Hari sudah siang saat kami tiba di Seruling 11, di Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau, pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Seorang pria mengenakan kaos putih berkerah, sudah menunggu kami di pinggir jalan depan rumahnya. Namanya Sudarman. Dia adalah Ketua Kelompok Bhina Mukti Sari—kelompok tani yang menerima manfaat dari program Desa Energi Berdikari (DEB).
Setelah berbincang sebentar di teras rumahnya, kami diajak melihat-lihat kandang sapi miliknya yang berjarak tak jauh dari situ. Kala itu, raut muka Sudarman berseri-seri. Dia senyum-senyum saat memperkenalkan seekor anak sapinya yang baru saja lahir. “Alhamdulillah, saya baru diberi hadiah,” katanya.
Saat itu, total sapinya di kandang berjumlah 8 ekor. Sapi-sapi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari Sudarman dan keluarganya. Setiap kotoran yang dihasilkan menentukan seberapa lama dapurnya mengepul, berapa banyak jumlah ikan akan dipanen, seberapa subur sayur mayurnya tubuh di kebun.
Kandang sapi milik Sudarman memang tidak besar. Ukurannya sekitar 16 x 10 meter per segi. Bagian dindingnya terbuat dari kayu yang disusun horizontal menyerupai pagar. Dinding bagian bawah dibuat dari susunan bata ringan, beratap seng. Sepintas tak ada yang istimewa di kandang ini. Layaknya kandang sapi pada umumnya.
Namun, di bagian belakang kandang, terhubung ke bak penampungan awal kotoran sapi, bak reaktor berbentuk berkubah setengah lingkaran, pipa penyalur gas, outlet sebagai ruang pemisah, dan bak penampung slurry. Semua ini merupakan satu rangkaian dari reaktor biogas berbahan dasar kotoran sapi.
Kotoran sapi yang masuk ke bak penampung dicampur dengan air, lalu diteruskan ke bak selanjutnya untuk dilumat dengan alat khusus. Kotoran yang sudah dilumat itu, lalu dialirkan ke bak reaktor. Dalam durasi tertentu, gas akan menguap dengan sendirinya, terpisah dari limbah kotoran sapi. Gas itu lalu terperangkap di bagian kubah, kemudian dialirkan ke pipa penyalur gas yang terhubung ke kompor dan lampu teras rumah milik Sudarman.
Sedangkan limbah biogas yang mengendap di bagian bawah kubah, teraliri ke outlet ruang pemisah, dan mengalir ke bak penampungan lewat selang yang disebut pipa slurry. Limbah ini disebut bioslurry.
Kata Sudarman, ini bukan akhir dari perjalanan limbah itu, melainkan awal dari pengolahan bioslurry untuk menghasilkan Pupuk Organik Cair (POC) dan Pupuk Organik Padat (POP). “Jadi, hampir tak ada bagian yang terbuang dari kotoran sapi,” katanya.
Selanjutnya, Sudarman mengajak kami ke dapur sederhana di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari kandang sapi itu. Ada 2 jenis kompor di sini. Pertama, kompor 2 tungku yang mana bahan bakarnya bersumber dari biogas. Kedua, kompor 2 tungku dengan bahan bakar dari gas melon, atau gas elpiji 3 kilogram.
Kompor pertama, terhubung dengan tuas kecil di bagian kirinya, menyatu dengan pipa yang menjalar ke dinding atas. Pipa itu terkoneksi dengan manometer—alat pengukur tekanan gas yang dipasang di antara pipa tersebut.
Sudarman memutar tuas kecil itu, kemudian menyetel kontak pada pada kompor hingga mengeluarkan suara desis. “Ini tandanya gas sudah mengalir ke kompor,” katanya. Dia lalu memantik api dari mancis, dan kompor itu pun menyala dari sumber biogas.
Kemudian, dia berpindah ke kompor kedua, memantik tuas seperti biasa, lalu api di tungku menyala. Sumber apinya dari gas melon. “Kita bisa melihat langsung perbedaan api dari biogas dengan api dari gas melon,” katanya.
Api yang bersumber dari biogas warnanya lebih dominan biru, lebih pekat. Sedangkan api kompor yang dinyalakan dengan gas melon, warnanya biru agak terang, di bagian bawah sedikit kekuning-kuningan.
Selesai dengan urusan dapur, Sudarman kemudian memperlihatkan lampu teras rumahnya. Sama seperti kompor di dapur, di bagian dinding sebelah kiri dekat pintu masuk rumahnya, dia memutar tuas kecil untuk mengalikan biogas. Setelah ditunggu beberapa saat, dia kembali memantik api ke bola lampu yang menggantung di bagian tengah atas teras rumahnya. Lampu itupun menyala terang. Warnanya kuning temaram. “Ini lebih dari cukup untuk lampu teras,” katanya.
Setelah menjelaskan tentang cara menggunakan biogas untuk kebutuhan dapur dan lampu teras, Dia mengajak kami ke sebuah kebun kecil yang berjarak hanya puluhan meter dari rumahnya. Kebun sayur ini bahkan lebih dekat dengan kandang sapi milik Sudarman.
Kami melihat kangkung rambat tumbuh subur, buah-buah terong ungu yang sebentar lagi matang menggantung indah, memancarkan warna kontras dari hijaunya dedaunan di sekitarnya. Ada juga jenis tanaman lain, seperti jambu, timun, kacang panjang, cabai, hingga bawang. Tanaman-tanaman ini tumbuh subur, baik di dalam polybag, maupun yang hidup langsung di tanah. Sudarman menggunakan pupuk bioslurry, yang merupakan limbah organik dari biogas, untuk sayur mayur ini.
Bioslurry merupakan hasil sampingan dari proses fermentasi kotoran hewan dan air secara anaerob di dalam instalasi biogas. Bentuknya seperti lumpur, yang terdiri dari bahan padatan dan cairan. Keduanya memiliki nilai penting karena mengandung nutrisi yang dibutuhkan tanaman, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Bioslurry dapat diaplikasikan dalam dua bentuk, yaitu padat dan cair. Pupuk bioslurry padat; didapatkan dengan menyaring dan mengeringkan bagian padatan dari bioslurry. Pupuk ini umumnya digunakan dengan cara ditebarkan di lahan sebelum penanaman atau disekitar tanaman.
Sedangkan pupuk bioslurry cair; diambil dari bagian cair bioslurry, dan dibiarkan hingga tidak lagi mengeluarkan gas atau aroma menyengat.
Beberapa keunggulannya, yakni mudah dalam pengaplikasian dan dapat dikombinasikan dengan bahan lainnya untuk meningkatkan kualitas tanaman.
Menurut Rumah Biogas (2013), pupuk bioslurry cair mengandung sejumlah nutrisi penting, seperti C-Organik: 0,46%, Rasio C/N: 0,44-6%, pH: 7,5-8%, Nitrogen (N): 1,47%, P2O5 (fosfor): 0,035%, K2O (kalium): 0,58%, Unsur mikro seperti Ca, Mg, S, Fe, Mn, Cu, Zn, Co, Mo, dan B.
Kandungan nutrisi tersebut sangat bermanfaat bagi pertumbuhan berbagai jenis tanaman, mulai dari sayuran, buah, bunga, hingga tanaman perkebunan.
Tak hanya itu, bioslurry menawarkan berbagai manfaat bagi tanah dan tanaman, untuk meningkatkan kesuburan tanah, membantu tanah mengikat air lebih lama, meningkatkan aktivitas cacing dan bakteri probiotik yang bermanfaat, hingga memperbaiki struktur tanah.
Sementara itu, ciri-ciri bioslurry yang baik; tidak berbau seperti kotoran sapi pada umumnya, tidak atau hanya sedikit mengeluarkan gelembung udara, warnanya lebih gelap dari kotoran segarnya, tidak mengandung lalat atau serangga (biru.or.id).
Hemat Biaya Pakan dan Pupuk dengan Bio-slurry
Ekonomi keluarga Sudarman saat ini, boleh dikatakan cukup bergantung pada sapi-sapi itu. Bukan soal berapa nilai uang yang didapat. Tapi, seberapa besar nilai pundi-pundi rupiah yang dihemat.
Dari Kotoran sapi ini, setidaknya ada dua produk bernilai ekonomi tinggi. Yakni biogas yang dimanfaatkan untuk kebutuhan memasak dan lampu penerangan, dan bioslurry sebagai bahan baku pupuk organik padat dan pupuk organik cair.
Produk ini, berpeluang menjadi ladang pundi-pundi cuan baru bagi Sudarman, dan warga di Desa Mukti Sari yang menerima manfaat dari Program Desa Energi Berdikari (DEB).
Dulu, paling tidak 4 tabung gas melon (gas elpiji 3 kilogram) sebulan, harus dibeli Sudarman untuk menutupi kebutuhan konsumsi keluarganya. Harga per tabungnya sekitar Rp25 ribu. Artinya, Sudarman perlu merogoh kocek sebesar Rp100 per bulan untuk membeli gas melon isi ulang. Sejak menggunakan biogas, penghematannya mencapai Rp80 per bulan.
“Sekarang saya cuma beli 1 tabung gas melon, itupun untuk cadangan. Penghematan ini termasuk 1 lampu di teras yang menyala juga dengan biogas. Sekarang, saya juga alirkan gas ke dapur tetangga. Artinya, satu reaktor biogas saya, bisa untuk kebutuhan 2 kompor gas,” tuturnya.
Peluang ekonomi lain yang sangat potensial untuk dikembangkan, yakni dari limbah biogas atau bioslurry. Limbah itu ditampung dalam bak besar di belakang kandang sapi milik Sudarman. Di bagian atasnya adalah limbah padat. Bentuknya seperti bubur hijau tua yang mengapung. Sedangkan di bagian bawah adalah limbah cair. Warnanya hijau muda.
Sudarman menuang bioslurry cair dari jerigen ke ember kecil, lalu dituangkan ke bak kolam yang berisi bibit ikan nila merah. Saat bercampur dengan air, limbah cair itu menyebar dari dasar kolam. “Inilah yang membedakan limbah cair biogas dengan yang lainnya,” ujar dia.
Sedangkan limbah padat dari kotoran sapi, juga efektif dijadikan pakan organik untuk ikan, ayam maupun bebek. Sudarman sudah mencobanya di bak kolam peternakan lele miliknya. “Kemarin saya baru panen,” tuturnya.
Biasanya, kata dia, pakan lele yang dibutuhkan hingga panen sekitar 3 karung. Sejak memakai limbah padat pengganti pakan, dia bisa menghemat 2 karung pakan ikan. “Satu karung, harganya sekitar Rp300 ribuan lah. Setelah menggunakan limbah padat, saya cuma beli sekarung pakan sampai panen. Itu pun nggak habis. Penghematannya sekitar Rp600 ribu hingga Rp700 ribuan,” jelasnya.
Di Desa Mukti Sari, Sudarman punya 2 hektare kebun sawit. Dia juga mengganti ketergantungan pupuk kimia di kebun sawitnya dengan bioslurry.
Biasanya, dalam sebulan dia butuh sekitar 10 karung pupuk kimia untuk kebutuhan kebun sawit. Harga per karungnya Rp680 ribu. Artinya, Sudarman harus merogoh kocek hingga Rp6,8 juta per bulan untuk membeli pupuk kimia.
Sejak menggunakan pupuk organik dari limbah biogas, Sudarman hanya cukup membeli sekarung pupuk kimia untuk mempercepat pertumbuhan akar sawit. Dengan kata lain, dia mampu menghemat sembilan karung pupuk kimia, atau sekitar Rp6,1 juta per bulannya.
“Hematnya luar biasa, Mas. Hasilnya panennya juga luar biasa. Kalau biasanya pakai pupuk kimia, hasil panen sawit saya di bawah satu ton. Sejak pakai pupuk organik dari bioslurry, hasil panen sawit saya normal di satu ton untuk satu kapling. Kadang-kadang bisa lebih,” jelasnya.
Dari penuturan Sudarman, tergambar jelas seberapa besar potensi penghematan biaya keluar yang bisa dia tekan. “Hitungan ini belum termasuk potensi ekonomi dari sayur mayur yang ditanam sendiri. “Karena memang untuk konsumsi, bukan untuk dijual,” jelasnya.
Cerita lain tentang potensi ekonomi dari pupuk organik ini, juga datang dari kenalan saudara Sudarman. Beberapa waktu lalu, ada seorang pengusaha padi dari Pangandaran, Jawa Barat, tertarik ingin mencoba produk pupuk organik limbah biogas yang dihasilkan dari DEB Mukti Sari itu.
Di luar dugaan. Setelah mencobanya, rumpun padi itu tumbuh lebih kokoh, lebih tinggi, hasil panen meningkat hingga 30%, kualitas beras lebih padat dan tingkat kepatahan beras jauh lebih minim.
Setelah bercerita banyak dan melihat langsung reaktor biogas milik Sudarman, dia mengajak kami ke rumah Muliardi. Pria berusia 78 tahun ini bergabung dengan program DEB berbasis biogas sejak akhir 2022. Darinya, berbagai cerita tentang manfaat biogas dan bioslurry, semakin memperkaya khasanah kami tentang program ini. Dulu, Muliardi punya 7 ekor sapi. “Sekarang, tinggal 4 ekor,” katanya dengan logat khas lansia.
Selain punya 4 ekor sapi yang diternakkan di kandang belakang rumahnya, dia juga punya 1 kapling kebun sawit, dan sebidang sawah.
Kapasitas reaktor untuk kebutuhan rumah tangganya juga terbilang kecil dari milik Sudarman. Hanya 6 meter kubik. Tapi, Muliardi sudah lama meninggalkan gas melon untuk kebutuhan dapurnya. “Kalau untuk kebutuhan masak, sudah sangat cukup. Bahkan berlebih,” tuturnya.
Dia juga memanfaatkan bioslurry untuk kebutuhan sawah dan kebun sawitnya. Dari sisi ekonomi, penghematan biaya keluar begitu terasa. Misalnya, penghematan untuk pembelian pupuk. Rata-rata per bulan hanya Rp1 jutaan, sejak menggunakan bioslurry.
Selain itu, perbedaan dari sisi fisik pohon sawitnya juga begitu terlihat. “Dulu waktu saya masih pakai pupuk kimia, daunnya sering agak menguning. Sekarang lebih hijau, dan lebih rimbun dengan pupuk organik,” ujar Suhada.
Sedangkan dari jumlah panen, saat menggunakan pupuk kimia hanya sekitar 700 kilogram. “Kini sudah stabil di 1 ton,” sambungnya. “Kalau padi, sejak saya pakai pupuk organik, kualitas berasnya lebih terasa. Lebih padat.”
Menurutnya, mengaplikasikan bioslurry cair cukup mudah. Hanya dengan menyiram di sekitar tanaman atau menyemprotkannya. Dosis yang disarankan adalah 250-500 ml per tanaman atau 10 ton per hektar.
Sedangkan untuk pupuk bioslurry padat, dapat digunakan dengan cara menebarkan di lahan sebelum penanaman, kemudian dibajak, atau ditabur di sekitar tanaman. Dosis yang dianjurkan adalah 5-10 ton per hektar atau 500 gram per tanaman.
Menurut data dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pertanian, sejumlah penelitian bahkan telah mengungkap bagaimana kontribusi pupuk bioslurry di sektor pertanian dan perkebunan.
Misal, 30 mililiter cairan bioslurry untuk sawit hijau, berkontribusi signifikan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun serta berat basah dan kering tanaman (Hilmi, Laili, dan Rahayu: 2018). Sedangkan 500 mililiter pupuk bioslurry cair untuk tanaman cabai merah juga akan meningkatkan tinggi tanaman, mempercepat waktu berbunga, panjang dan diameter buah, hingga jumlah dan berat buah.
Menariknya, kombinasi bioslurry padat dan urea memberikan hasil lebih baik pada tanaman pakcoy, terutama dalam hal tinggi tanaman, jumlah dan lebar daun, serta berat segarnya.
Lalu, pemberian 250 mililiter pupuk bioslurry cair ditambah setengah dosis pupuk anorganik meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun pada tanaman bunga kol. Dengan berbagai manfaat ini, bioslurry dapat menjadi alternatif yang efektif dan ramah lingkungan untuk meningkatkan produktivitas pertanian (Topan, Yetti, dan Ali: 2017 — Yunarso dan Widiarti: 2018 — Zulaehah, Ina, dan Edi Supraptomo: 2018).
Menjajaki Potensi Ekonomi Bioslurry
Sebagai penerima manfaat, Sudarman sadar betul bahwa Program DEB bukan hanya bicara soal biogas. Tapi ada produk lain, yakni bioslurry. Limbah dari biogas ini menjadi bahan baku untuk pembuatan Pupuk Organik Cair atau POC, dan Pupuk Organik Padat atau POP. Potensi ekonominya sangat menjanjikan.
Saat ini, upaya produksi bioslurry menjadi POP dan POC dalam skala besar sedang dijajaki. Kelompok Biotama Agung Lestari—merupakan turunan dari Kelompok Tani Bhina Mukti Sari—dipercaya untuk pengelolanya.
Menurut Manager Corporate Social Responsibility (CSR) PHR WK Rokan, Pinto Budi Bowo Laksono, masyarakat penerima manfaat mampu menghasilkan rata-rata 773,3 liter POC per bulan. Dalam tiga kali produksi jumlahnya bisa mencapai 2.000 liter. “Potensi pengembangannya masih sangat besar,” katanya saat Aktivasi DEB, di Desa Mukti Sari, pada Juni lalu.
Hal ini benar adanya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Yayasan Rumah Energi (YRE)—mitra PHR untuk pendampingan Program DEB di Desa Mukti Sari—per Agustus 2024, total produksi POC mencapai 1.000 liter per bulan. Sedangkan total produksi POP menyentuh angka 4 ton per sekali produksi.
Kedua produk ini memang sudah dilepas ke pasaran, meski belum optimal. Sebab, ada beberapa administrasi yang masih berproses. POC dengan merek; Prima Bioslurry ini dijual Rp30 ribu per liter. Sedangkan POP dengan merk; Kompos Prima Bioslurry Padat, dijual Rp3 ribu per kilogram.
“Kendalanya sejauh ini hanya pada peralatan produksi yang masih kurang. Solusinya masih mencoba mencari bantuan,” ujar kata Community Development Officer YRE, Femi Rianto saat dihubungi Bertuahpos.com, Selasa, 27 Agustus 2024.
Sedangkan para pengguna biogas, atau masyarakat penerima manfaat dari Program DEB ini, dapat menggunakan bioslurry secara langsung ke tanaman mereka. Pengembangan demi pengembanganpun terus dilakukan.
Kini, DEB berbasis biogas di Desa Muktisari, tak mentok di kotoran sapi saja, melainkan sudah dikembangkan dari limbah organik pasar, limbah tahu, limbah dari santri Ponpes, dan kotoran kambing.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, pada tahun 2022, populasi sapi potong, kerbau, kambing dan domba di Riau mencapai 528.524 ekor.
Dari jumlah tersebut sebanyak 209.601 ekor merupakan populasi sapi potong, 255.057 ekor populasi kambing dan 32.470 ekor kerbau. Adapun daerah dengan populasi sapi dan kambing terbanyak di Riau, yakni Kabupaten Kampar yakni sebanyak 29.001 ekor sapi dan 25.157 ekor kambing.
YRE dalam artikel berjudul; Sumber Energi, Mengolah Limbah jadi Berkah (terbit di Harian Kompas: 10 Januari 2016), 1 ekor sapi dapat menghasilkan sebanyak 15 kilogram kotoran per hari. Adapun suplai 30 kilogram kotoran sapi akan menghasilkan biogas untuk 3 jam waktu memasak.
Dalam jurnal berjudul: Pemanfaatan Residu/Ampas Produksi Biogas dari Limbah Ternak (Bioslurry) Sebagai Sumber Pupuk — yang diterbitkan oleh Jurnal Balitbangda Lampung tahun 2018—menyebutkan bahwa 1 unit digester biogas dapat menghasilkan bioslurry padat sekitar 12-15 kilogram dan 125 liter bioslurry cair per harinya, dengan kandungan NPK sebesar 1,3%.
Jika bioslurry cair ini digunakan sebagai pupuk pengganti urea, maka produksi bioslurry cair dari digester biogas dapat mengurangi penggunaan urea kurang lebih 250 kilogram per tahun, dengan asumsi pemakaian limbah cair sekitar dua liter per meter kubik.
“Potensinya sangat besar, Mas. Apalagi kalau peternakan sapi di Riau bisa dikelola dengan baik untuk kebutuhan biogas dan bioslurry. Saya sangat optimis kemandirian energi itu bisa terwujud untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Sudarman.
Bukan Sekadar Ketahanan Energi
Program DEB masuk ke Desa Mukti Sari pada tahun 2022 lalu. Program ini merupakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) WK Rokan, sebagai salah satu unit usaha PHE.
Hadirnya DEB tak lain untuk membangun kemandirian energi dan ekonomi masyarakat desa berbasis energi bersih dan terbarukan, seperti matahari, air, angin dan biogas. Tujuannya, untuk mengurangi emisi karbon, percepatan transisi energi masyarakat, dan mendukung target pemerintah terwujudnya Net Zero Emission (NZE) tahun 2060.
Adapun program DEB berbasis biogas diharapkan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat demi mendorong pemanfaatan energi terbarukan biogas, lewat limbah organik.
“Selain itu, masyarakat penerima manfaat juga diajarkan cara memanfaatkan bioslurry sebagai pupuk secara mandiri, maupun dipasarkan sebagai pupuk organik, sehingga berdampak terhadap ekonomi masyarakat,” kata Pinto.
Hingga saat ini, total sudah ada 21 reaktor biogas dibangun PHR WK Rokan. Sebanyak 20 rektor berdiri di Desa Mukti Sari, dan satu reaktor dibangun di Kelurahan Maharani, Kecamatan Rumbai Barat, Pekanbaru. Jumlah ini meningkat seiring dengan tingginya minat masyarakat untuk menjadi bagian dari penerima manfaat.
“Program ini mencatatkan potensi reduksi emisi karbon hingga 56,8 ton CO2 equivalent per tahun, dan pengelolaan limbah organik sebesar 319,38 ton pada tahun 2023,” kata Pinto.
Adapun DEB Mukti Sari, merupakan salah satu dari 28 DEB di seluruh Indonesia. DEB di desa ini merupakan DEB berbasis biogas terbesar dengan total kapasitas reaktor mencapai 165 meter kubik.
Reaktor biogas di desa ini telah memberikan manfaat kepada 150 orang, termasuk anggota Kelompok Tani Biotama Agung Lestari, peternak, santri pondok pesantren, dan masyarakat umum.
PHR bekerja sama dengan YRE dalam memberikan pelatihan pembangunan konstruksi reaktor. Selain menyediakan energi, kata Pinto, instalasi biogas juga memberikan efek berganda dengan menghasilkan bioslurry, yaitu ampas biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.
Program DEB telah menjadi akses energi yang terjangkau bagi masyarakat desa, meningkatkan kualitas hidup melalui manfaat ekonomi tambahan, serta mengurangi pencemaran udara dan polusi lingkungan.
Dia menekankan bahwa Program DEB masih akan terus berkembang. Tahun 2024, PHR memperluas jangkauan program ini ke daerah operasi PHR WK Rokan bagian utara, khususnya di Kabupaten Rokan Hilir.
“Melalui implementasi teknologi biogas yang ramah lingkungan, program ini tidak hanya berfokus pada ketahanan energi, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan ekonomi sirkular untuk kesejahteraan masyarakat desa,” ujarnya.
Kemandirian Energi Sebuah Keniscayaan
Hari berangsur petang. Setelah mengantarkan kami ke rumah Muliardi dan berbincang hangat walau sebentar, kami pun berpamitan. “Kebetulan saya masih masih ada acara kondangan, Mas,” tutur Sudarman.
Menjelang berpisah, dia mengutarakan harapannya. Menurutnya, DEB Mukti Sari sudah dikenal oleh banyak pihak lewat program ini. Namun, masyarakat di luar sana juga perlu tahu, bahwa produk turunan dari biogas, yakni bioslurry, sangat mungkin diandalkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian, cita-cita negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya lewat energi hijau, sangat mungkin untuk diwujudkan.
Harapan ini, juga menjadi cita-cita Waryono, Kepala Desa Mukti Sari. “Keberadaan reaktor biogas telah memberikan nilai tambah yang signifikan dan mendorong masyarakat memanfaatkan lahan pekarangan untuk berkebun sayur dan buah-buahan,” katanya.
Selain itu, berbagai bentuk penghematan yang diperoleh, menjadi indikator bahwa program ini memberikan dampak nyata kepada masyarakat. Tak hanya dari sisi kemandirian energi, melainkan juga di sektor ekonomi. “Ini adalah hal baik bagi desa kami,” ujar Waryono.
Apa yang sudah dilakukan PHR di Desa Mukti Sari, telah membuka harapan baru bagi masyarakat setempat dan meringankan beban negara, di tengah isu krisis energi global yang mendera saat ini.
Faktanya, transisi energi bukan bukan hal mustahil untuk diwujudkan, dan harus terus dilakukan. “Walaupun secara bertahap,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya saat upacara Hari Lahir Pancasila, pada 1 Juni 2024, di Lapangan Lapangan Garuda PHR, Kota Dumai.
Presiden menekankan, bahwa transisi energi bukan cuma jadi motor penggerak, tapi mempercepat terwujudnya energi hijau di Tanah Air. Seluruh pihak didorong untuk memanfaatkan semua potensi yang ada, demi terwujudnya energi hijau, sebagaimana dicita-citakan.
“Dampaknya tak hanya di sektor lingkungan, tapi juga menjadi nilai tambah dalam negeri untuk tujuan kesejahteraan masyarakat,” ucap Presiden.
Perjalanan singkat kami ke DEB Mukti Sari, mengajarkan banyak hal. Di tengah isu krisis energi global, transisi energi menjadi sebuah keniscayaan. Desa Mukti Sari adalah bukti, bahwa kemandirian energi secara nyata bisa terwujud. Bagi saya, ini adalah misi yang besar, dan gerakan ini bisa dimulai dari lapisan masyarakat terkecil, dari diri kita sendiri.***