BERTUAHPOS.COM – Berpuluh-puluh tahun buka 24 jam hingga dibatasi hanya 16 jam, yaitu pukul 09.00 Wib sampai pukul 01.00 hari berikutnya, pada tahun 2011, membuat perputaran uang di lokalisasi prostitusi Dolly menjadi salah satu mesin ekonomi Surabaya.
Pasalnya, di kawasan ini, perputaran uang tidak hanya terjadi dari aktivitas penjaja dan penikmat seks semata. Warga di sekitar Dolly yang beraktivitas sebagai pedagang kaki lima (PKL), calo PSK, penjual rokok, pemilik warung kopi hingga buruh cuci juga turut andil di dalamnya.
Setiap hari, deretan parkir, PKL, penjual rokok, penjual kopi hampir tidak pernah sepi di sepanjang jalan itu. Begitu juga dengan klub malam dan tempat-tempat karaoke, semakin malam akan semakin banyak pengunjung yang datang. Bukan hanya dari dalam kota, tapi juga dari luar kota Surabaya dan bahkan mancanegara.
Lokalisasi prostitusi yang sudah beraktivitas sejak tahun 1960-an ini telah menjadi tumpuan hidup ribuan orang.
Banyak yang menyebutkan bahwa perputaran uang di kawasan red light district legendaris ini bisa mencapai miliaran rupiah. Ada yang menyebutkan Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar dalam sehari. Belum termasuk jumlah uang yang masuk ke kas daerah dari pajak yang nilainya juga bisa mencapai miliaran rupiah.
Namun, Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya, Joestamadji, membantah bahwa puluhan miliar uang dari Dolly tidak masuk ke kas daerah. Menurut Joestamadji, sejumlah aktivitas di Dolly tidak ditarif retribusi selama ini.
Sementara itu, menurut hitungan AFP, dalam sehari semalam, uang yang berputar di kawasan ini mencapai Rp 300 juta hingga Rp 500 juta (25.000 dollar AS-42.000 dollar AS). Uang itu sebagian besar dinikmati oleh para pedagang kaki lima di sekitar lokasi, para sopir taksi dan tukang ojek.
Adapun para PSK mendapatkan penghasilan sebesar Rp 10 juta hingga Rp 13 juta rupiah per bulan (850 dollar AS-1.100 dollar AS).
Melihat begitu besarnya perputaran uang dari kehadiran rumah-rumah bordil di kawasan Dolly, tak heran jika muncul penolakan atas penutupan lokalisasi itu. Meski begitu Pemkot Surabaya tetap bersikukuh melakukan penutupan.
“Saya tidak akan pernah bisa menemukan pekerjaan lain karena saya bahkan tidak menyelesaikan sekolah dasar,” kata seorang PSK seperti dikutip dari AFP.
Berdasarkan data terakhir Dinas Sosial Kota Surabaya sebelum penutupan, jumlah pekerja seks komersial (PSK) sebanyak 1.449 dengan mucikari sekitar 311 orang. Jumlah ini memang meningkat dari data akhir 2013 yang hanya sebanyak 1.181 orang. Jumlahnya juga meningkat sejak muncul desas-desus lokalisasi ini akan ditutup.
Konsekuensi dan solusi
Wali Kota Tri Rismaharini tentu memahami konsekuensi bahwa Surabaya akan kehilangan salah satu mesin uang di kotanya seiring dengan rencana pemda dan pemkot untuk menutup lokalisasi prostitusi ini. Namun, Risma mengaku punya alasan sendiri.
“Kami harus mengangkat rakyat kita dari penindasan,” kata Risma, Senin (16/6/2014), seperti juga dikutip dari AFP.
Wali Kota perempuan pertama di Surabaya ini pun berencana akan mengubah kawasan itu menjadi sentra ekonomi, PKL dan perpustakaan. Sejumlah wisma yang ada akan dibeli oleh Pemkot Surabaya, sedangkan para PSK dan mucikari juga akan diberi uang sebagai modal.
Pemkot Surabaya telah menyiapkan anggaran rehabilitasi lokalisasi Dolly-Jarak sekitar Rp 16 miliar.
Menurut Risma, nilai anggaran kompenasi dari Kemensos untuk PSK Dolly-Jarak yang telah disediakan Kemensos mencapai total Rp 8 miliar. Sedangkan kompensasi untuk mucikari lokalisasi Dolly-Jarak dari Pemprov Jatim mencapai Rp 1,5 miliar.(Kompas)