Kain-kain bahan bermotif songket beraneka warna dipajang dalam acara APR Media Workshop, di Hotel Pangeran, Pekanbaru, pada Senin, 21 Oktober 2024. Saya menyentuh salah satu dari kain itu. Teksturnya lembut, benangnya lebih halus dari kebanyakan dasar kain pada umumnya.
Saya tertarik dengan salah satu songket berwarna kuning gading bermotif bunga-bunga kecil warna putih. “Warna kuning gading ini didapat dari daun ketapang tua,” kata Wakil Ketua BPD Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Provinsi Riau, Arniningsih.
Kain-kain lain yang terpajang di sana juga tak luput dari pengamatan saya. Warna dan coraknya beragam, ada abu-abu gelap yang diperoleh dari serbuk bijih besi, ada juga ungu, hijau, biru, merah muda dan lain-lain. Intinya, kata Ningsih, semua pewarnaan pada kain-kain ini menggunakan bahan pewarna alami—sejalan dengan semangat yang mereka usung, yakni ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perbincangan ini menjadi awal dari diskusi singkat saya dengan Ningsih saat itu.
Ningsih menjelaskan, bahwa kain yang merupakan bahan dasar pembuatan pakaian ini, sama dengan bahan dasar produk fesyen keluaran brand-brand ternama luar negeri, yang banyak dijual di mal-mal. Seperti Uniqlo, Zara, dan lainnya.
Merek ternama ini juga menggunakan viscose atau rayon. Sama persis dengan bahan kain buatan UMKM lokal Riau, yang dipajang di acara ini. Secara fisik, karakteristiknya sangat mudah dikenali. Teksturnya lebih lembut, lebih dingin, tidak kaku, menyerap keringat dan ringan.
Dia menyebut, produk UMKM lokal Riau seperti tenun, batik dan desainer, sudah melakukan transformasi besar. Harus diakui, bahwa produsen lokal sudah sangat mengerti dengan selera pasar. Buktinya, produk khas Riau seperti tenun, kini lebih mudah diterima, terutama anak muda yang menjadi segmen pasar terbesar dari produk fesyen.
Kain tenun khas Riau misalnya, sudah meninggalkan pakem dulu yang kaku. Mereka berhasil menciptakan desain lebih futuristik namun tetap mempertahankan nilai-nilai klasik, memadukan motif khas Melayu yang kekinian. Kualitasnya juga jauh lebih baik, dan hasilnya lebih sedap dipakai.
Kalau sudah begini, apakah produk lokal Riau sangat siap bersaing dengan pasar lebih besar? “Iya,” kata Ningsih. “Bahkan, hingga ke pasar luar negeri.”
Menurutnya, kain berbahan viscose bisa dipadukan dengan jenis lainnya, seperti katun, polyester, dan lain-lain. Tergantung kebutuhan dan permintaan pasar. Bahkan, bahan yang tersedia di APR banyak pilihan. Misal, 70% viscose dan 30% katun, atau 60% viscose-nya dan 40% katun.
“Kain tenun yang saya pakai ini adalah produksi Tenun Siak Sri Kemuning. 80% menggunakan viscose APR dan 20% katun,” ujar Ningsih.
Apa Itu Serat Viscose dan Bagaimana Potensi Pasarnya?
Viscose-rayon—dikenal dengan kain semi sintetis—adalah jenis material tekstil terbuat dari serat selulosa yang terkandung dalam pulp kayu. Tampilan dan tingkat kelembutannya seperti sutera. Kemampuan menyerap dan mempertahankan warna, memungkinkan memberikan tingkat kecerahan yang kaya.
Dalam buku berjudul; Bankit dan Runtuhnya Perusahaan-Perusahaan Besar: Courtaulds dan Pembentukan Ulang Industri Serat Buatan Manusia, disebutkan bahwa rayon pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Prancis pada akhir abad ke-19. Lalu, dikomersilkan oleh perusahaan asal Inggris, Courtaulds Fiber. Produksi massalnya baru dimulai pada abad ke-20, ketika kain ini menjadi kian populer karena sifatnya yang serbaguna. Namun di Eropa, kain itu dikenal dengan sebutan viscose (Owen, Geoffrey, 2010).
Viscose memberikan kenyamanan dan kelembutan yang memungkinkan bagi kulit “untuk bernafas”. Bahan ini menjadi pilihan ideal sebagai bahan dasar pembuatan pakaian, dan nyaman digunakan sehari-hari.
Menurut Corpotare Communication Head RAPP, Aji Wihardandi, viscose diperoleh dari jenis kayu yang cepat tumbuh, seperti Akasia, Eucalyptus ataupun bambu. Di Riau, serat itu berasal dari kayu Akasia dan Eucalyptus.
“Proses produksinya melibatkan campuran selulosa dengan larutan kimia sehingga berbentuk seperti pasta kental, lalu dipintal menjadi serat, dan diolah menjadi benang,” katanya.
Keunggulannya banyak, seperti; mudah menyerap, ringan, memungkinkan udara untuk bersirkulasi, lembut, mudah menyatu dengan bahan tekstil lain, tidak cepat pusat, dan sangat ramah lingkungan. Cocok untuk digunakan di daerah beriklim tropis seperti Indonesia.
Selain itu, Kain yang terbuat dari bahan viscose itu lebih ramah lingkungan, dan potensi pasarnya sangat menjanjikan. “Jika berada di tanah, atau di tempat yang ada bakteri pengurainya, maka viscose akan terurai dalam waktu 21 hari,” kata Head Corporate Communication APR, Djarot Handoko.
Menurut data yang diterbitkan oleh Fortune Business Insights, pasar serat viscose pada tahun 2023 mencapai USD 16,61 miliar dan diperkirakan akan tumbuh dari USD 21,17 miliar pada tahun 2024.
Bahkan, pasar serat viscose akan semakin digemari di masa depan. Nilainya permintaan pasar diperkiraan mencapai USD 40,26 miliar pada tahun 2032, dengan CAGR (tingkat pertumbuhan per tahun selama rentang periode waktu tertentu) sebesar 8,4% selama periode tersebut.
Sejauh ini, Asia Pasifik mendominasi pasar serat viscose, dengan menguasai 76,4% pangsa pasar pada tahun 2023.
Asia Pacific Rayon (APR)—bagian dari Royal Golden Eagle (RGE)—merupakan salah salah satu produsen viscose terintegrasi terbesar di Asia. Perusahaan ini mulai beroperasi pada tahun 2019 di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Menurut Presiden Direktur APR, Basrie Kamba, per tahunnya APR mampu memproduksi sebanyak 300.000 ton viscose-rayon, dan telah diekspor ke lebih dari 20 negara di seluruh dunia, termasuk ke pasar tekstil utama seperti Bangladesh, Pakistan dan Turki.
Serat berkualitas tinggi yang berasal dari 100% serat kayu alami dan terbarukan, dikelola dengan konsep lestari dan berkelanjutan. “Pohon akasia dan eucalyptus akan tumbuh kembali dalam siklus lima tahunan, sehingga jaminan ketersediaan bahan baku tetap konstan,” katanya.
APR juga sudah meluncurkan APR2030 untuk memperkuat komitmen keberlanjutan, dengan serangkaian target 10 tahun mendatang. Komitmen itu memungkinkan bagi perusahaan untuk berkontribusi dalam iklim positif dan kelestarian alam, menciptakan manufaktur bersih, mendorong sirkularitas hingga pemberdayaan masyarakat lokal.
“Selain itu, berbagai sertifikasi internasional sudah dikantongi APR sebagai produsen viscose. Bahan baku yang disuplai dari APRIL telah tersertifikasi Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC),” tuturnya.
Dorong Pertumbuhan Tekstil Domestik
Saat itu, diskusi saya dengan Ningsih masih berlanjut, dan kekhawatiran kami sama. Dominasi produk impor di pasar digital bikin ngeri. Angkanya hampir menyentuh 90%, tak jauh berbeda dengan tahun lalu. “Bahkan, kami masih menemukan pakaian harga Rp5.000 di salah satu e-commerce, barang dari China,” ujar Ningsih.
Menurut Customer Trade Academy, setidaknya ada enam jenis produk impor yang sangat laku di pasar Indonesia, baik secara offline maupun online, seperti; otomotif, barang elektronik, fesyen, alat medis, dan obat-obatan. Ini logis, karena Indonesia punya potensi pasar hingga 123 juta, dengan potensi perdagangan digital mencapai Rp11,2 triliun.
“Siapa yang tak tergiur,” kata Ningsih. Produk-produk fesyen di pasar digital itu seperti “gula”. China, Korea, dan Jepang paling lihai menangkap peluang ini, karena produk mereka terbilang cukup digemari oleh orang-orang Indonesia.
Masalahnya, jika masyarakat sudah kecanduan belanja, maka kualitas tak lagi berharga. Menurut Ningsih, ini salah satu tantangan besar yang dihadapi UMKM lokal. “Tanpa inovasi, umur UMKM kita, seperti; tenun, batik dan desainer, tanpa inovasi, hanya tinggal menunggu waktu,” kata Ningsih.
Namun, peluang untuk bangkit dan bersaing dari gempuran fashion impor itu masih sangat terbuka. Di acara APR Media Workshop ini, saya dan seluruh peserta yang hadir disuguhkan dengan pemandangan yang serba lokal, tapi kemasannya begitu elegan.
Ningsih menjelaskan, bahan dasarnya bermula dari serat viscose yang diproduksi oleh APR—sebagai penyuplai, lalu diolah menjadi bahan hasil tenunan, kemudian diproduksi menjadi pakaian jadi oleh desainer lokal, hingga ditampilkan dalam pertunjukan ini, yang juga diperagakan oleh model-model lokal.
Jenis, corak, hingga style-nya beragam. Mulai dari penampilan yang sangat casual, chic, formal, edgy, grunge, preppy, hingga vintage yang sangat klasik. Semua style ini disesuaikan dengan selera anak muda masa kini. Simpel, tapi tetap anggun.
Thiffa Qaisty Salsabila adalah Desainer, sekaligus pemilik brand Sakinah by Thiffa Qaisty. Dalam APR Media Workshop itu dia menampilkan berbagai desain besutan Sapola Indonesia—brand lain dari Sakinah by Thiffa Qaisty.
Sebagai desainer muda, dia banyak terinspirasi dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka berpenampilan rapi, unik, dan cenderung mengikuti trend berpakaian idolanya.
Selain itu, Indonesia dengan iklim tropis, khususnya di Riau, membuat customer cukup selektif dalam memilih bahan dasar kain pada pakaian. Thiffa menangkap itu sebagai peluang untuk produk fashionnya.
“Di Riau ini panas. Orang lebih suka memakai pakaian yang maksimal dalam menyerap keringat, kainnya lembut, warna lebih soft, tapi tetap modis. Kain seperti itu kami dapat dari bahan viscose yang diproduksi oleh tenun-tenun lokal.” ujarnya.
Selain produk Sapola Indonesia, Desainer asal Riau, Rika Guslaili, juga menampilkan berbagai produk pakaiannya untuk melenggang di panggung peragaan busana (catwalk) dengan brand Laili Imra.
API Riau melihat bahwa transformasi produk hasil tenun lokal Riau, memang tak bisa dilepas dari peran dan dukungan APR. Hal ini merupakan wujud nyata atas dukungan dari produsen rayon itu, terhadap perkembangan tekstil dalam negeri. “Khususnya untuk mengangkat produk lokal,” kata Ningsih.
Menurutnya, APR punya niat baik dan semangat yang kuat untuk menumbuhkembangkan sektor pertekstilan di Riau. Sehingga lewat kerja sama yang sudah dibangun, perlahan membuka ruang bagi UMKM lokal untuk bisa tampil secara nasional bahkan internasional.
Adapun bentuk dukungannya, seperti pelatihan, beasiswa, hingga mengadakan event-event skala nasional agar produk lokal Riau tetap mendapat ruang.
“Jadi, kami diberikan ilmu, diberikan cara, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan nilai produk. Nah, berbagai prestasi yang diraih, akhirnya menginspirasi teman-teman lain untuk melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Hengsih pun tak henti-henti mengajak dan mendorong kepada semua pihak untuk terlibat aktif dalam pengembangan sektor tekstil Riau akan lebih dikenal, salah satunya dengan mendorong pemerintah daerah untuk menjadi pasar aktif dengan membeli produk UMKM lokal. “Ya, kalau bukan kita, siapa lagi? Mungkin bisa dimulai lewat kerja sama dengan API Riau,” sebutnya.
Apa yang ditakuti Ningsing, pada dasarnya telah menjadi kekhawatiran besar bagi APR. Basrie Kamba menyebut, China merupakan salah satu negara dengan produksi tekstil terbesar dengan stok bahan baku melimpah, dan aktivitas produksi sangat masif.
Di sisi lain, produk-produk tekstil asal China diberlakukan syarat ketat di pasar Amerika Serikat dan Eropa. Maka, sasaran pasar mereka adalah negara-negara dengan syarat yang lebih longgar, seperti Indonesia, sehingga berbagai produk tekstil menumpuk.
“Bayangkan saja, hijab dari China itu harganya Rp7.000. Kalau masuk ke sini, APR bisa saja fokus ke ekspor, tapi bagaimana dengan UMKM kita? Kalau harganya seper 10 dari harga produk UMKM lokal, tanpa disadari itu sama dengan membunuh,” kata Basrie.
“Semua sudah impor, masa untuk pakaian saja kita juga harus impor. Itu yang mau kami carikan solusinya lewat kerja sama dengan berbagai pihak di tingkat lokal.”
Dia menyebut, sebagai negara berkembang, Indonesia perlu melakukan proteksi untuk menumbuhkan industri tekstil dalam negeri, seperti yang dilakukan India.
Basrie menegaskan, APR sebagai industri besar di bidang tekstil berharap kondisi seperti ini segera berlalu. Oleh sebab itu, perlu dorongan yang kuat agar pemerintah segera melakukan revisi terhadap berbagai peraturan yang dapat merugikan iklim usaha UMKM.
“Kita berharap Riau bisa berperan lewat wastranya. Inilah tantangan yang kita hadapi sekarang,” kata Basrie.
Dia menambahkan, untuk mendukung permintaan domestik, APR telah meluncurkan kampanye “Everything Indonesia”. Tujuannya, tidak lain untuk mendorong penggunaan material yang berasal dari bahan baku berkelanjutan dan produksi tekstil dalam negeri.
“Cita-citanya untuk mendukung Indonesia sebagai pusat manufaktur tekstil global dan mempercepat pertumbuhan dan kreativitas mode dalam negeri,” tambahnya.
Pada tahun 2020, APR menjadi inisiator Jakarta Fashion Hub (JFH). Menurut Djarot Handoko, upaya seperti ini dapat menjadi ruang kolaborasi untuk mempromosikan fesyen berkelanjutan sambil mendukung pertumbuhan industri tekstil domestik.
“Para desainer, pengusaha, dan produsen lokal memanfaatkan JFH sebagai ruang kreativitas mereka untuk menampilkan karya, sehingga terhubung langsung dengan customer dan pemasok,” kata Djarot Handoko.
Dia menyebut, APR terus berkomitmen untuk melakukan aktivitas dan kegiatan yang berpotensi membangkitkan gairan pertekstilan Tanah Air. Salah satunya merekativasi BPD API Riau dengan mengukuhkan struktur kepengurusan berdasarkan SK API Pusat Nomor: 002/SK/BPP-API/IX/2021.
“Tujuannya agar Riau menjadi salah satu textile hub di Indonesia, meningkatkan skala industri kecil menengah di bidang tekstil dan pakaian jadi di Riau, serta turut berpartisipasi dan berkontribusi dalam melestarikan kekayaan wastra Melayu,” ujarnya.
Tak habis sampai di situ, API Riau juga menggelar “Kelas Berbagi” dalam rangka memperkaya wawasan tentang berbagai topik terkait fesyen, tekstil, marketing dan pengembangan bisnis.
“Dalam penyelenggaraan ‘Kelas Berbagi’ ini, kami bekerja sama dengan Kemenparekraf, Asosiasi Pengusaha Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) dan beberapa pihak lainnya. Narasumber yang beragam diharapkan dapat meningkatkan keahlian, wawasan dan bisnis para anggotanya,” tambah Djarot.
Selain itu, untuk menjadi sebuah pakaian modis, memerlukan perjalanan panjang, mulai dari menanam jenis kayunya, serat, benang, kain, hingga menjadi sebuah koleksi yang dapat dibawa ke panggung runway.
Djarot menyebut, alasan APR memperkenalkan Jakarta Fashion Hub atau JFH, tak lain untuk memperkenalkan industri kreatif bidang fesyen lokal Riau, agar tumbuh dan bersaing.
Sejak diresmikan oleh Menparekraf, Sandiaga Uno, pada 4 Desember 2021, JFH telah memiliki lebih dari 10 ribu anggota, menjadi sponsor untuk 16 kegiatan fashion show, bekerja sama dengan 16 institusi fesyen dan kreatif, serta telah berkolaborasi dengan 200 brand dan desainer lokal.
Kegiatan masif ini bahkan menyasar lembaga-lembaga pendidikan di sekitar wilayah operasional, seperti Islamic Fashion Institute (IFI) Bandung, untuk dua desainer muda Pelalawan, lulusan SMK Busana.
Selain itu, Djarot menegaskan, APR juga bekerja sama dengan Universitas Kristen Maranatha untuk kepentingan penelitian dan pengembangan batik Lasem, yang mana karya batik itu menjadi gift oleh Kemenparekraf untuk acara B20, dan Kementerian LHK untuk COP 28.
Upaya untuk mempopulerkan Wastra Riau hingga ke kancah nasional juga dilakukan dalam sebuah pergelaran bertajuk: Sajak di Atas Ombak, sebagai representasi dari kekayaan alam Riau yang dituangkan dalam karya-karya batik yang dipadupadankan dengan tekstil terbarukan.
“Karya-karya busana muslim yang menggunakan motif batik khas Riau itu ditampilkan dalam pergelaran Jakarta Muslim Fashion Week 2024 di ICE-BSD Tengerang pada Oktober 2023,” katanya.
Selain itu, kolaborasi Artisan Kain dan Perancang Busana, dalam pergelaran Riau Berkain yang diikuti oleh sebagian besar anggota API Riau di Living World pada 2023 lalu, serta ajang Wanita Wira Usaha 2024, sebagai bagian dari kolaborasi antara Femina dengan APR, untuk meningkatkan kapasitas, serta mengangkat lokal heroes menjadi sosok yang inspirasi.
Sejak berdiri pada tahun 2019, fokus APR bagaimana bisa merangkul lebih banyak desainer, peminat mode dan pelaku tekstil untuk sama-sama melek sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan di Indonesia.
“Upaya ini kami harapkan dapat menjadikan Riau sebagai pusat tekstil, sesuai dengan target sustainable tadi,” kata Djarot Handoko.***