BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) memberikan dukungan surat penolakan Gubernur Riau dan DPRD Provinsi Riau perihal #riautolakomnibuslaw, UU Cipta Kerja. Menurut mereka, Gubernur Riau Syamsuar dan DPRD Riau harusnya menolak keberadaan Omnibuslaw.
“Meski terlambat, ini patut diapresiasi. Namun pemerintah daerah perlu juga memberikan catatan kritis atas tindakan represif Polda Riau dalam mengamankan aksi Koalisi Rakyat Riau pada 8 Oktober 2020 dalam #riautolakomnibuslaw #mositakpercaya,” kata Koordinator Jikalahari Made Ali, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 13 Oktober 2020.
Selama aksi berlangsung pada 8 Oktober 2020, Jikalahari yang hadir di tengah-tengah demonstran menyaksikan polisi menembakkan water cannon, gas air mata dan memukul peserta demonstran siang dan sore hari; ada yang kakinya patah, pingsan, berlarian sambil terjatuh, terinjak peserta yang lari.
“Yang terkena gas air mata mengalami sesak nafas sesaat. Saya sendiri terkena gas air mata hingga hampir pingsan. Solidaritas memberi air dan odol yang menyelamatkan saya dari paparan gas air mata,” kata ungkapnya.
Made juga menyaksikan tindakan polisi saat melarikan diri ke rumah sakit Safira. “Dokter sempat keluar dan protes pada polisi bahwa pasiennya terkejut dan sedang merawat puluhan pasien. Manajemen RS Safira juga keluar termasuk satpam protes pada polisi. Namun, polisi yang mengenakan tongkat panjang dan pelindung kepala, memarahi sambil mengangkat tongkat hendak memukul manajemen RS Safira sambil berteriak jangan ikut campur dan memaksa masuk ke dalam
rumah sakit.”
Warga di samping gang Safira juga protes karena asap gas air mata masuk sampai rumah mereka. Seorang ibu-ibu protes dan berteriak-teriak pada polisi. Okto Yugo, Wakil Koordinator Jikalahari yang juga hadir dalam aksi mengalami hal sama, juga menyaksikan banyaknya korban yang pingsan, kebanyakan mahasiswi, akibat menghirup gas air mata yang ditembakan aparat kepolisian.
Bukan hanya korban yang pingsan, juga terdapat korban yang mengalami patah kaki dan harus ditandu oleh rekan-rekannya.
“Polisi terlalu cepat merespon teriakan demonstran dengan water canon dan gas air mata. Saya terpapar gas air mata menyebabkan sesak nafas dan mata perih,” kata Okto Yugo.
Campaigner Jikalahari Apriyan Sargita menyaksikan salah satu rekan yang mendapat tindakan semena-mena dari kepolisisan saat mendokumentasikan polisi yang menarik mahasiswa keatas gedung DPRD Riau, polisi yang melihat ada yang mendokumentasikan langsung mengajak ke belakang gedung dan menghapus seluruh video yang telah diambil dari awal aksi, setelah dihapus dan tau ada kartu media.
“Polisi dengan gampangnya bilang ‘Silahkan kau ambil lagi video yang baru.’ Saya terkejut, baru saja sampai, mobil yang beriringan sampai di lokasi langsung mendapat tembakan gas air mata yang mengenai sisi depan sebelah kanan mobil, bahkan percikannya mengenai tangan salah satu rekan yang keluar dari mobil hingga berdarah,” kata Arpiyan Sargita.
“Kapolda lah yang harus bertanggungjawab karena tidak memberi contoh tindakan humanis dan bersahabat seperti yang pernah dilakukan Kapolda Riau era Irjenpol Zulkarnaen Adinegara,” kata Made Ali.
Pada aksi 4 November 2016 atas kasus penodaan agama yang melibatkan masa hingga 3.000 orang di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gadjah Mada, Zulkarnaen terlihat di tengah kerumunan massa dan orator yang berorasi menggunakan mobil bak terbuka. Zulkarnaen juga menemui massa unjuk
rasa yang membawa ornament pocong, menuntut polda Riau tegas mengusut korporasi pelaku pembakaran hutan dan lahan di Mapolda Riau pada 12 April 2017.
“Kehadiran Zulkarnaen di tengah masa aksi berhasil mencegah terjadinya tindakan represif aparat, hingga demonstrasi berjalan damai,” kata Made Ali
Tidak hadirnya Kapolda Riau Irjen Pol Agung saat aksi 8 Oktober 2020, yang justru dihari yang sama menghadiri rapat Forkopimda di kantor gubernur.
“Tidak adanya contoh sikap humanis dan kepempinan dari Kapolda Riau saat unjuk rasa, seolah menjadi pembenaran bagi aparat yang bertugas saat itu melakukan tindakan represif. Polda Riau harus bertanggung jawab atas banyaknya korban yang timbul akibat tindakan represif tersebut,” sambung Made.
Menurut Jikalahari, Omnibuslaw melegalkan kejahatan korporasi bukan saja DPRD dan Gubernur Riau meneruskan surat aspirasi #riautolakomnibuslaw justru harus yang pertama menolak Omnibuslaw.
Pasalnya hasil kerja Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Riau 2015 yang menemukan 1,8 juta hektar sawit illegal yang terdiri dari 378 perusahaan di Riau dan temuan Satgas penertiban sawit illegal bentukan Gubernur Riau 2019 yang menggunakan APBD menjadi sia-sia, karena tidak bisa ditindak secara hukum.
Padahal kerugian yang ditimbulkan sangat besar, mulai dari kerugian Negara sebesar Rp 37 triliun pertahun, karhutla, banjir dan konflik yang memiskinkan masyarakat adat dan tempatan. Dalam UU Omnibuslaw pada pasal 110A (versi 1035 halaman).
“Terhadap kegiatan usaha yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 tahun sejak UU ini diundangkan,” ungkapnya.
Temuan Jikalahari dan Pansus DPRD Provinsi Riau 2015 berupa 378 perusahaan sawit berada dalam kawasan hutan tanpa izin dari pemerintah melalui pasal 110A ayat 1 diberi waktu 3 tahun untuk mengurus izin meskipun telah melakukan tindak pidana.
Artinya selama 3 tahun 378 perusahaan sawit tersebut tidak bisa dipidana, karena ada pilihan bagi perusahaan untuk memenuhi persyaratan agar menjadi legal.
Perusahaan sawit ilegal ini sebelumnya telah dilaporkan ke Polda Riau oleh Pansus DPRD Riau, lalu Jikalahari bersama KRR juga melaporkan ke Polda Riau, tapi tidak pernah ada perkembangan penyidikan maupun penyelidikan dari Polda Riau.
“Polda Riau membiarkan kejahatan perusakan lingkungan hidup dan hutan hingga menyebabkan banjir dan karhutla,” sambung Made. (bpc2/rilis)