BERTUAHPOS.COM – Evolusi Jaminan Sosial untuk masyarakat Indonesia terus terjadi. Dari momen terbentuknya Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), sampai terbentuknya BPJS. Sudahkah masyarakat tercerahkan jaminan kesehatannya?
Jarum jam di tangan baru saja menunjukkan pukul 08.02 menit WIB, Senin 8 September 2014. Agaknya udara pagi yang meniup sejuk rambutku, membuat aku fresh dan bergegas menggeber motor Supra X 125 R yang sudah sejak jam tujuh pagi tadi parkir di teras rumah. Motor hadiah perkawinan untuk istriku yang sudah berusia nyaris 10 tahun, tapi tetap setia menemani, dahsyat! Ya…pagi ini rencananya akan bertolak ke kantor BPJS terdekat di kota Bertuah ini, maklumlah tidak ingin antrian lama, makanya kudu pagi gitu ‘katanya’.
           Eeehh….betul saja, ternyata antrian panjang benar-benar terjadi! “Pak…masih ada ada nomor antriannya?â€, kataku pada security berinisial YB yang asyik memainkan HP di depan pintu masuk kantor BPJS. “Wah…bapak terlambat, mestinya sudah datang sejak jam 05.30 WIB, saya sudah buka pendaftaran. itu aja sudah banyak yang ngantri Pak!â€, tukas Si YB dengan santai. Belum sempat aku menanggapi, seorang pemuda 25-an tahun yang sedari tadi duduk manis di sebelah security menimpali, “Betul pak, saya aja untuk jam 05.30 WIB sudah antrian nomor 19â€, yakinnya.
           Wow!â€, ternyata untuk mendaftar jaminan sosial sekelas BPJS harus ngantri sedari subuh, sampai-sampai harus mempersingkat waktu sholat subuh tanpa do’a dan dzikir? pikirku dalam hati tanpa sepatah kata terucap dan terus ngeloyor pergi. Padahal sehari sebelumnya aku sudah sempatkan meminta informasi ke BNI dan Bank Mandiri terdekat di kota Pekanbaru, menurut informasi yang disiarkan oleh kantor BPJS, pendaftaran dapat dilakukan di bank pemerintah tersebut. Nyatanya setelah dikonfirmasi, bank hanya tempat transaksi pembayaran. Nah lho?!
           Entahlah kalau di kota-kota lain di seluruh Indonesia, atau Jakarta sebagai kota besar. Boleh jadi program BPJS benar-benar memberikan citra positif kepada masyarakat peserta BPJS. Mungkin kasusku baru satu sampel, tapi paling tidak…..kesan pertama tentang BPJS kurang memuaskan di lapangan. Semestinya, bukti di lapangan sangat mendukung slogan dan promosi Si BPJS yang sudah ditempatkan di jalan-jalan protocol dalam bentuk spanduk dan baliho, maupun dalam bentuk siaran elektronik maupun on line di dunia maya.
Meninjau Aturan Main (Hukum) ke Belakang.
Sudah menjadi adagium kalau penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangungjawab dan kewajiban Negara – memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Karena kondisi keuangan Negara Indonesia yang terbatas, maka negara mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan atas funded social security. Bahwa, jaminan sosial yang dibentuk, justru didanai oleh peserta bersangkutan, dengan cara membuka rekening di bank-bank pemerintah, dengan cara cicilan tabungan kesehatan sesuai angka plafon tabungan yang ditetapkan oleh jaminan sosial bersama bank pemerintah.
Dengan ditransformasikannya PT Jamsostek menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) setelah lahirnya UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, menjadi angin segar pagi peserta berobat. Terutama kelas menengah ke bawah. Aku termasuk di dalamnya. Sebenarnya periode transformasi ini sudah melewati momen perubahan satu ke perubahan lainnya.
Momen Pertama; dengan terbentuknya PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS). Kedua; UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Ketiga; momen yang menjadi tonggak sejarah penting cikal bakal lahirnya BPJS kelak, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN mengikuti program ASTEK, ditambah dengan PP No.34/1977 tentang pembentukan Perum Astek yang merupakan wadah penyelenggara.
Momen Keempat; ini makin memberikan dampak positif bagi masyarakat dengan lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Diikuti PP No.36/1995, yang menetapkan PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Dengan program unggulan memberikan perlindungan dasar tenaga kerja dan keluarganya,
Momen Kelima; Aku sebut sebagai momen transisi evolusi Jamsostek menuju BPJS. Pemerintah Indonesia menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Nah…setelah melewati sedikitnya 5 momen inilah kemudian lahir BPJS sebagai solusi kesehatan keluarga Indonesia yang ‘berjiwa’ kekeluargaan, dan dekat dengan masyarakat. Begitu harapan masyarakat.
Sebagaimana desakan masyarakat agar disahkannya RUU BJS yang kemudian telah menjadi undang-undang, seperti itu pulalah kini, desakan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan prima Si BPJS ini, terutama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi orang yang kurang uangnya untuk membayar obat, ataupun membayar jasa dokter di rumah sakit.Sementara di sisi lain pemerintah agaknya masih mengutak atik atau kalau bahasa kerennya mengevaluasi peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun keputusan presiden yang menjadi ‘kaki tangan’ undang-undang, agar percepatan mobilisasi program BPJS dapat berjalan untuk umat.
Menimbang Visi dan Misi BPJS.
Setelah meninjau-ninjau ke belakang tentang payung hukum BPJS ini, memang BPJS mampu menjadi solusi keluhan kesehatan masyarakat terkait dengan biaya berobat yang kian hari kian tinggi. Namun lagi-lagi kondisi di lapangan masih belum signifikan. Ada lagi yang aku rasakan kejanggalan ketika bertanya pada petugas pengaman kantor BPJS yang berinisial YB tadi.
“Pak, kalau seandainya bapak sama ibuk-nya saja yang mendaftar dulu, baru kemudian anak-anaknya atau sebaliknya bisa apa tidakâ€, kataku sebelum meninggalka kantor BPJS pada Senin pagi 8 September 2014 lalu. “Harus masuk semuanya Pak, begitu peraturannyaâ€, dengan jawaban yang lagi-lagi santai. Lalu bagaimana dengan…jika dalam sebuah rumah tangga, seorang kepala rumah tangga hanya mampu membiayai suami istri saja, atau sebaliknya. Dengan harapan keanggotaan BPJS bias dicicil begitu?
Agaknya otak atik pemerintah terhadap kebijakan pelaksana UU tentang BPJS masih harus lebih cerdas lagi. Belum lagi seperti kasus Kartu Jakarta Sehat yang digagas Capres Jokowi, ketika masih berstatus Gubernur DKI Jakarta. Pertanggal 8-9 September 2014 sudah banyak terjadi titik-titik rawan antri di bank pemerintah seperti Bank DKI, Nah…lantas bagaimana pula figur usungan PDI-P ini menjabarkan pola percepatan pada BPJS?
Ketika aku searching di dunia maya terkait dengan AD/ART BPJS, di dalamnya disebutkan kalau visi BPJS adalah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berkelas dunia, terpercaya, bersahabat dan unggul dalam Operasional dan Pelayanan.Patut digarisbawahi ‘berkelas dunia’. Kalau setiap orang di Indonesia terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah membaca dan menghapalkan pernyataan ini, bisas diperkirakan dampaknya bagaimana.
Si BPJS ibarat menyalakan bara api dalam sekam. Artinya sewaktu-waktu kala angin kencang kebakaran akan terjadi. Sewaktu-waktu masyarakat akan demonstrasi, apalagi kalau sudah ditunggangi oleh provokator. Kekecewaan akan meledak layaknya bara api yang menyala-nyala. Apalagi dengan misi sebagai badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang memenuhi perlindungan dasar bagi tenaga kerja serta menjadi mitra terpercaya bagi:tenaga kerja dan keluarga.Nah….ini berat sebenarnya jika dihadapkan face to face antara BPJS dengan masyaralat. Ini bisa jadi warning bagi BPJS karena membiarkan bara dalam sekam di sekar ‘Sang Penjamin’.
Akan tetapi hal itu tidak perlu terjadi jika BPJS sendiri mau ‘berterima’ dengan kritik dan masukan yang sifatnya membangun, membangun profesionalitas lembaga secara internal maupun eksternal.
Peluang Kerjasama; sebuah jalan keluar.
           Di satu sisi aku, mungkin kita semua sepakat merasa beruntung dengan keberadaan situs ‘Profesor Google’. Kapan saja kita on line (itu juga kalau jaringan bagus), kita akan dapatkan informasi manca Negara dan di segala bidang. Walaupun di sisi lain, sumbernya terkadang kurang akurat, atau banyaknya situs-situs tak terdidik.
           Namun, paling tidak saat aku mangkal di warnet langgananku di bilangan kampus negeri di Pekanbaru Riau, aku cukup terpuaskan. Nah…termasuk ngutak-ngatik perihal profil BPJS. Mataku terhenti ketika membaca narasi tentang NILAI-NILAI PERUSAHAAN. Disebutkan nilai-nilai perusahaan didasari atas iman, taqwa, pelayanan tulus ikhlas, tanggungjawab, dan positive thinking. Membaca ini terkesan kalau BPJS ibarat mengerjakan tugas-tugas malaikat.
           Belum lagi nilai-nilai yang dikembangkan professional, teladan, integritas, dan kerjasama. Yang terakhir ini perlu digaris bawahi sebelumnya. Ditambah lagi dengan ETIKA KERJA PERUSAHAAN; bahwa perusahaan memiliki Open mind (terbuka terhadap perubahan dan ide baru), perusahaan memiliki Passion (antusias dalam bekerja), Action (segera melaksanakan tugas sesuai rencana), Sense (kepekaan tinggi terhadap masalah perusahaan), dan Team work (kemampuan bekerjasama dengan pihak lain demi kemajuan perusahaan).
           Seperti yang aku curhat-kan tadi, BPJS harus segera membuat kebijakan popular untuk menengahi masalah tanggungan kesehatan yang membebani masyarakat. Ke dalam; BPJS harus terus mampu mendesak pemerintah agar mampu membidani lahirnya regulasi tepat dan cermat mengatasi masalah program BPJS di lapangan. Karena program BPJS sejatinya program masyarakat yang dikoordinir oleh pemerintah dan BUMN. Dan Negara membiayai kerja karyawan yang bekerja untuk masyarakat. Disamping BPJS sebagai lembaga BUMN, harus mampu mengenyampingkan kepetingan-kepentingan pihak ketiga yang senang menangguk untuk di ‘air keruh’.
           Ke luar; persis seperti yang aku garis bawahi, bahwa BPJS mengembangkan nilai-nilai kerjasama. Bahkan dalam etika perusahaan dikuatkan lagi kalau BPJS mengembang kan sikap SENSE dan TEAM WORK. Ini dia, disinilah kita memulai keberangkatan BPJS menjadi professional berkelas dunia seperti yang termaktub dalam visi yang dikembangkan lembaga. Hanya saja di lapangan dua poin etika ini masih minim dipraktekkan. Aku melihat bagaimana menyiputnya orang-orang di depan pintu kantor BPJS untuk menunggu antrian. Jadi antriannya malah ditunggu, bukan dinanti. Ya bias dibayangkan bagaimana kalau orang harus menunggu berjam-jam. Kadang sudah seharian menunggu, proses pendaftaran sudah selesai, jadi harus menunggu antrian lagi esok hari.
           Kalau lah iya, semangat kerjasama tadi dikembangkan, alangkah baiknya BPJS menggandeng pihak ketiga yang kapabel diberi upah selayaknya tugas yang dijalankan. Pihak BPJS menyediakan pos-pos khusus di setiap kelurahan bahkan mungkin ke-RW-an untuk menampung desakan kebutuhan peserta BPJS ini. Dan minta juga pemerintah setempat (propinsi/kota/kabupaten) ikut andil. Karena program ini harus dilakukan secara comprehensive. Aku juga mau menjadi relawan BPJS, dengan upah standar.
           Kalau membaca Undang-undang kesehatan No.36 tahun 2009, ada poin-poin penting yang menyangkut tentang percepatan kesehatan masyarakat. Di antaranya; bahwa setiap orang mempunya hak sama dalam memperoleh akses kesehatan, baik itu pelayanan yang aman serta terjangkau. Kemudian disebutkan pula kalau pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, serta mengawasi penyelenggara an program kesehatan agar terjangkau masyarakat.
           Dua poin penting ini saja sudah dapat menggambarkan bagaimana penyelenggara kesmas (kesehatan masyarakat) yaitu dalam hal ini pemerintah dan BPJS sebagai perpanjangan tangan pemerintah mampu benar-benar mewujudkan Das Sein dan Das Solen (harapan dan kenyataan). Jangan sampai terjadi pembohongan publik. Kalaupun UUK No. 36 tahun 2009 ini masih bersifat normative saja.Â
           Aku masih yakin dengan 5 momentum evolusi BPJS yang sudah aku curhat-kan di atas tadi dapat memberikan keyakinan BPJS bersama pemerintah Indonesia yang aku cinta ini mampu benar-benar menjamin kesehatan masyarakat. Kalau saja segala bentuk kepentingan pribadi dan golongan dikesampingkan untuk kemaslahatan umat. BPJS harus membuka diri dengan mengandeng relawan-relawan BPJS untuk mempermudah akses masyarakat untuk memberikan jaminan kesehatan pada anak istriya di rumah.Ini baru namanya layanan prima ‘SANG PENJAMIN’.
Penulis:
M. Joni Paslah,SIP, S.I.Kom Pendiri sanggar lukis “Brain” , Anggota Dewan redaksi Bertuahpos.com, Pengajar mata pelajaran Seni Budaya di SMP- IT Madhani School , Panam Pekanbaru – Riau
                                                                                                                                  Â
Â
Pekanbaru
Kota Bertuah
8 September 2014
MJP