BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – DR Nurul Huda aktivis Perkumpulan Forum Masyarakat Bersih, kembali menggugat praperadilan Kapolda Riau terkait penghentian penyidikan dugaan korupsi di DPRD Kabupaten Rokan Hilir sebesar Rp9 miliar lebih tahun 2017 lalu. Pengadilan Negeri Pekanbaru telah menjadwalkan sidang pertama pada 7 Maret mendatang.
Selain Kapolda Riau, Kepala Kejaksaan Tinggi Riau juga jadi termohon dua dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai termohon tiga.
Dalam gugatan praperadilan yang disampaikan DR Nurul Huda ke Pengadilan Negeri Pekanbaru, disebutkan, pengusutan SPPD fiktif masal dewan Rohil telah berlangsung sejak 26 september 2018, akan tetapi hingga Februari 2022, proses hukumnya masih dalam tahap penyidikan dan belum ada yang ditetapkan menjadi tersangka.
Pemohon prapid (Nurul Huda), antara lain, menilai tidak sahnya penghentian penyidikan secara materiil dugaan korupsi Dewan Kabupaten Rohil 2017. Alasannya,
Termohon I (Kapolda Riau) telah melakukan pengusutan/proses hukum dugaan korupsi masal sppd fiktif masal dewan rohil TA 2017 sejak 26 September 2018, hingga terakhir memberikan informasi perkembangan pengusutan/proses hukum kepada masyarakat tertanggal 20 September 2021 bahwa perkara sudah naik ke tingkat penyidikan dengan nomor SP.Sidik/53/RES.3.3/2021/Reskrimsus, tanggal 27 Mei 2021.
Berdasarkan informasi dari pengumpulan dokumen diduga telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dari instansi lainnya Tahun anggaran 2017 yang berindikasi adanya kerugian negara sebesar Rp. 9.023.592.147,27
Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Riau atas laporan keuangan pemerintah Kab. Rokan Hilir (LKPD) TA.2017 terdapat temuan sebagai berikut:
a. Kelebihan bayar tunjangan transportasi anggota DPRD Kab. Rokan Hilir TA. 2017 sebesar Rp 96.050.000,-
b. Pencatatan BKU Bendahara pengeluaran Sekretariat DPRD TA. 2017 tidak didukung bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan sah sebesar Rp. 4.155.357.319,- yang terdiri dari:
i. Kegiatan reses masa sidang II dan masa sidang III tidak ada pertanggungjawaban sebesar Rp. 50.592.946,-
ii. Pajak kegiatan reses yang dipotong oleh Bendahara Pengeluaran belum disetor sebesar Rp. 588.841.430,-
iii. Terdapat perjalanan dinas dan kegiatan lainnya dilingkugan sekretariat DPRD Kab. Rokan Hilir tidak didukung bukti pertanggungjawaban sebesar Rp. 3.518.022.843,-
c. Belanja Honorium tim ahli tidak didukung bukti pertanggungjawaban sebesar Rp. 450.000.000
d. Terdapat kelebihan pembayaran atas perjalanan dinas sebesar Rp. 92.233.000,-
e. Terdapat kelebihan pembayaran belanja alat tulis kantor sebesar Rp. 195.685.170. Jumlah temuan seluruhnya adalah sebesar Rp. 4.989.325.489.
Berdasarkan surat Inspektorat Kabupaten Rokan Hilir nomor: 700/INSP/2019/274 tanggal 19 Juli 2019, terhadap temuan Laporan Hasil (LHP) BPK RI Perwakilan Riau atas Laporan Keuangan Pemerintah Kab. Rokan Hilir (LKPD) TA. 2017 sebesar Rp989.325.489,- telah disetor ke Kas Daerah sebesar Rp4.714.325.489 dan dibayarkan ke tim ahli sebesar Rp 275.000.000,-
Dalam laporan hasil investigatif BPK RI atas pengelolaan keuangan Bandahara pengeluaran pada sekretariat DPRD Kabupaten Rokan Hilir dan Instansi Lainnya TA. 2017 terdapat penyimpangan pada kegiatan sebagai berikut:
a. Kegiatan reses masa sidang II tidak didukung bukti pertanggungjawaban dan dipertanggungjawabkan lebih tinggi sebesar Rp. 1.041.333.158.67,-
b. Perjalanan dinas dan kegiatan lainnya tidak didukung bukti pertanggungjawaban sebesar Rp. 3.153.950.656,-
c. Makan minum reses serta honor ahli dilaksanakan namun tidak dibayarkan kepada pelaksana kegiatan Rp. 1.412.335.522,-
d. Pembayaran atas perjalanan dinas pertanggungjawaban fiktif sebesar Rp. 3.085.203.756,-
e. Realisasi belanja LS lebih tinggi dari realisasi pengeluaran sebenarnya Sebesar Rp. 330.769.049.60,-
Jumlah sebesar Rp. 9.023.592.142.27-
6. Bahwa dari laporan hasil investigatif BPK RI bahwa adanya temuan sebesar Rp. 9.023.592.142.27,- nilai tersebut sudah termasuk temuan dari BPK RI Perwakilan Riau sehingga ada temuan yang lain sebesar Rp. 4.034.266.653.27,- yang harus dipertanggungjawabkan.
Informasi tersebut dapat disimpulkan adanya indikasi dugaan tindak pidana korupsi dan atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan Bendahara Pengeluaran pada sekretariat DPRD Kabupaten Rokan Hilir dan instansi Lainnya TA. 2017 yang adanya indikasi kerugian Keuangan Negara sebesar Rp. 4. 034.266.653.27.
Berdasarkan LHP BPK atas LKPD Pemda Rohil 2017 terdapat SPPD fiktif dewan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini bertentangan dengan:
a. Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara
b. Pasal 60 ayat 1 Peraturan pemerintah Nomor 58 tahun 20105 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah
c. Pasal Pasal 132 dan Pasal 221 permendagri nomor 13 tahun 2016 tentang pengelolaan keuangan daerah
d. Pasal 9 ayat 3 Pasal 15 ayat 4 dan Pasal 16 Peraturan pemerintah Nomor 18 tahun 2017 tentang hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD
e. Perda Kabupaten Rokan Hilir Nomor 5 tahun 2017 tentang pelaksanaan hak administrasi keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD;
Termohon I tidak sungguh-sungguh mengusut dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 dengan memulai kembali melakukan penyelidikan hal ini tertuang dalam surat perintah penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/145/VIII/RES.3.3/2020/Reskrimsus tanggal 14 Agustus 2020.
Harusnya laporan BPK ke Penegak hukum langsung dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik. Bukan lagi untuk melakukan penyelidikan, hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 ayat 1 undang-Undang 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dikatakan bahwa “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Kemudian dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK mengatakan bahwa, “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenangsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut”. Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK mengatakan bahwa “laporan BPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat 3 dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
BPK telah melaporkan temuannya kepada Polda Riau dengan ditindaklanjuti melalui Laporan Informasi Nomor R/LI-85/VII/RES 3.3.5/2018/Ditreskrimsus, tanggal 31 Juli 2018 yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya surat perintah penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/145/VIII/RES.3.3/2020/Reskrimsus tanggal 14 Agustus 2020. Kemudian adalagi Laporan Informasi Nomor R/LI-59/VIII/RES 3.3./2020/Ditreskrimsus, tanggal 4 Agustus 2020 dan terbitlah surat perintah penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/09//I/RES.3.3/2021/Reskrimsus tanggal 5 Januari 2021 dan kemudian keluar lagi surat perintah penyelidikan Nomor Sprin.Lidik/77//III/RES.3.3/2021/Reskrimsus tanggal 23 Maret 2021 dan terakhir terbitlah laporan polisi Model A Nomor LP/192/V/RES.3.3/2021/RIAU/DITRESKRIMSUS tanggal 25 mei 2021 dan kemudian keluarlah surat perintah penyidikan dengan Nomor SP.Sidik/53/77/V/RES.3.3.5/2021/Reskrimsus tanggal 27 Mei 2021;
Berdasarkan penjelasan itu, termohon I tidak cermat dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap penyalahgunaan keuangan negara yang diduga mengandung unsur pidana dengan melakukan penyelidikan terlebih dahulu serta penyelidikan yang berlarut-larut. Termohon I hanya mengirimkan SPDP kepada kejati Riau tanggal 28 Mei 2021, tetapi tidak mengirimkan SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan) kepada KPK dan terlapor atau terperiksa hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 menyatakan penyampaian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum, akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu palimg lambat 7 hari.
Termohon I (Kapolda Riau) tidak menyebutkan secara jelas dan terang dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 yang bagian mana naik ketingkat penyidikan.
Termohon I semenjak telah mengeluarkan surat perintah penyidikan tanggal 27 Mei 2021 belum ada menetapkan terduga-terduga sebagai tersangka, sehingga menimbulkan persepsi publik, termohon I tidak cukup serius menuntaskan perkara dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017;
Termohon III tidak cukup serius mendesak termohon I untuk segera melengkapi berkas perkara guna memberi petunjuk-petunjuk untuk menuntaskan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 yang telah naik ketingkat penyidikan.
Nurul Huda menganggap Termohon III lalai melakukan pengawasan pengusutan tindak pidana korupsi, mengingat sudah tiga tahun lebih dan 8 bulan sejak naik ke tahap penyidikan belum menetapkan terduga-terduga sebagai pelaku dalam dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017.
Termohon III tidak cukup serius melakukan supervisi dan koordinasi kepada termohon I sehingga pengusutan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017 menjadi berlarut-larut;
Termohon III tidak segera mengambil alih penanganan perkara, padahal telah nyata adanya hambatan dari termohon I dengan adanya Surat Telegram Kabareskrim Nomor: ST/206/VII/2016 tanggal 25 Juli 2016 yang menyebutkan “jika dalam proses penyelidikan ada pengembalian kerugian keuangan negara ke kas negara agar penyidikan tidak ditingkatkan penyidikan,” hal ini bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya.
Atas dasar ini, pemohon praperadilan memohon kepada majelis hakim mrnyatakan secara hukum Para Termohon telah melakukan tindakan Penghentian Penyidikan secara materiel dan diam – diam yang tidak sah menurut hukum, berupa tindakan tidak melanjutkan proses perkara aquo sesuai tahapan KUHAP, UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menyatakan Termohon III tidak menjalankan tugasnya mengawasi kinerja Termohon I secara maksimal berdasarkan Pasal 6, 7, 8 Peraturan Presiden Nomor 102 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Korupsi dan menyatakan Termohon II tidak menjalankan amanah rakyat untuk mendesak termohon I agar segera mengirimkan berkas perkara;
Memerintahkan Termohon I melanjutkan proses hukum selanjutnya serta menetapkan terduga-terduga pelaku sebagai tersangka sebagaimana yang disebutkan dalam LHP BPK terhadap LKPD kabupaten Rokan Hilir Tahun anggaran 2017 terkait dugaan tindak pidana korupsi dan/atau penyalahgunaan wewenang atas pengelolaan keuangan bendahara pengeluaran pada sekretariat DPRD kabupaten Rokan Hilir dan instansi lainnya TA. 2017
7. Memerintahkan TERMOHON III melakukan proses hukum selanjutnya dan melakukan pengambilalihan perkara aquo dari Termohon I.***(bpc17)