BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Gejolak sosial dari penerapan PSBB di Pekanbaru akhirnya mencuat. Para RT dan RW kompak menolak bantuan sembako dari Pemerintah Kota Pekanbaru karena mereka anggap jumlah yang disalurkan sangat tidak relevan dengan warga yang berhak menerima bantuan itu.
“Terkait kasus penolakan bantuan sembako oleh RT dan RW dari Pemko, cukup membuktikan kita (Pekanbaru) tidak siap untuk PSBB,” kata pengamat komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Riau (Umri), Dr. Aidil Haris, S.Sos., M.Si.
Dia menilai, masalah tersebut muncul diakibatkan data administrasi kependudukan yang dimiliki pemerintah masih amburadul, lemahkan koordinasi dan noise komunikasi antar masyarakat dan perangkat pemerintahan. Oleh sebab itu, sangat perlu dilakukan kajian awal, sebelum Pemko Pekanbaru memutuskan untuk melakukan PSBB.
Dalam sebuah artikel tulis Aidil Haris yang sebelumnya pernah tayang di bertuahpos.com, dia mengawali tulisan itu bahwa pengetahuan dasar, mulai dari elit lingkaran atas hingga rakyat lapisan bawah masih bias. Namun semuanya mengaku tahu tentang COVID-19.
“Sedangkan orang yang tahu tidak pula mau memberitahu, sementara orang tidak tahu mengaku tahu, akibatnya proses komunikasi yang terjadi mengalami evasi (hambatan komunikasi). Alhasil, terjadilah krisis komunikasi dari berbagai sudut pandang dan perspektif,” jelasnya.
Merujuk pada akar persoalan atas aksi sosial yang dilakukan oleh para RT dan RW di Pekanbaru terhadap penolakan sembako untuk warga yang dikucurkan oleh Pemko Pekanbaru, karena tidak adanya komunikasi yang sejalan. Pemko Pekanbaru tidak mengerti dengan keinginan masyarakat, bahkan cenderung “tidak percaya” dengan data.
“Harusnya, informasi dipandang sebagai barang sosial bukan komoditi. Sehingga sangat diperlukan keseimbangan dan tanggung jawab sosial dari para pelaku komunikasi,” ujar Aidil Haris.
“Jika kita melihat pada fakta komunikasi yang terjadi dalam penanganan COVID-19, mulai di level elit hingga rakyat memperlihatkan dinamika evasi komunikasi yang begitu beresiko. Salah satu resiko yang tampak terlihat adalah semakin tingginya angka kasus positif COVID-19 di Indonesia.
Di sisi lain, rendahnya kesadaran masyarakat untuk patuh dan taat pada aturan protokoler kesehatan dan krisis ketidakpercayaan pada pemimpin merupakan indikator lain mengapa munculnya situasi seperti ini. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka efek yang akan terjadi tentu akan lebih parah lagi.
Oleh karena itu, dia menyebut, perlu sebuah penyadaran yang komprehensif dilakukan berbagai pihak, mulai dari tingkat elit hingga masyarakat. Dengan demikian akan tercipta komunikasi yang efektif antara penguasa dengan rakyatnya. Jika ini terwujud, maka upaya penanganan dan memutus rantai penyebaran covid 19 bisa teratasi lebih tepat dan cepat. (bpc3)