BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Kota Pekanbaru kini tak hanya dikenal sebagai pusat perekonomian Riau, tapi juga sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan bisnis coffee shop paling dinamis di Pulau Sumatera. Seiring meningkatnya minat masyarakat, khususnya generasi milenial dan Gen Z, kedai kopi atau coffee shop telah menjelma menjadi bagian dari gaya hidup urban.
Dalam lima tahun terakhir, geliat pertumbuhan coffee shop di Pekanbaru meningkat signifikan. Menjamurnya tempat-tempat ngopi kekinian bukan tanpa sebab. Masyarakat, terutama generasi muda, kini menjadikan coffee shop sebagai third place—tempat ketiga setelah rumah dan kantor—untuk bekerja, bersantai, bahkan membangun jaringan sosial.
Tidak heran jika suasana coffee shop kini tak hanya mengandalkan cita rasa kopi, melainkan juga desain interior yang instagramable, koneksi internet cepat, hingga pemilihan musik yang mendukung produktivitas.
“Kalau dulu ke warung kopi cuma buat ngobrol atau ngopi bareng teman, sekarang saya hampir setiap hari kerja di coffee shop. Nyaman dan nggak ngebosenin,” ungkap Nadya, freelancer desain grafis yang rutin berpindah dari satu coffee shop ke coffee shop lain di Pekanbaru.
Data tidak resmi menunjukkan lebih dari 200 coffee shop beroperasi di Pekanbaru, dari yang skala kecil hingga brand nasional. Nama-nama seperti Monochrome Coffee & Kitchen, Kala Bumi, Samara Coffee & Roastery, serta pendatang baru seperti Leton Coffee, terus menjadi sorotan karena mampu mengusung konsep unik dan konsisten dengan kualitas.
Namun, tingginya minat pasar juga berarti persaingan kian ketat. Para pelaku usaha harus memutar otak agar tidak tenggelam di tengah kompetisi yang terus membara. Mereka dituntut tidak hanya menjual kopi, tetapi juga menjual pengalaman.
“Sekarang nggak cukup cuma jual kopi enak. Pengunjung nyari tempat yang estetik, nyaman, dan punya ciri khas,” kata Heru, owner salah satu coffee shop yang baru beroperasi di Jalan Arifin Achmad.
Menurut hasil studi dari UIN Suska Riau, bisnis coffee shop di Pekanbaru memiliki return of investment (ROI) yang relatif cepat, tergantung pada konsep dan lokasi usaha. Bahan baku kopi yang tersedia di daerah Sumatera, termasuk kopi Gayo dan Mandailing, juga menjadi keunggulan tersendiri karena mudah diakses dan berkualitas tinggi.
“Modal awal bisa dimulai dari Rp100 juta sampai miliaran, tergantung skala dan konsep. Tapi banyak juga yang berhasil break even point hanya dalam waktu 6-12 bulan,” tulis penelitian tersebut.
Coffee shop juga menjadi ruang baru yang menyerap tenaga kerja muda, baik barista, kitchen crew, maupun tim kreatif. Beberapa pelaku usaha bahkan bekerja sama dengan UMKM lokal untuk menyuplai makanan pendamping atau karya seni yang dipajang di dinding kedai.
Meski prospeknya menjanjikan, bisnis coffee shop tak luput dari tantangan. Perubahan selera konsumen, kenaikan harga bahan baku, hingga tren digitalisasi menuntut pelaku usaha untuk terus berinovasi.
Beberapa pelaku sudah mulai beradaptasi dengan menjual produk kopi dalam kemasan (ready to drink), menyediakan sistem pemesanan daring, dan memperkuat kehadiran di media sosial.
“Bisnis ini dinamis. Yang bertahan adalah yang mau belajar terus dan bisa fleksibel,” tutur Reza, praktisi bisnis kopi dan pemilik roastery lokal di Pekanbaru.
Bisnis coffee shop di Pekanbaru bukan hanya soal kopi, tapi tentang menciptakan ruang baru yang memenuhi kebutuhan sosial, produktivitas, dan hiburan. Dengan tren konsumsi kopi yang terus meningkat secara nasional dan pertumbuhan kota yang makin pesat, Pekanbaru berpotensi menjadi salah satu kota dengan ekosistem kopi paling hidup di luar Pulau Jawa.
Ngopi dulu yuk !!