BERTUAHPOS.COM — ‘Munir, keberanian dan HAM,’ merupakan kata yang sulit dipisahkan. Keberadaannya mengajarkan banyak hal tentang hak asasi manusia. Ketiadaannya mengajarkan tentang keberanian.
Pada tanggal 7 September 2004, kematian Munir sudah tercatat ‘secara abadi’ di banyak literatur. Pesawat yang ditumpangi Munir mendarat sekitar Pukul 08.10 waktu Amsterdam di Bandara Schipol. Dua jam sebelum mendarat, saat diperiksa Munir telah meninggal dunia.
Seantero dunia mengetahui kasus kematian Munir di udara. Tapi, siapa pelakunya bak ‘misteri yang sengaja ditutupi.’ Maka kematian Munir tidak dilihat secara lahiriah. Jasadnya boleh mati, tapi keberaniannya akan tetap hidup. Inilah mengapa kata Munir dan keberanian selalu layak disandingkan.
“Sekian tahun lamanya dia mengisi hidup dengan perjuangan menegakkan hak asasi manusia di negeri kita. Apapun kata orang tentang dirinya, Munir telah membuktikan bahwa perjuangan menegakkan HAM adalah sesuatu yang mulia,” kata Abdurrahman Wahid di sebuah pengantarnya dalam Keberanian Bernama Munir: Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir yang ditulis Meicky Shoreamanis Panggabean.
Gus Dur, begitu dia akrab disapa, mengatakan meski penuh bahaya terus menerus mengintai nyawa, semenjak dia dan kawan-kawan berjuang bersama di KontraS dan Imparsial, Munir tak akan pernah berhenti.
Hanya saja terdapat perbedaan yang sangat besar antara Munir dan kawan-kawannya, yaitu kesediaan untuk mengorbankan diri, bagi perjuangan yang diyakininya.
Soal pengorbanan diri ini, ternyata pernah diungkapkan Munir kepada Gus Dur. Munir menyadari apa yang dia lakukan adalah sebuah tindakan berbahaya dan tidak semua orang bisa menerimanya.
Kesadaran terhadap itu, ternyata tidak membuat nyalinya ciut. Dia bahkan dengan bangga mengatakan, apapun bahaya yang akan dihadapi, dia akan tetap melanjutkan perjuangannya.
“Ini yang tidak setiap orang mampu melakukannya termasuk saya,” kata Gus Dur.
“Pada suatu waktu saya bertemu Munir. Dalam pertemuan itu dia menyatakan akan menulis desertasinya di Negara Belanda. Dia akan memaparkan orang yang dia duga otak pelanggaran HAM di negara kita. Waktu itu saya berkata di dalam hati, ‘Jangan Anda lakukan hal itu karena akan menimbulkan reaksi sangat besar.’ Tapi saya pikir, tak ada gunanya melarang Munir.”
“Karena itu saya tidak berkata apa-apa, hingga bencana kematian Munir yang sampai kini belum dapat diketahui siapa pelaku aslinya,” ungkap Gusdur. Pengakuan Gus Dur ditulis setelah tiga tahun kematian Munir, tepatnya pada tahun 2007 sebagaimana tertulis dalam buku tersebut.
Munir Sosok yang Paradoks
Redaktur Senior di Harian Warta Kota Willy Pramudya mengatakan ‘Munir, Sosok yang Paradoks’. Kalimat ini menjadi judul sebuah prolog untuk buku: Cak Munir: Engkau Tidak Pernah Pergi (2004).
Dia mengatakan kepergian Munir — sebagai pejuang HAM — mengejutkan banyak orang, shock secara manusiawi.
Bahkan sebagian besar dari mereka yang terkejut dengan kabar kematian Munir, adalah mereka yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan sepak terjangnya.
“Munir adalah ‘jenis manusia’ yang berada di wilayah yang begitu luas, yakni lintas bidang kehidupan yang dijalani manusia sekaligus ruang yang luas itu sendiri. Ketika bicara tentang HAM dan militer(-isme), Munir tak hanya produk wacana (descourse). Dia mem-produk wacana sekaligus sebagai aksi dan refleksi,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, hal yang menarik dari Munir, di tengah kehidupan yang menyeret banyak orang ke dalam keyakinan bahwa uang, kekuasaan dan kenikmatan hidup menjadi begitu penting.
Munir tampil menjadi sosok yang menempuh cara hidup via negativa, terus menerus ‘mengingkari dirinya’ sendiri dengan cara hidup yang sangat bersahaja.
“Kalau ketiga perkara itu acap jadi ukuran (kalangan elit) manusia Indonesia kontemporer, maka Munir adalah ‘barang langka’. Dengan kekayaan hidup luar biasa, dia tetap tampil dengan gaya hidup bersahaja,” ungkap Willy. (bpc2)