BERTUAHPOS,Jakarta : Sebuah sistem perekonomian dalam sebuah negara diakui menjadi salah satu penentu kemakmuran negara tersebut. Oleh karena itu, hingga kini masih ditemui jurang antara negara kaya dan miskin.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, ada satu pertanyaan klasik yang sampai saat ini masih relevan, yaitu mengapa sejumlah negara jauh lebih miskin dibanding dengan kelompok negara lain.
Adanya variasi kemakmuran antar negara di dunia, tentunya menimbulkan pertanyaan lanjutan tentang sistem ekonomi seperti apa yang membuat suatu negara menjadi lebih makmur dibandingkan negara lain.
Dia menjelaskan, walaupun terdapat pertumbuhan spektakuler pada pendapatan per kapita negara di dunia selama abad ke 20, namun jurang antara negara kaya dan miskin justru melebar.
“Situasi ini membuat para akademisi dan pengambil keputusan tidak nyaman. Karena justru seharusnya dengan globalisasi tembok-tembok penghalang menyebarnya kemakmuran semakin runtuh. Saat ini suatu ide dapat mendunia dalam sesaat,” ujarnya di Gedung BI, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2013).
Menurut Agus, meskipun saat ini berbagai halangan perdagangan barang dan penanaman modal sudah tidak ada lagi, namun dalam kenyataannya perbedaan yang tajam dalam pendapatan dan standar hidup tetap ada.
“Suatu teka teki yang memang harus dicari jawabannya,” lanjutnya.
Dia menyebutkan, sumber literatur ekonomi sendiri telah mendokumentasikan, variasi dalam pendapatan per kapita dan kesejahteraan antar negara berhubungan erat dengan perbedaan SDM (human capital), modal fisik (fisical capital) serta teknologi.
“Kita sama-sama memahami bahwa perbedaan dalam kualitas pendidikan, perbedaan dalam ketersediaan infrastruktur dan permesinan, perbedaan dalam penggunaan teknologi baru serta alokasi sumber daya antar aktifitas dgn produktifitas yang berbeda-beda bermuara pada pendapatan yang berbeda antar negara,” jelasnya.
Dia juga mengatakan, kesejahteraan antar negara sebenarnya mencerminkan dua kelompok pertumbuhan, yaitu tidak terdapatnya pertumbuhan yang stabil di suatu bagian dunia, serta terdapatnya suatu pertumbuhan yang berkelanjutan di negara lain.
“Variasi dari berbagai capital dan teknologi tadi sebenarnya hanya penyebab, tetapi justru melahirkan pertanyaan selanjutnya yaitu mengapa sejumlah negara memiliki human capital, memiliki fiscal capital, dan memiliki teknologi, serta pemanfaatan faktor produksi dan kesempatan yang ada tidak dilakukan secara optimal,” tandasnya. (Dny/Ahm/liputan6.com)