Bagaimana jika mendadak bumi tidak ada hutan? Iklim akan berubah secara drastis. Siklus air terganggu. Bencana alam di mana-mana. Musim hujan, kebanjiran. Musim kemarau, kekeringan. Dingin menggerogoti tulang. Panas membakar segenap yang dilintasi. Maka, keanekaragaman hayati hanya tinggal mimpi. Swasembada pangan sebatas angan. Oksigen sirna. Kelaparan dan penderitaan di setiap sudut. Bahkan, lebih buruk dari itu, “…kau, akan melihat kematian di mana-mana.”
Itu yang saya bayangkan setelah membaca isi tulisan; Dampak Deforestasi terhadap Kita, di rubrik Surat dari Dermaga yang dipublikasikan laman Forest Digest, 3 Maret 2025. Penulisnya, adalah Bambang Hero Saharjo. Dia Guru Besar Perlindungan Hutan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Sejak dulu, Bambang telah menaruh perhatian lebih terhadap isu lingkungan. Terutama soal deforestasi. Beberapa penelitiannya bahkan menjadikan Riau sebagai studi kasus.
Inilah penggalan kalimat yang membuat saya berimajinasi tentang “kiamat deforestasi” itu.
“…bayangkan jika pohon tumbang itu terjadi serentak di seluruh dunia. Ditambah lagi produksi gas rumah kaca. Dari sektor lain saling berlomba mencari atmosfer, membuat lapisan bumi menjadi kotor, menebal oleg gas, dan kehilangan kemampuannya untuk menjadi tabir bumi dari sinar matahari langsung yang mengandung ultraviolet (mematikan).”
Kalimat paling sederhana untuk memahami deforestasi, adalah berubahnya secara permanen tutupan hutan kita. Dari awalnya hutan, menjadi non-hutan. Ada fakta menarik tentang kondisi deforestasi di Riau. Menurut data yang dikeluarkan oleh Global Forest Watch (GFW), tahun 2001, Riau punya 3,67 Mha hutan primer, yang menyelimuti 41% area lahannya. Tahun 2023, hilang sekitar 29,1 Kha—setara dengan emisi sebesar 21,3 metrik ton (Mt) CO2e
Tahun 2001 hingga 2023 (sekitar kurun waktu 22 tahun), Riau kehilangan 4,20 Mha tutupan pohon, setara dengan 3.80 Gt CO2e. Setidaknya ada lima daerah di Riau yang dianggap paling bertanggung jawab atas 60% dari semua kehilangan tutupan pohon dalam periode ini. Kelimanya adalah, Kabupaten Bengkalis (425 Kha), Kampar (433 Kha), Indragiri Hilir (469 Kha), Rokan Hilir (500 Kha), dan Pelalawan (697 Kha).
Di sisi lain, Riau menjadi provinsi dengan perolehan tutupan pohon terbanyak di Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun (2000-2020), yakni seluas 847 Kha dari tutupan pohon tingkat nasional. Ini setara dengan 17% dari semua penambahan tutupan pohon di seluruh Indonesia. Di posisi kedua ada Sumatera Selatan (649 Kha), Kalimantan Tengah (619 Kha), Kalimantan Barat (501) Kha dan Sumatera Utara (391 Kha). Per 2020, sebanyak 17% tutupan lahan di Riau adalah hutan alam dan 41% lainnya tutupan pohon non alam.
Deforestasi memang bukan isu baru dan tak kan pernah basi untuk diulas. Bahkan, FAO dan Bank Dunia telah menjadikan deforestasi sebagai isu global sejak tahun 1997. Pemerintah Indonesia mulai konsen mengatasi masalah ini sejak tahun 2011 dengan menghentikan (moratorium) izin untuk pembukaan lahan di hutan alam primer, dan tentu tak berhenti sampai di situ.
Pada tahun 2012, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan izin kepada APRIL Grub untuk membentuk Program Restorasi Ekosistem Riau (RER) — sebuah program kolaboratif yang mengikat komitmen antara kelompok swasta dan publik untuk tujuan sama — memulihkan dan melestarikan kawasan hutan gambut yang memiliki nilai ekologi penting di Semenanjung Kampar. APRIL diberi izin selama 60 tahun untuk melindungi dan memulihkan produktivitas hutan yang terdegradasi dan keseimbangan ekosistemnya.
RER merupakan area hutan seluas 150.693 hektar. Secara administratif, kawasan ini berada di dua wilayah, yakni 130.095 hektar berada di tengah blok hutan yang membentang 344.573 hektar di Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, dan 20.599 hektar lainnya berada di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti — yang letaknya tidak berjauhan. “Totalnya dua kali lebih luas dari Singapura,” kata Communication Manager RER, Junior Norris Marpaung, kepada Bertuahpos dalam wawancara tertulis, 9 Mei 2025.
Program RER dimulai dengan perlindungan dan pemulihan 20.000 hektare hutan gambut di Semenanjung Kampar pada tahun 2013. Pada COP21 di Paris tahun 2015, Grup APRIL meningkatkan cakupan program ini menjadi 150.000 hektare dan berkomitmen menyediakan pendanaan sebesar US$100 juta untuk program perlindungan dan pemulihan jangka panjang dalam sepuluh tahun pertama.
Pada tahun 2020, Grup APRIL meningkatkan dampak upaya konservasinya dengan mengaitkan komitmen ini dengan pasokan serat perusahaan. Mereka berkomitmen menginvestasikan US$1 untuk setiap ton kayu dari hutan tanaman industrinya yang dikirim ke pabrik. Hingga saat ini, skema pendanaan baru ini telah menyalurkan sekitar US$50 juta untuk program konservasi.
“Saat ini, RER merupakan salah satu program restorasi lahan gambut terbesar yang dibiayai oleh sektor swasta di Asia Tenggara. Sejak awal RER bertekad untuk mencapai tujuan itu dengan melindungi kubah gambut dan keanekaragaman hayatinya, memulihkan hutan yang terdegradasi dan aspek hidrologinya, serta menciptakan lapangan kerja yang berperan penting bagi penduduk lokal dalam upaya pelestarian sumber daya hutan,” ujar Junior.
Mengapa RER Penting?
RER memegang peran penting dalam menjaga dan merawat salah satu “harta karun” paling berharga di Indonesia. Kawasan ini merupakan hutan hujan lahan gambut utuh terakhir dan terbesar di Pulau Sumatra — sebuah “benteng alam” yang menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar, sekaligus menjadi penyangga dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Lebih dari sekadar kawasan hijau, hutan ini menyediakan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar. Dari air bersih, pengendali banjir alami, hingga sumber daya seperti ikan dan madu, semua berperan mendukung kehidupan sehari-hari. “RER juga membuka peluang kerja dan mengembangkan komoditas yang menyasar pasar lokal, nasional, hingga global,” kata Junior.
Keunikan lain yang tak kalah penting, adalah kekayaan hayatinya. Dia menjelaskan bahwa sejak lama, kawasan Semenanjung Kampar telah diakui secara internasional sebagai kawasan penting bagi burung (Important Bird Area) oleh Bird Life International pada 2003.
RER juga diakui sebagai wilayah kunci keanekaragaman hayati (Key Biodiversity Area) oleh IUCN pada 2006, dan salah satu lanskap konservasi harimau (Tiger Conservation Landscape Class II) oleh WCS dan WWF sejak 2007 — menjadi rumah bagi sedikitnya 50 harimau Sumatera. Junior menjelaskan, dalam menjalankan programnya, RER memiliki 3 fokus utama, yakni keanekaragaman hayati, iklim positif dan pemberdayaan masyarakat.

Keanekaragaman Hayati
Sejak awal, strategi mengelola kawasan ini dilakukan dengan mengedepankan prinsip sustainability atau keberlanjutan. Maka, perlu dilakukan pengukuran terperinci serta pemahaman atas keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya.
RER sadar kalau mereka tentu tak bisa bekerja sendiri. Untuk mengenali lebih dalam kekayaan hayati yang dimiliki, RER aktif berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan Fauna & Flora International (FFI) yang sejak 2015 rutin melakukan survei keanekaragaman hayati di kawasan ini. Hasilnya luar biasa—hingga Desember 2024, tercatat ada 896 spesies hidup di kawasan RER. Dari jumlah itu, 14 spesies masuk kategori Kritis, 26 Terancam, dan 40 Rentan menurut daftar merah IUCN.
Tak berhenti di situ, RER juga menggandeng para peneliti dari dalam dan luar negeri. Beberapa di antaranya adalah Dr Rory Dow yang fokus meneliti Odonata (capung dan kerabatnya), serta Dr David Lee yang mendalami studi tentang Beruang Madu.
“Nah, kolaborasi semacam ini membuktikan bahwa upaya pelestarian RER tidak hanya soal menjaga hutan, tapi juga memperkuat ilmu pengetahuan demi keberlanjutan ekosistem,” jelas Junior.
Iklim Positif
Sebagai salah satu kawasan gambut terbesar di Asia Tenggara, Semenanjung Kampar menyimpan kekayaan hayati luar biasa sekaligus cadangan karbon yang sangat besar. Namun, seperti banyak ekosistem gambut lainnya, kawasan ini rawan terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) — bukan karena faktor alami, tetapi akibat aktivitas manusia seperti penebangan pohon dan pembukaan lahan yang membuat vegetasi mengering dan mudah terbakar.
Menghadapi tantangan ini, RER menerapkan pendekatan berbasis masyarakat dalam pencegahan kebakaran. Program ini merupakan bagian dari inisiatif Desa Bebas Api yang dikembangkan APRIL dan terbukti efektif di lapangan. Selain edukasi dan pelibatan warga, sistem pemantauan dan respon cepat terhadap titik api juga diperkuat. Hasilnya nyata; sejak 2015, tidak ada satu pun kebakaran atau titik panas yang terdeteksi di wilayah RER Semenanjung Kampar.
Keberhasilan ini tak lepas dari sejumlah langkah strategis, seperti penempatan petugas keamanan di setiap akses masuk, patroli harian untuk mencegah pembukaan lahan dengan api, dan kesepakatan bersama dengan masyarakat lokal—termasuk para nelayan di Sungai Serkap—untuk tidak menggunakan api dalam aktivitas mereka.
“Kami menyadari bahwa sinergi antara perlindungan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat inilah yang menjadi kunci utama menjaga Semenanjung Kampar tetap hijau dan lestari,” sebut Communication Manager RER itu.
Dia menambahkan, sebelum kawasan ini menjadi tanggung jawab RER, aktivitas pembalakan liar dan penebangan kayu komersial telah terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Pohon-pohon besar musnah. Tak cuma itu, mereka membuat kanal-kanal drainase besar untuk mempermudah akses keluar masuk berkilo-kilo meter panjangnya — dari pinggiran sungai hingga ke lokasi-lokasi yang terletak jauh di dalam hutan. Lebarnya antara 1 hingga 9 meter, dengan kedalaman 0,5 hingga 1,5 meter.
“Dari kanal besar ini, dibentuk jaringan rel pengangkut untuk memindahkan gelondongan kayu dari dalam hutan ke arah kanal, dan gelondongan kayu tersebut kemudian dipindahkan dengan cara diapungkan di sungai,” jelasnya.
Begitu aktivitas penebangan kayu dihentikan, kanal ini tetap beroperasi. Akibatnya tingkat kelembaban gambut menurun karena air terus mengalir ke dalam kanal (mengubah sifat kelembaban tanah), maka fungsi hutan pun jadi rusak.
Itulah mengapa, salah satu tujuan RER adalah memulihkan kondisi hidrologi hutan gambut. Caranya dengan menutup kanal-kanal drainase tadi, mengembalikan ketinggian muka air, hingga mendekati fluktuasi musiman alami.
Junior menyebut, dengan memulihkan ketinggian muka air, hutan gambut dapat tumbuh kembali, subsidensi dapat diminimalkan, kebakaran akan dapat lebih mudah dicegah, dan potensi emisi karbon dari gambut yang kering atau terbakar, akan dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
“Kami (RER) berencana menutup seluruh kanal sepanjang sepanjang 201 kilometer dalam waktu sepuluh tahun sejak tahun 2016. Hingga 2024, kami telah berhasil menutup 28 kanal dengan total panjang mencapai 140 kilometer. Caranya menggunakan 80 dam,” sebutnya.
Konservasi lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang tak bisa dilepaskan dari peran aktif masyarakat. Di kawasan ini, lebih dari 55.000 orang tinggal di sepanjang sungai dan garis pantai yang berbatasan langsung dengan area restorasi RER (BPS, 2024). Mereka bukan sekadar tetangga kawasan konservasi, tetapi juga bagian penting dari ekosistem sosial yang harus diberdayakan dan dilibatkan.
Itulah sebabnya partisipasi masyarakat dan pengembangan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan menjadi kunci utama keberhasilan misi RER. Ketika warga memahami nilai hutan bagi kehidupan mereka—sebagai penyedia air bersih, sumber pangan, hingga penopang iklim—maka semangat menjaga dan merawat lingkungan tumbuh secara alami dari akar rumput.
RER tak hanya hadir untuk memulihkan hutan, tapi juga untuk membangun jembatan kolaborasi antara konservasi dan kesejahteraan masyarakat. Sebuah misi yang menyatukan alam dan manusia dalam harmoni yang saling menguatkan.

Pemberdayaan Masyarakat
Konservasi lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, tak bisa dilepaskan dari peran aktif masyarakat. Di kawasan ini, menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, ada lebih dari 55.000 manusia menghuni di sepanjang sungai dan garis pantai yang berbatasan langsung dengan area restorasi RER. Mereka bukan sekadar “tetangga” kawasan konservasi, tetapi juga bagian penting dari ekosistem sosial yang harus diberdayakan dan dilibatkan.
Itulah sebabnya, kata Junior, partisipasi masyarakat dan pengembangan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan menjadi kunci utama keberhasilan misi RER. “Ketika warga memahami nilai hutan bagi kehidupan mereka — sebagai penyedia air bersih, sumber pangan, hingga penopang iklim — maka semangat menjaga dan merawat lingkungan tumbuh secara alami dari akar rumput,” ujarnya.
Di pesisir Timur Sumatera, tepatnya di Semenanjung Kampar, program RER bersentuhan langsung dengan kehidupan sekitar 17.300 penduduk yang tersebar di tujuh desa (BPS, 2024). Mereka terhubung erat dengan alam — menggantung harapan pada hasil pertanian, sungai, dan kekayaan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menariknya kegiatan ekonomi warga berjalan seiring dengan musim dan alam. Sawah dan ladangnya menghasilkan padi, jagung, pinang, cabai, hingga aneka sayuran. Mereka juga akan memanen kelapa sawit dan karet dari sektor perkebunan.
Bahkan, sejak awal 2000-an, kata Junior, ekonomi masyarakat semakin diperluas ke sektor lain. Warga membangun rumah bertingkat seperti budidaya sarang burung walet. Tidak berhenti sampai di situ, hutan rawa gambut yang mengelilingi kampung dan desa mereka turut menyumbang hasil hutan bukan kayu yang bernilai tinggi, seperti ikan, madu hutan, dan tanaman obat.
“Jadi, semua ini membentuk jalinan ekonomi yang kuat, berbasis pada kearifan lokal dan kelestarian lingkungan. Dalam ekosistem sosial seperti ini, konservasi dan penghidupan berjalan beriringan. Artinya, RER bukan hanya program restorasi, tapi telah menjadi harapan hidup bagi banyak keluarga,” ujarnya.
Sedangkan di lepas pantai timur Sumatera, terbentang Pulau Padang. Sebanyak 34.000 orang tinggal di 20 desa di pulau ini (BPS, 2024), dan sekitar 12.500 di antaranya berada di tujuh desa yang menjadi bagian langsung dari jangkauan program RER. Secara historis, Pulau Padang adalah rumah bagi komunitas adat Suku Akit. Sejak lama mereka sudah hidup secara berdampingan dengan masyarakat Melayu, Banjar, Jawa, Batak, dan Bugis. Keragaman ini menciptakan warna tersendiri dalam dinamika sosial dan budaya yang tumbuh harmonis dari generasi ke generasi.
Sejak 1960-an, penduduk Pulau Padang telah menggantungkan hidup pada alam, dengan kegiatan utama seperti perkebunan karet, sagu, dan kelapa, serta penebangan kayu yang menjadi tulang punggung ekonomi pulau selama beberapa dekade.
Hingga kini, kata Junior, pertanian dan perikanan tetap menjadi sumber penghidupan utama bagi warga. Alam menjadi sahabat yang tak tergantikan, memberikan pangan, penghasilan, sekaligus identitas. “Melalui kehadiran RER, upaya pelestarian alam di Pulau Padang berjalan beriringan dengan pelibatan masyarakat — membangun masa depan yang tak hanya lestari, tapi juga memberdayakan,” sambung Communication Manager RER itu.
Sejarah telah banyak bercerita bahwa hutan rawa gambut di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang adalah “harta karun” sumber daya alam yang tidak terbatas — terbuka bagi siapa saja untuk mengambil kayu, menangkap ikan, berburu — untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hutan, menjadi ruang hidup sekaligus sumber penghidupan utama bagi masyarakat lokal. Namun seiring waktu, sejak berkembangnya ekonomi berbasis perkebunan pada 1980-an, pola hidup pun berubah. Banyak warga beralih ke budidaya tanaman komersial demi memenuhi kebutuhan hidup modern, sementara ketergantungan terhadap hutan perlahan berkurang, kecuali untuk perikanan air tawar dan kayu untuk kebutuhan dasar.
Melihat dinamika ini, RER hadir untuk menjembatani kebutuhan ekonomi masyarakat dengan upaya konservasi hutan gambut yang tersisa. Melalui kolaborasi dengan komunitas lokal, RER telah menjalankan praktik berkelanjutan untuk mendukung terciptanya ekonomi hijau yang memberikan manfaat lingkungan dan sosial. Tidak hanya sebatas menjaga kelestarian alam, tetapi juga memperkuat kesejahteraan. Pendekatan ini fokus pada peningkatan mata pencaharian yang ramah lingkungan — dari pengelolaan hasil hutan bukan kayu hingga inovasi pertanian berkelanjutan.

Bisnis dan Kelestarian Alam, Model Investasi Masa Depan Berkelanjutan
Program RER merupakan bagian dari komitmen APRIL Group terhadap pembangunan dan pengelolaan hutan berkelanjutan di seluruh area kerja perusahaan dengan menerapkan praktik-praktik baik dalam bidang sosial, lingkungan dan ekonomi, sebagaimana tertuang dalam komitmen Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan / Sustainable Forest Management Police (SFMP 2.0) yang diluncurkan pada 28 Januari 2014 silam (satu dekade SFMP 2.0).
Hal ini menandakan bahwa perusahaan senantiasa berkomitmen untuk menghentikan kegiatan deforestasi hutan alam dari rantai pasok dan melindungi hutan dan lahan gambut di mana perusahaan ini beroperasi, serta mendukung praktik-praktik terbaik dalam mengelola hutan di semua negara, di mana perusahaan mendapatkan bahan baku kayu. Adapun SFMP, dibuat berdasarkan banyak masukan dari Stakeholder Advisory Committee (SAC) dan para pemangku kepentingan lainnya dari masyarakat sipil.
Sejalan dengan ini, Gubernur Riau, Abdul Wahid, menegaskan bahwa pemerintah tidak anti dan tidak menutup diri dengan investasi. Namun, sudah sewajarnya investasi harus mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Dia menyebut, bahwa pertumbuhan ekonomi daerah tidak boleh dibayar dengan dengan kerusakan alam.
“Kita tidak protes dengan investasi, kami mengizinkan dunia usaha untuk masuk ke Riau, tapi tentu harus ditata dan dikelola dengan baik, sehingga tidak menimbulkan bencana di kemudian hari,” ujar Wahid dalam rapat koordinasi dan dialog pengendalian Karhutla di SKA CoEx, Pekanbaru, Sabtu, 10 Mei 2025.
Dalam pesannya, Wahid mengangkat nilai kearifan lokal yang sarat makna — mengutip salah satu petuah adat Melayu, bahwa; merawat alam adalah ciri orang yang berakal sehat, berbudi luhur, dan layak memegang amanah. Sebaliknya, mereka yang merusak alam dianggap telah menyimpang dari nilai kemanusiaan dan akal budi.
Sejalan dengan itu, investasi dan arah pembangunan ekonomi Riau harus mengutamakan seiring sejalan — bukan sekadar pertumbuhan angka, tetapi juga perlindungan atas alam yang menjadi sumber kehidupan. Menurutnya, investasi yang bertanggung jawab adalah kunci untuk mencapai kemajuan tanpa harus mengorbankan kelestarian hutan, lahan gambut, dan ekosistem lainnya.
Wahid juga menegaskan bahwa Pemprov Riau akan terus memperkuat regulasi dan pengawasan, terutama terhadap aktivitas usaha yang berada di wilayah rawan kebakaran. Dengan pendekatan ini, Riau tak hanya membangun masa depan yang lebih baik, tapi juga mewariskan nilai dan alam yang lestari bagi generasi mendatang.
***
RER, hanya satu dari berbagai upaya yang dilakukan banyak pihak untuk mengubur ilusi “kiamat deforestasi”. Namun, bukan berarti itu sebatas mimpi buruk. Bisa saja terjadi di masa depan. Apalagi, jika kita dibutakan iming-iming keuntungan, dan tidak satupun dari kita yang peduli dengan alam dan kelestariannya.
Investasi pasti selalu bicara soal bisnis dan keuntungan. Degradasi dan deforestasi juga akan selalu “mengkambing hitamkan” investasi sebagai muara masalahnya. RER, seolah hadir untuk mengakomodir keduanya.
Faktanya, RER tak hanya hadir untuk memulihkan hutan, tapi juga untuk “membangun jembatan kolaborasi” antara konservasi dan kesejahteraan masyarakat. Saya memahami, bahwa ini sebuah misi yang menyatukan alam dan manusia dalam hubungan yang harmoni. Keduanya saling menguatkan, dan saling menguntungkan.
Harapan untuk mengubur “kiamat deforestasi” sangat mungkin bisa terwujud, jika kita saling membahu untuk terus menjaga hutan Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, tetap seperti sifat dan fungsi alamiahnya.***