BERTUAHPOS.COM –PEKANBARU – Pakar lingkungan dari Universitas Riau Prof Adnan Kasri, menyatakan kabut asap dampak dari kebakaran lahan gambut yang melanda provinsi ini merupakan yang terparah sepanjang sejarah terjadinya kasus tersebut.
“Sebelumnya di sekitar tahun 1997, kasus kebakaran hebat memang sempat terjadi. Namun masih melanda sebagian besar kawasan hutan alam.
Dampak kabut asapnya ketika itu juga tidak separah kali ini, dimana pencemaran udara sudah jauh berada diatas ambang normal,” kata Adnan yang juga Guru Besar Lingkungan Universitas Riau seperti dikuti Antara, Selasa (25/6).
Pernyataan pakar ini adalah menanggapi pencemaran udara akibat kabut asap di berbagai wilayah Provinsi Riau khususnya Kota Dumai dengan tingkat konsentrasi diatas 800 bahkan mencapai 900 polutan standard indeks (PSI) pada Senin (24/6) sekitar pukul 16.00 WIB.
Jauh menurunnya kualitas udara hingga 900 PSI merupakan hal yang sangat berbahaya, tidak hanya bagi lingkungan namun juga terhadap kesehatan manusia.
Kondisi tersebut menurut Adnan merupakan peristiwa yang terburuk sepanjang sejarah terjadinya kasus-kasus kebakaran hutan atau lahan di berbagai wilayah Provinsi Riau, terlebih luas pencemarannya hingga menjangkau sejumlah negara di Asia Tenggara.
Buruknya kualitas udara akibat kabut asap tersebut, menurut dia, disebabkan rata-rata kawasan yang terbakar tidak lagi hutan alam, melainkan kawasan gambut dengan tingkat kedalaman hingga mencapai lima meter di dasar.
Kondisi demikian, menurut dia, berbeda dengan kasus-kasus kebakaran di era tahun 1990 hingga tahun 1997 yang sempat menjadi puncak terparah pada peristiwa kebakaran lahan atau hutan di Riau.
Namun ketika itu (tahun 1990-1997), demikian Adnan, kawasan yang terbakar atau dibakar adalah kawasan hutan alam yang memang dahulu masih banyak di provisi ini.
“Ketika itu (1997), menjadi puncak kebakaran hebat, luas lahan yang terbakar juga begitu parah. Namun kondisi pencemarannya terhadap udara tidak separah saat ini,” katanya.
Waktu itu, kata dia, pencemaran udara akibat asap sisa dari kebakaran hutan masih berbentuk partikel-partikel berat atau sejenis abu yang memang hanya mampu mencemari sejumlah kawasan di sekitar hutan yang terbakar karena tidak mampu diterbangkan dengan jangkauan jauh oleh angin.
Kebakaran hutan secara hebat di tahun 1997, menurut Adnan, juga masih sangat mudah jika dipadamkan, terlebih jika menggunakan peralatan canggih seperti saat ini, karena yang terbakar hanya permukaannya saja.
Namun saat ini, kata Adnan, yang namanya hutan di Riau tidak ada lagi, tersisa hanya bentangan lahan gambut yang jika terbakar, maka akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa bagi lingkungan dan makhluk hidup.
Peristiwa kebakaran lahan saat ini, menurut dia, juga tidak akan mudah dipadamkan dengan cara apapun mengingat lahan gambut yang terbakar memiliki kedalaman hingga lima meter.
“Kecuali terjadi hujan. Makanya sangat ditunggu-tunggu keberhasilan pemerintah dalam melakukan upaya hujan buatan di Riau,” katanya.
Pihak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak beberapa hari ini terus berupaya “memodifikasi” cuaca di Riau dari musim kemarau hingga terjadi hujan.
Upaya “modifikasi” cuaca ini dikabarkan membutuhkan anggaran lebih dari Rp20 miliar dengan menggunakan satu unit pesawat Herkules, satu unit pesawat Cassa, dan beberapa helikopter yang digunakan untuk “menabur” bom air di berbagai kawasan lahan gambut yang terbakar. (pekanbaru.tribunnews.com)