BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Cindi Shandoval berhasil mewujudkan ide kreatifnya dengan memanfaatkan nanas petani di Kabupaten Siak dan Pelalawan, menjadi produk olahan yang menjanjikan keuntungan.
“Awalnya kita mau bantu kelompok petani wanita di tiga desa di Kecamatan Sungai Apit. Mereka diberdayakan untuk menanam nanas, tapi pasarnya nggak ada, jadi kita masuk di situ,” kata Owner produk olahan merk Pinaloka itu, saat berbincang dengan Bertuahpos.com, Sabtu, 27 April 2024.
Cindi memajang produk olahan nanasnya di salah satu stand UMKM dalam acara Riau Sharia Week 2024, yang digelar Bank Indonesia (BI) Provinsi Riau di Mal Living World.
Setidaknya, ada beberapa produk hasil olahan nanas yang mejeng di sana, di antaranya; dry nanas untuk bahan baku garnish (hiasan minuman) hotel dan cafe, lalu sirup nanas, dan dua jenis selai nanas untuk isian roti lapis dan isian kue nastar.
Menurut Cindi, olahan nanas produksi Pinaloka justru lebih diminati pasar di Jakarta, Bali dan Makassar. Ketiga daerah ini, menjadi pasar terbesar — yang menghabiskan sekitar 200 kilogram buah nanas setiap bulannya. Sedangkan untuk pasar di Riau, hanya masuk ke beberapa ritel saja.
“Sementara ini ada tiga desa yang telah jadi mitra tetap kami, yakni Desa Tanjung Kuras, Lalang dan Penyengat. Kami juga sudah berkolaborasi dengan petani nanas di Pelalawan untuk bahan baku,” katanya.
Adapun jenis nanas yang dijadikan sebagai bahan baku untuk produk olahan Pinaloka, adalah nanas grade B dan C. Nanas jenis ini biasanya tidak begitu diminati pasar buah, sehingga petani biasanya hanya jual murah. “Padahal capek tanam dan panennya sama aja,” jelasnya.
Siak dan Pelalawan — yang didominasi gambut — menjadi lahan paling ramah untuk jenis tanaman nanas. Saat ini, kualitas nanas dari Sungai Apit memang sudah dikenal sejak lama, bahkan pasarnya sudah merata, terutama untuk memenuhi permintaan pasar di Kota Pekanbaru dan Kampar.
Para petani yang awalnya didukung pemerintah untuk berkebun nanas, berhasil meningkatkan jumlah produksi. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan kemampuan promosi yang terbatas membuat pasar dari hasil panen nanas mereka juga terbatas.
Pada tahun 2018, kata Cindi, para petani nanas—khususnya di tiga desa tersebut— sudah diajarkan bagaimana cara mengolah buah nanas menjadi produk turunan bernilai ekonomi tinggi. Namun terkendala karena usia, fasilitas, kemampuan marketing, dan hal lainnya.
“Dengan segala keterbatasan itu mereka nggak mampu. Kami hadir untuk sebagai bentuk keberlangsungan mata pencaharian mereka dari bertani buah nanas. Karena perlu legalitas, akhirnya kami berinisiatif untuk membangun perusahaan yang fokus mengolah produk turunan dari nanas,” kata Cindi.
Polanya, kelompok tani wanita mengolah hasil panen nanas mereka menjadi produk setengah jadi, sesuai dengan SOP yang ditentukan.
Dia juga menempatkan perwakilan dari perusahaannya untuk quality control, lalu salah seorang perwakilan kelompok ditunjuk sebagai penanggung jawab. Dengan begitu produk bahan baku setengah jadi yang diolah petani tetap sesuai standar perusahaan.
Saat ini perusahaan milik Cindi memberlakukan pola saham terbuka kepada kelompok tani yang bekerja sama Pinaloka. “Kami bermitra dengan desanya dengan melepas 10 persen saham untuk mereka. Saham untuk personal masih belum, karena niat awal kita memang untuk membantu para kelompok taninya,” ujarnya.
Saat ini, kata Cindi, pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan kelompok petani nanas di Kabupaten Bengkalis. Namun, beberapa kesepakatan masih dipertimbangkan, terlebih ada beban biasa ongkos angkut yang tergolong tinggi.
Kendati demikian, dia menegaskan tak menutup kemungkinan peluang kerja sama bisa terbuka dengan seluruh petani nanas yang ada di kabupaten/kota di Riau.***