BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Banjir yang melanda Kabupaten Kampar sejak akhir pekan lalu disebut terparah sejak tahun 1978. Bedanya air yang membanjiri daerah Kampar yang dekat dengan aliran sungai, bertambah tinggi dengan cepat.
Dikisahkan seorang warga, Samsudin (61) yang tinggal di Kampar Utara pada tahun 1978 banjir datang secara perlahan, berangsur-angsur naik tiap hari. Sehingga warga bisa menyelamatkan barang-barang terutama elektronik, jika memang air sudah sampai sepinggang. “Kalau yang tahun ini beda. Siang air sudah semata kaki, Maghrib se pinggang, malam terus naik sampai di batas atap,” katanya kepada bertuahpos.com, sambil menunjuk tanda banjir di rumah yang belum hilang, Sabtu (13/02/2016).
Menurut pengamat lingkungan, Dr Elviriadi, SPi, MSi ada tiga hal yang mesti diperhatikan. “Yang pertama, pemerintah terutama Pemprov Riau dan Pejabat Daerah Kampar harus jujur bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan di hulu PLTA Koto Panjang,” katanya.
Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska)Â Riau ini menilai pemerintah daerah pasti sudah mengetahui hal itu. “Jadi jangan mencari kambing hitam penyebab banjir ini. Mari kita jujur saja, bahwa memang sudah ada terjadi pengalih fungsi lahan di Hulu Koto Panjang,” sebutnya.
Kata Elviriadi semestinya sesuai dengan UU 41 tahun 2009 tentang hulu sungai 30 persennya harus berupa hutan, yang berfungsi sebagai catchman are atau tangkapan air. “Kalau hutan di hulu sungai masih ada tentu air yang datang tidak secepat ini. Karena air akibat guyuran hujan semestinya melewati kawasan tangkapan air,” katanya.
Langkah selanjutnya jika sudah dapat ada perusahaan atau pribadi mengambil alih hutan pemerintah mesti mengambil tindakan. “Ambil alih perkebunan. Cabut isin lahannya, jadikan langsung sebagai peruntukan kawasan konservasi,” katanya.
Lalu PLTA Koto Panjang dan hilir sungai menurut Elviriadi telah alami sedimentasi atau pendangkalan. “Buktinya saat hujan deras datang, air langsung naik meluap tidak dapat ditampung. Berarti terjadi sedimentasi pada PLTA Koto Panjang akibat hutan yang berada di hulu sudah beralih fungsi. Sehingga air hujan mengalir membawa hasil kikisan tanah berbentuk lumpur, membuat waduk dangkal,” katanya.
Untuk itu diperlukan pengerukan kembali PLTA Koti Panjang. Sehingga bisa dalam kembali, dan dapat menampung debit air jika sewaktu-waktu hujan lebat mengguyur.
Elviriadi menyebutkan setidaknya 82,6 persen hutan di riau sudah dialihfungsikan untuk sawit dan Hutan Tanaman Industrial (HTI). Riau juga dikenal propinsi yang memiliki luasan perkebunan sawit terbesar di Indonesia. ‎Luasan perkebunan sawit di Indonesia adalah 13.5 juta ha, dimana 2,9 juta ha ada di Riau.
Untuk itu dirinya menilai perlu adanya konsisten menegakkan fungsi lingkungan. Dan perbaikan ekosistem baik terhadap Waduk PLTA Koto Panjang yang mengalami pendangkalan. “Kalau tidak dilakukan perbaikan, bisa jadi tanggul akan jebol,” katanya. (Riki)