BERTUAHPOS.COMÂ (BPC), PEKANBARU – Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) duduk dalam satu forum saat loka karya yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Riau di Hotel Drego, Jalan Jendral Sudirman, Pekanbaru, Sabtu kemarin.
Masing-masing dari pimpinan organisasi itu bicara soal konflik perkebunan di Riau. Mengingat, kondisi hutan antara kepentingan luasan lahan perkebunan memang tidak pernah sejalan hingga kini. Sehingga masalah tata batas dianggap pemicu utama terjadinya konflik.Â
Wahyudi dari AMAN berbicara banyak antara konflik manusia dan hewan. Beberapa kasus itu terjadi di Kampar dan beberapa wilayah lain di Riau. Diantara konflik yang pernah mencut, yakni kasus penyerangan harimau kepada petani sawit. Menurut dia, masalah ini dipicu, karena pemerintah menempatkan posisi izin yang tidak sesuai dengan lokasinya.
“Kalau tren 2 tahun karakhir, konflik besar antara masyarakat dan perusahaan. Kasunya di Kuntu, Lipat Kain, Kampar. Kalau data konflik memang belum ada,” katanya.Â
Koordinator Jikalahari Woro Supartinah berpendapat, kalau masalah konflik tidak akan pernah selesai, apalagi berkaitan dengan masalah perebutan tanah. Soal ini tidak ada jawaban pasti, kata dia. “Kami masih identifikasi. Ini masalah rumit dan susah untuk diselesaikan,” katanya.Â
Woro sependapat demgan Wahyudi, bahwa faktanya sebagian besar konflik masyarakat dan perusahaan selalu dipicu dengan perebutan lahan. Dan pemerintah tidak akui status lahan secara adat. Sementara perusahaan selalu menang karena punya izin dan legalitas.
Ketua GAPKI Riau Saut Parlaungan Sihombing, melihat masalah ini dari sisi yang lebih luas. Dulu, pemetaan lahan dilakukan dengan cara langsung turun ke lokasi. Namun sejak 2014 dilakukan pemetaan satelit.Â
“Malah baru muncul. Ada banyak lahan yang izinnya tumpang tindih. Kalau sudah seperti ini, sulit mengatakan siapa yang salah. Bahkan antar instansi pemerintah saja tidak punya satu data yang sama,” katanya.Â
Solusinya Kebijakan Satu Peta (KSP). Artinya ada satu kesamaan hukum dalam pelaksana di lapangan. Dengan demikian, antara masyarakat dan perusahaan punya garis batasan jelas dalam. Saut yakin KSP adalah solusi dari konflik.(bpc3)