BERTUAHPOS.COM — Hari menjelang siang. Tapi, cuaca agak mendung. Setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 kilometer dari Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang, mobil yang saya tumpangi melipir. Berhenti di sisi kiri Jalan Sirtu, setelah membelah hamparan kebun warga di Desa Kualu Nenas, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, pada Rabu, 5 Februari 2025.
Terlihat hamparan lahan luas hijau keabu-abuan. Ditumbuhi tanaman daun berduri dari keluarga Bromeliaceae. Sangat subur. Rumpunnya besar dan kokoh. Daunnya kaku. Panjang seperti keris. Beberapa rumpun sudah punya buah, walau belum semuanya. Tapi, diperkirakan beberapa bulan lagi “buah bermahkota” ini sudah siap untuk dipanen.
Pemandangan ini kontras dengan lahan di sebelahnya. Diapit semak belukar dan kebun sawit. Tentu, ini bukan satu-satunya kebun nanas jika kita menyusuri jalan ini hingga ke ujung. Kebun nanas ini milik Mardanis. Dia sudah menjadi petani nanas sejak 27 tahun yang lalu. “Tahun 1998, saya sudah bertani nanas,” kata pria berusia 58 tahun itu.
Nanas telah menjadi ikon di Desa Kualu Nenas. Komoditi inilah yang membuat kampung ini unik, berbeda dari kebanyakan desa lain di Provinsi Riau—rata-rata perkebunan sawit, karet atau kelapa.
***
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau mencatat sepanjang 2023, total produksi nanas di Riau mencapai 379 ton, dan 243,2 ton berasal dari Kabupaten Kampar yang dijuluki “Bumi Sarimadu” (BPS, 2023).
Adapun luas produksi nanas terbesar berada di Kecamatan Tambang. Jumlah populasi mencapai 13.833.405 rumpun, dengan hasil panennya mencapai 12.765 ton pada tahun 2017.
Produksi nanas di Kampar, terpusat di 2 desa, yakni; Rimbo Panjang seluas 500 hektare, dan Desa Kualu Nenas—tempat yang saya kunjungi saat ini—seluas 1.050 hektare dengan jumlah produksi sekitar 30 ton per hektar per tahun (BPP Tambang, 2016).
Menurut data dari kecamatan setempat, pada rentang waktu 2011-2017 produksi dan produktivitas nanas di sini berfluktuatif. Kecenderungannya turun. Penyebabnya banyak faktor. “Salah satunya, unsur hara pada tanah gambut di sini sudah mulai berkurang,” ujar Mardanis.
Tantangan Berkebun Nanas di Lahan Gambut
Nanas memang bukan hal baru bagi warga di desa ini. Apalagi Mardanis. Bahkan, kakek buyutnya dulu sudah menjadi petani nanas di desa ini. “Tahun 1970-an saat saya kecil, sudah banyak kebun nanas di sini,” ujar Ketua Kelompok Tani (Poktan) Sakinah itu.
Awalnya, Mardanis hanya punya 1 hektare kebun nanas. Pelan-pelan bertambah menjadi 3-5 hektare. Tapi sekarang, dia hanya mengelola sekitar 2 hektare kebun nanas. Cukup, untuk dijadikan sebagai tumpuan ekonomi keluarganya.
Namun, perlu dipahami bahwa menjadi petani nanas seperti Mardanis bukan perkara mudah. Apalagi di tanah gambut. Sebab, kontur tanahnya tidak stabil. Rentan rusak. PH-nya rendah, dan sulit menyerap pupuk. Lahan gambut biasanya membuat akar tanaman kurang produktif. “Belum lagi kalau bicara hama, seperti babi dan tikus,” tuturnya.
Semua tantangan ini pernah dilaluinya. Secara teknis, kata Mardanis, perlu diperlakukan khusus agar lahan gambut tetap bisa produktif sebagai lahan perkebunan. “Caranya, dinetralkan,” kata dia. Namun, Mardanis tidak menjelaskan secara rinci, bagaimana cara mengolahnya.
Namun, dari banyak literasi menyebutkan bahwa ameliorasi atau upaya untuk memperbaiki kesuburan tanah, dapat dilakukan untuk meningkatkan PH tanah gambut. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran efektif sebagai bahan amelioran, untuk meningkatkan PH dan basa tanah (Subiksa et al, 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).
Dulu, Mardanis masih mengandalkan kandungan unsur hara tanah untuk pertumbuhan rumpun nanasnya. Namun, lama kelamaan kondisinya tentu berubah. Sehingga berdampak terhadap produktivitas hasil panen. Selain jumlahnya menurun, pertumbuhan rumpun nanas menjadi lebih lambat. Buah mengecil. Kandungan air lebih banyak. Buah nanas jadi lebih cepat busuk.
Tantangan lain, tanaman akan lebih mudah diserang penyakit. Misal; busuk pangkal, busuk akar, hingga bercak-bercak pada daun. Penyebabnya serangan jamur dan virus. “Tanah gambut memang begitu. Kalau sering kita pakai, apalagi untuk tanaman sekali panen seperti nanas, unsur haranya akan berkurang terus,” jelasnya.
Racikan Pupuk, Dongkrak Produksi dan Kualitas Buah
Pada tahun 2010, Mardanis mulai meracik pupuk untuk kebun nanasnya. Dia menggunakan Pupuk Urea, Kalium Klorida (KCL) dan Triple Super Phosphate (TSP). Dia punya takaran sendiri. Menyesuaikan dengan kebutuhan unsur hara di kebun nanasnya.
Menurut Mardanis, ketiga jenis pupuk ini punya perannya masing-masing. Misalnya; Urea. Pupuk ini dapat merangsang pembentukan klorofil pada tanaman nanas. Membuat daun lebih segar. Hijau dan sehat. Urea, juga efektif untuk mempercepat proses pertumbuhan tanaman, dan meningkatkan jumlah kandungan protein tanaman. Menariknya, pupuk ini cocok untuk hampir semua jenis tanaman.
Untuk meningkatkan kualitas hasil panen—-berat dan bobot buah, Mardanis mengandalkan Pupuk KCL. Adapun kontribusinya terhadap pertumbuhan tanaman nanas, lebih efektif untuk pembentukan buah. Lebih survive di kondisi kering. Memaksimalkan sistem transportasi hasil fotosintesis dan glukosa di dalam tanah, serta berkontribusi positif terhadap jumlah daun, lebar daun, tinggi dan lebar rumpun. Pupuk ini juga efektif untuk meningkatkan daya tahan tanaman dari serangan hama penyakit, jamur serta virus.
Sedangkan Pupuk TSP, akan berkontribusi terhadap percepatan pematangan, serta bobot dan kualitas buah nanas, di kebun Mardanis. Rumpun nanas jadi lebih kokoh, mempercepat pertumbuhan akar tanaman muda, mempercepat fluoresensi—-cahaya yang dipancarkan kembali oleh klorofil setelah penyerapan cahaya—dan efektif sebagai penangkal di musim kemarau.
Dari awal tanam hingga panen—rentang waktu sekitar setahun—Mardanis setidaknya memerlukan sekitar 1 ton pupuk. Durasi pemupukannya setiap 4 bulan sekali. Takarannya 400 kilogram untuk sekali pemupukan. “Jadi saya gunakan 200 kilogram Urea, 100 kilogram KCL dan 100 kilogram TSP,” jelasnya.
Setelah menggunakan pupuk, hasil panen buah nanas di kebun Mardanis kembali produktif. Bahkan cenderung naik. Dulu, sebelum menggunakan pupuk, sekali panen hanya sekitar 50 buah. Kini rata-rata 100-200 buah. Selain itu, setelah panen pertama, durasi panen selanjutnya menjadi lebih singkat. Seminggu sekali. Kalau lagi bagus-bagusnya bisa 3 kali seminggu.
“Nanas ini, setelah panen habis dia. Tapi selama proses pertumbuhannya, anaknya (bibit baru) juga ikut tumbuh, dan bisa saja berbuah dalam rentang waktu bersamaan. Jadi setelah kita panen buah dari rumpun induk, seminggu kemudian kita sudah bisa panen buah dari rumpun anakan. Begitu terus. Makanya bisa dipanen rutin seminggu sekali. Sampai dilakukan peremajaan kebun,” ujarnya.
Manfaat lain yang dirasakan Mardanis, yakni kualitas dari buah nanas yang dihasilkan. Sebelum menggunakan pupuk, buah nanasnya cenderung lebih cepat busuk. Karena kadar airnya tinggi. Setelah menggunakan pupuk, kadar airnya normal. Setelah panen, daya tahan buah bisa lebih dari 5 hari.
Untuk pupuk Urea, dia menggunakan merek; Nitrea. Kalau KCL, merknya; Pupuk Kujang KCL. Sedangkan TPS, mereknya; Pupuk SP-26 PETRO, yang diproduksi oleh PT Petrokimia Gresik. Ketiga jenis pupuk ini merupakan produksi PT Pupuk Indonesia.
“Cukup puas kita dengan hasilnya. Jumlahnya panen meningkat, kualitasnya juga bagus. Buah nanas yang sudah dipanen bisa tahan hingga lebih dari 5 hari. Karena kadar airnya normal,” katanya.

Olahan Produk Hilir jadi Oleh-oleh Khas Lokal
Dulu, buah nanas ini dijual segar. Pasarnya seperti Pekanbaru, Siak, Dumai, Bengkalis, bahkan beberapa kali disuplai ke Padang, Sumatera Barat.
Namanya juga usaha, Mardanis paham betul bahwa jual beli tidak melulu bicara untung. Ada kalanya harga nanas di pengepul jatuh. Bahkan tidak laku. Terutama untuk nanas grade B dan C (nanas afkiran). Namun, usahanya tentu tak pupus sampai di situ.
Jauh sebelum mengandalkan pupuk untuk meningkatkan jumlah produksi buah nanas—tepatnya pada 2005—Mardanis sudah berupaya untuk menyiasati sisa nanas afkir berkualitas rendah. Nanas ini selalu ditolak pasar. Kalaupun laku, paling untuk bikin selai, atau isian nastar. Tapi, peminatnya tidak banyak. “Inilah kendala kami. Harga nanas kadang anjlok. Akhirnya hanya dijual murah tanpa diolah,” jelasnya.
Atas dasar itu, Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau, turun ke lokasi. Mereka langsung bertatap muka dengan para petani nanas—yang tergabung dalam Gapoktan di desa Kualu Nenas. Termasuk Mardanis.
BPTP memberikan pelatihan agar petani nanas mampu mengolah hasil panen menjadi produk jadi. Salah satunya, pelatihan dalam pembuatan keripik nanas. Sejak itu, Mardanis mulai merintis produk hilir. Nanas dengan kualitas terbaik, dijual dalam bentuk buah segar. Sisanya diolah menjadi keripik. “Walaupun waktu itu saingan sudah banyak. Tapi kita yakin aja lah,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, permintaan pasar terhadap keripik nanas kian diminati. Mardanis kemudian meningkatkan jumlah produksi keripik. Bahkan, saat permintaan sedang tinggi-tingginya, hasil panen nanas hampir tidak ada dijual dalam bentuk buah segar. “Semuanya kami bikin keripik,” sebutnya.
Hingga kini, keripik nanas telah menjadi ikon oleh-oleh khas Kampar, dan menjadi salah satu mata pencaharian Mardanis, selain dari kebun nanas.
Saya mampir ke rumah produksi keripik nanas milik Poktan Sakinah di desa ini. Kebetulan, Yulismar (50), istri Mardanis, sedang menggoreng keripik nanas. Walau jumlahnya tidak banyak. Tapi, dari sini saya tahu, bagaimana proses pembuatan keripik nanas dari awal hingga siap dipasarkan.
Secara singkat, Yulismar menjelaskan, nanas yang sudah dipanen dikupas hingga bersih. Pada tahap ini, beberapa warga sekitar diberdayakan. “Karena ada ratusan bahkan ribuan biji nanas yang harus dibersihkan, jika permintaan lagi banyak,” ujarnya.
Setelah dikupas, nanas dipotong berbentuk seperti lempengan. Ukurannya beragam. Tergantung besar kecil buah nanas. Potongan nanas itu, kemudian direndam beberapa saat di air kapur, untuk mengurangi getah gatal dan siap digoreng.
Alat penggorengannya khusus. Bentuknya seperti tabung, memanjang—yang dipanaskan pada suhu tertentu. Di dalamnya terdapat saringan besi. Berfungsi sebagai alat tiris. Agar kadar minyak, benar-benar kering. “Jadi keripik nanas yang sudah jadi, betul-betul tanpa minyak,” tutur Yulismar. Tahap akhir adalah pengemasan produk. Setelahnya, keripik nanas siap dilepas ke gerai oleh-oleh.
Awalnya, produksi keripik nanas dikerjakan sendiri oleh Mardanis dan istrinya. Termasuk pemasarannya. Mereka turun langsung ke sejumlah toko dan gerai oleh-oleh di Kampar dan Pekanbaru, dengan sistem bagi hasil. Strategi ini ternyata efektif. “Alhamdulillah, waktu itu semua keripik nanas yang kami produksi selalu habis,” sambung Mardanis.
Pelan namun pasti. Usaha keripik nanas dengan merk Sakinah itu, terus berkembang. Puncaknya di tahun 2015. Mardanis bisa memproduksi 300-500 kilogram keripik nanas dan mempekerjakan 5 karyawan. Berkat usaha ini, dia bersama sang istri, berhasil mewujudkan impian untuk menunaikan ibadah haji, dan menyelesaikan pendidikan anaknya hingga sarjana.
Saat ini, Mardanis bersama anggota lainnya—yang tergabung dalam Poktan Sakinah—tengah melangkah pada tahap produksi serat nanas. “Contohnya ada di samping,” katanya, mengarahkan saya untuk mengamati langsung serat itu. Bentuknya seperti uban. Putih kusam. Halus dan tipis. Seperti uban rambut dan lebih kaku. Dulu, sewaktu kecil, saya biasa menggunakan serat ini dijadikan tali gasing—permainan tradisional.
Sebenarnya, serat nanas sudah lama dijadikan sebagai bahan baku tekstil ramah lingkungan. Bahkan, untuk produk jadi, serat ini bisa dibuat menjadi tas, kelambu, dan produk-produk kreatif bernilai ekonomi tinggi lainnya.
Meski dihadapkan pada kendala peralatan yang belum mumpuni, Mardanis sudah memulai memproduksi serat nanas secara tradisional. Diserut dengan pecahan kaca. Dia meyakini, bahan baku setengah jadi ini, lebih menjanjikan potensi ekonomi lebih besar. “Kami sudah mulai. Walaupun masih manual,” tuturnya.
(Makmur) Bersama Petani, Menuju Indonesia Sejahtera
Menjamin agar petani mendapatkan pupuk berkualitas merupakan salah satu komitmen PT Pupuk Indonesia, yang diwujudkan lewat program: Mari Kita Majukan Usaha Rakyat (Makmur), Bersama Petani, Menuju Indonesia Sejahtera. Program ini bahkan sudah diluncurkan sejak 4 tahun lalu. Tepatnya di tahun 2021.
Program inisiatif ini sengaja dihadirkan, sebagai solusi untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani di Tanah Air. Sekaligus menjadi komitmen Pupuk Indonesia untuk turut serta berkontribusi dalam ketahanan pangan nasional. Hal ini, sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo dalam mewujudkan swasembada pangan.
Salah satu yang benar-benar dirasakan oleh petani seperti Darwis, yakni naiknya produktivitas hasil panen, kenaikan keuntungan hasil jual, adopsi praktik pertanian unggul dan penggunaan pupuk non subsidi untuk membantu kebutuhan petani.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian BUMN, per November 2024, program ini telah melibatkan sekitar 200.000 petani, dan 450.000 hektare lahan telah dikelola, lewat dukungan teknologi, pendampingan hingga finansial.
Adapun di tahun 2025, Pupuk Indonesia menargetkan program ini terlaksana di lahan seluas 500.000 hektare—yang mana 200.000 hektare di antaranya, diperuntukkan bagi budidaya padi. Sisanya, 300.000 hektare diperuntukkan komoditas pada non beras, seperti; tebu, singkong, kopi, kelapa sawit, hortikultura dan lain-lain.
Ke depannya, program ini justru memasang target yang lebih masif, sehingga mampu mendorong kemandirian dan keberlanjutan bagi petani Indonesia.
Selain itu, agar program tersebut efektif, Pupuk Indonesia juga mendorong agar para petani menerapkan praktik pertanian baik dan benar. “ Cara ini dapat mengoptimalkan hasil pertanian, dari segi produktivitas maupun pendapatan petani dan dapat berkontribusi dalam percepatan swasembada pangan nasional,” kata Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia, Tri Wahyudi Saleh, saat Safari Makmur, di Kuningan, Jawa Barat (pupuk-indonesia.com, 24 Februari 2025).
***
Sudah lewat tengah hari. Saya pamit. Kami saling berjabat tangan. Saat itu, Mardanis kembali mempertegas sebuah harapan yang belum terwujud. “Mimpi saya ke depan, pastinya jadi kampung agrowisata nanas,” katanya.
Seketika itu pula, saya membayangkan kebun nenas di desa ini, ramai didatangi pengunjung. Mereka memetik nanas matang. Dikupas. Menikmati daging buah yang kuning di atas pendopo, sambil bercengkrama bersama keluarga.
Di sudut lain, terbayang pula oleh saya, sekelompok pelajar tengah mendengarkan petani menjelaskan tentang cara budidaya nanas dari awal hingga panen. Termasuk bagaimana cara mengolahnya menjadi keripik. Saya bisa membayangkan seperti apa mimpi Merdanis dan semoga itu terwujud.***