BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Hanya kurang lebih satu menit, sidang terdakwa kasus korupsi lahan bakti praja Marwan Ibrahim, usai. Agenda sidang hari ini adalah tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Romi Rozali.
Kepada majlis hakim, Romi menyampaikan permohonan maafnya, bahwa berkas tuntutan belum selesai. Dia minta sidang ditunda selama seminggu.
“Kepada yang terhormat majilis hakim, kami mohon mohon maaf bahwa berkas tuntutan belum selesai. Oleh sebab itu kami dari Jaksa Penuntut Umum memintah sidang ditunda selama seminggu,” ujarnya, Rabu, (21/01/2014).
Sementara itu, Marwan Ibrahim menyatakan kesediannya atas penundaan sidang tersebut. Majlis hakim langsung menutup sidang. Dalam pembelaannya pekan lalu, Marwan Ibrahim, bersumpah atas nama tuhan bahwa dirinya tidak pernah datang ke kantor Badan Pertanahan Daerah (BPD) Pelalawan, di tahun 2008.
“Demi Allah Saya tidak pernah minum kopi di kantin BPD. Saya tidak pernah pergi ke kantor BPD Pelalawan ketika itu,” ujarnya kepada Majlis Hakim, Rabu (14/01/2014).
Sidang ke 14 mantan Sekretaris Daerah Bupati Pelalawan dimasa Tengku Azmun Jaafar tersebut, dalam agenda pemeriksaan terdakwa terhadap kasus pengadaan lahan komplek Perkantoran Bakti Praja, di Kabupaten Pelalawan.Dalam keterangannya kepada majlis hakim di Kantor Pengadilan Negeri Pekanbaru ini, Marwan mengaku bahwa ditahun 2002 dirinya masih menjbat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Pelalawan di masa Pemerintahan Tengku Azmun Jaafar.
“Pembelian tanah dilakukan pada pertengahan Mei 2002, atas permintaan bupati uang itu diserahkan kepada Syahrizal Hamid, yang menjabat sebagai Kepala BPD ketika itu,” tambahnya.Anggaran yang dikeluarkan untuk pembelian tanah itu, Marwan mengira menggunakan dana rutin Sekda. “Saya setuju, sepanjang itu bisa digunakan,” tambahnya.
Namun, dirinya mengaku secara teknis diatur oleh Lahmudin.Pada tanggal 14 Mei tahun 2002, Marwan disodorkan kwitansi pembayaran oleh Lahmuddin, dengan jumlah Rp. 500 juta, yang akan diserahkan kepada Syahrizal Hamid. “Saya tanda tangan atas nama Pak Bupati,” tambahnya.
Lahmudin yang menjabat sebagai bendahara, tidak pernah melaporkan kepadanya bahwa ada pembayaran pada tanggal 07 bulan Mei 2002. Sementara Marwan menandatangani kwitansi pada tanggal 14 Mei 2002. “Artinya pembayaran sudah dilakukan oleh Lahmudin dulu, baru minta tandatangan saya. Saya tidak tau pembayaran itu rupanya sudah dilakukan. Saya taunya setelah diperiksa oleh penyidik,” katanya.
Dari keterangan terdakwa menyebutkan bahwa bendahara ketika itu sama sekali tidak pernah melaoprkan mata anggaran mana yang digunakan untuk melakukan pembayan atas tanah 20 hektar itu.Saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) Romi Rozali menanyakan proses pembangunan 30 unit kator dinas di atas lahan Bakti Praja, berlangsung ditahun 2003, terdakwa ketika itu masih menjabat sebagai Sekda Pelalawan. Namun status tanah tersebut belum jelas.
Terdakwa menyebutkan status tanah itu atas nama penguasan Pemda. Tapi belakangan dia menyebutkan bahwa status tanah tersebut atas nama keluarga Syahrizal Hamid. “Itupun saya tahunya saat penyidikan,” tambahnya.
Pada saat itu memang Pemda membuat kebijakan tanah 20 hektar ini. Perlu perluasan menambahan kantor. Disitulah Pemda ambil kebijakan untuk pembebasan tanah di sekitar kantor tersebut. Karena jawaban terdakwa berbelit-belit. JPU menunjukkan peta tanah kepada majlis hakim. Namun lagi-lagi Marwan menjawab tidak tahu.
“Peran Sekda untuk pembebasan tanah 2009. Sesuai SK Bupati memang sebagai Ketua Tim 9. Dalam perencanaan harus tahu areanya di mana, luasnya berapa kan,” ujar Romi.
“Tapi saya tidak tahu hal itu,” jawab Marwan.”Tugas saya hanya terkait tim 9 itu saja. Rp.17 milyar tahun 2009 pencairannya tidak di ruagan saya.”
Tahun 2002 ada perintah dari bupati agar Marwan mencairkan uang 500 juta, diperintahkan melalui Lahmudin. “Ternyata uang itu digunakan untuk pembayaran tanah. Ini tidak pernah dilaporkan kepada saya, makannya tidak pernah dibahas pada saat perumusan APBD Perubahan,” tambahnya.
Dia melanjutkan, bahwa uang itu bisa dicairkan setelah penandatangana SKO. Marwan tahu uang tersebut untuk membeli tanah. Namun yang tanda tangan SKO itu wewenang bupati. “Bukan saya,” ujarnya.
Bupati sebagai pemegang keuasaan. Setiap pengeluaran APBD harus ada SKO. “Saya sama sekali tidak pegang SKO, itu dipegang Kabag keuangan.” Pada saat itu, menurut penuturan Marwan, uang ini dibayar dulu. Sementara administrasi lainnya menyusul. Tapi tidak ada laporan dari hasil pekerjaanya ini. Bupati mengatakan bahwa pembangunan kantor itu sadah ada tanah yang disiapkan Syahrizal Hamid.Â
“Ini yang tidak ada dilaporkan ke saya. Saya percaya saja sama Sahrizal Hamid. Secara teknis dia yang lebih mengetahui dari pada saya. Makanaya saya tidak minta,” lanjut Marwan. (Melba)