Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah punya kesamaan. Dari sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan ( KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan) dan sebagainya.
Jika dilihat perbedaan mendasar di antara keduanya, ternyata banyak perbedaan. Adapun perbedaan menyangkut aspek legal, lembaga penyelesai sengketa, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja. Pertama; Akad dan Aspek Legalitas.
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrowi, berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum hanya berdasarkan hukum positif. Tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti; Rukun (ada penjual, pembeli, barang, harga, dan akad), dan Syarat (barang dan jasa harus halal, barang dan jasa harus jelas, tempat penyerahan harus jelas). Kedua; Lembaga Penyelesai Sengketa. Jika pada perbankan syariah terdapat pebedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya. Kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia adalah Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan bersama oleh Kejagung dan MUI. Ketiga; Struktur Organisasi. Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional. Misalnya dalam hal komisaris dan direksi. Tapi unsur yang amat membedakan keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Yaitu dewan yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya, agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS bisanya diposisikan setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank, untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh DPS. Biasanya penetapan anggota DPS dilakukan oleh RUPS, setelah anggota DPS mendapat rekomendasi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
Peran utama dalam DPS mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari, agar selalu sesuai ketentuan syariah. Adapun panduannya dibuat oleh DSN. DPS harus membuat pernyataan berkala dalam laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan, bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai ketentuan syariah. Sementara tugas lain meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasi.
Karena lembaga keuangan syariah terus berkembang, membuat jumlah DPS ikut berkembang di masing-masing lembaga keuangan terkait. Perlu diwaspadai kemungkinan timbulnya fatwa berbeda dari masing-masing DPS. Oleh karena itu MUI sebagai payung hukum embaga keislaman di Indonesia, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah nasional yang membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk juga di dalamnya bank-bank syariah. Inilah yang kemudian melahirkan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Dibentuk 1997, yang merupakan rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah. Sebuah lembaga otonom dibawah MUI, dipimpin langsung oleh Ketua MUI. Kegiatan sehari-hari DSN, dilaksanakan Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua, sekretaris, dan beberapa orang anggota. Adapun fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah islam (termasuk asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya).
Fungsi lain DSN meneliti dan memberikan fatwa bagi produk-produk yang dikembagkan lembaga keuangan syariah (hingga ke daerah-daerah), atau memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah. Kemudian dapat memberi teguran pada lembaga keuangan syariah, jika menyimpang dari garis panduan, berdasarkan DPS pada lembaga terkait.
Jika lembaga keuangan syariah bersangkutan tidak mengindahkan teguran tersebut, DSN dapat mengusulkan pada otoritas berwenang (BI dan Kementrerian Keuangan), untuk memberikan sanksi, agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan syariah. Keempat; Bisnis dan Usaha yang Dibiayai. Dalam Bank Syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan, tidak terlepas dari saringan syariah. Artinya bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan.
Dalam perbankan syariah, pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok; halal/haram objek pembiayaannya, apakah proyek menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat, apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila, dan apakah proyek berkaitan dengan perjudian. Kemudian juga jadi pertimbangan; apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal, dan apakah proyek dapat merugikan syiar islam baik langsung maupun tidak langsung.
Kelima; Lingkungan Kerja dan Corporate Culture. Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal Etika, sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan. Kemudian dalam hal Reward and Punishment. Diperlukan prinsip keadilan sesuai syar’i. Karyawan juga harus Skillful dan profesional (fathonah). Dan mampu melaksanakan tugas secara Team work. Demikian juga dengan pelayanan terhadap nasabah, akhlak harus terjaga, tidak ada aurat yang terbuka, tidak ada tingkah laku kasar, dan menebarkan keramahan lewat senyuman. Karena senyum adalah sedekah. ***
Oleh: Dr.Muhammad Syafi’i Antonio
Tulisan ini diadaptasi dari BAB III (hal 29-34) pada buku ISLAMIC BANKING; Bank Syariah dari Teori ke Praktik, karangan Dr.Muhammad Syafi’i Antonio, yang diterbitkan oleh Gema Insani Press dan Tazkia Cendekia, cetakan kesebelas, 2007, Jakarta.