi Covid-19.
Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No. 46.K/MB.04/MEM.B/2021 yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Jumat, 12 Maret 2021.
Berdasarkan Keputusan Menteri ini, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masih bisa diberikan izin rekomendasi persetujuan ekspor mineral logam meski kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) belum mencapai target yang ditentukan.
Adanya Keputusan Menteri ESDM ini tentunya menguntungkan salah satu pemegang IUPK yakni PT Freeport Indonesia. Pasalnya, per Januari 2021 realisasi pembangunan smelter tembaga PT Freeport Indonesia masih mencapai 5,86% dari target seharusnya mencapai 10,5%. Adapun biaya yang telah dikeluarkan baru sebesar US$ 159,92 juta.
Dalam Keputusan Menteri ini disebutkan bahwa “Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi mineral logam dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi mineral logam yang tidak memenuhi persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian paling sedikit 90% pada dua periode evaluasi kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian sejak ditetapkannya Keputusan Presiden No.12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, dapat diberikan rekomendasi persetujuan ekspor.”
Selain itu, disebutkan juga bahwa “Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi mineral logam dan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU tetap dikenakan denda administratif dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri pada periode evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU dengan mempertimbangkan dampak pandemi Corona Virus Disease (Covid-19).”
(bpc2)