Kenaikan harga minyak goreng membuat satu persatu masalah dan cela seakan antri muncul ke permukaan. Paling hangat pernyataan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menduga ada praktik kartel dilakukan sejumlah perusahaan sehingga membuat harga minyak goreng meroket sejak akhir tahun lalu.
Dalam diskusi digelar Indef pada Kamis (3/2/2022) itu, KPPU mengungkap struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai segelintir korporasi besar. Menurut KPPU, dari 74 pabrik minyak goreng dalam negeri, terdapat empat perusahaan yang menguasai pangsa pasar.
Dominasi tadi disinyalir memberi mereka kekuatan mengontrol harga. Struktur pasar cenderung oligopoli selalu dan akan terus menyulitkan upaya Pemerintah menstabilkan harga yang sudah terlanjur bergejolak. Lebih memprihatinkan lagi di bidang perkebunan. Masih mengutip KPPU, kancah justru lebih dikuasai perusahaan luar negeri. Sepanjang 2021 tercatat ada 5 perusahaan perkebunan sawit nasional yang diakuisisi oleh perusahaan Malaysia.
Siklus dalam hal kepemilikan perkebunan sawit turut mengundang kekhawatiran. Perlu diketahui, dalam sektor perkebunan sawit ada dua pihak menonjol yakni sektor modern dan tradisional. Tradisional umumnya dikelola masyarakat atau perkebunan rakyat. Menyoal luasan perkebunan sawit rakyat setiap tahun terus mengalami penciutan. Pemicu tergerusnya kepemilikan kebun rakyat beragam, termasuk diantaranya diambil oleh perusahaan menengah dan besar. Kabar buruk justru berikutnya, dimana perusahaan menengah dalam negeri juga ikut berkurang karena diakuisisi perusahaan besar.
Dari pemaparan KPPU dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemilikan perkebunan sawit nasional semakin menurun. Dari sudut pandang kepentingan bangsa fenomena tadi pertanda buruk. Perlahan akan menggerogoti kedaulatan dan berdampak negatif terhadap kepentingan nasional terutama sektor perkebunan sawit.
Hukum internasional saja telah mengakui kedaulatan negara atas Sumber Daya Alam (SDA) di wilayahnya, tertuang dalam resolusi PBB 1803 (XVII) mengenai Permanent Sovereignty over Natural Resources (PSNR), dan resolusi Majelis Umum PBB Tahun 1974 dan Deklarasi Tata Ekonomi Internasional Baru dan Program Hak-hak Ekonomi dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States) yang menegaskan hak negara mengawasi kekayaan alam dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Melihat prospek komoditas sawit sangat menjanjikan, sebuah ironi memalukan ketika tak berdaulat atas SDA sendiri.
Sektor Rakyat
Perhatian paling utama perlu dicurahkan untuk melindungi sektor tradisional. Karena inilah sejatinya tujuan penyelenggaraan dan aktivitas ekonomi yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Disamping keniscayaan keuntungan ekonomi bagi negara berupa perolehan pendapatan dan penerimaan. Bagi Riau persoalan makin serius mengingat status sebagai sentra perkebunan sawit nasional. Ditambah berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan) Riau mempunyai lahan perkebunan rakyat terluas.
Di tahun 2020 luasnya mencapai 1,8 juta hektar (ha). Dari luas perkebunan kelapa sawit di provinsi Riau, 60 persen diantaranya boleh dibilang perkebunan rakyat. Dengan jumlah begitu signifikan, pengambil kebijakan mulai pusat hingga daerah semestinya menyadari dan beri porsi perhatian lebih. Mengupayakan berbagai pendekatan dan langkah konkrit guna melindungi perkebunan rakyat melalui implementasi berbagai program yang bisa memperkuat eksistensi masyarakat terutama masyarakat petani, pekebun atau penggarap.
Bicara program, layak diangkat mengenai Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Riau target utama Program Strategis Nasional tersebut dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit. Penekanan kembali tujuan utama program yaitu menjaga luasan lahan supaya perkebunan sawit dapat dimanfaatkan secara optimal sekaligus penyelesaian masalah legalitas lahan. Pemerintah menargetkan PSR tahun 2020-2022 sebesar 540 ribu hektare (ha) tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Adapun Riau diberi target tertinggi. Tahun 2021, dari usulan peremajaan (replanting) diajukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau ke Pusat, Riau menargetkan seluas 26.500 hektare kebun sawit rakyat. Tingginya target dari pusat didasarkan atas pertimbangan potensi sawit Riau demikian besar. Harusnya kesempatan dimanfaatkan sebaik-baiknya sebab menguntungkan daerah. Sayangnya realisasi PSR Riau belum optimal. Tahun 2021 masih tergolong minim. Padahal dampaknya positif terhadap perekonomian Riau. Lebih disesalkan lagi, kendala penyaluran dana PSR didominasi aspek administratif. Memang rendahnya progres PSR tak hanya Riau. Merujuk ke lingkup Sumatera, realisasi PSR sejumlah provinsi seperti Sumatara Utara, Jambi, Sumatera Selatan dan Aceh relatif sama. Namun bukan berarti jadi dalih.
Kesungguhan
Kembali ke status sentra sawit, harusnya Riau menginspirasi daerah lain sebagai percontohan kinerja. Jangan kufur nikmat. Dianugerahi limpahan SDA tapi tidak dibarengi kesungguhan mengelolanya. Kita berharap pihak Pemprov Riau terus berkoordinasi secara intens dengan pihak pemerintah kabupaten/kota, bersinergi dan mencari jalan keluar secara bersama-sama untuk membenahi persoalan yang menghalangi program dan upaya lain guna memperkuat perkebunan rakyat.
Apalagi kendala utama telah diidentifikasi, seperti legalitas lahan dan data kependudukan yang tak sinkron. Berikut juga jalur birokrasi yang ditempuh oleh petani sawit untuk mendapatkan dana PSR sedapat mungkin disimplifikasi atau disederhanakan. Jangan kebijakan debirokratisasi atau pangkas jalur birokrasi yang gencar dikoarkan pemerintah sampai menerbitkan beleid istimewa bernama Undang-Undang Ciptaker hanya menyasar investor kakap saja.
Selanjutnya, selaku pihak penyelenggara pemerintahan daerah juga meminta Pemerintah Pusat mengevaluasi kinerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) karena belum maksimal mengakomodir kebutuhan perkebunan rakyat. Di kelembagaan DPRD Provinsi Riau sudah lama menyoroti hal ini, terutama Komisi II. Selama ini anggaran yang bisa diakses para petani sangat terbatas. Pihak paling menikmati dana BPDPKS justru perusahaan-perusahaan untuk kegiatan usahanya. Keluhan masyarakat petani dan pekebun Riau diamini Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) yang menilai BPDPKS masih memprioritaskan konglomerat sawit, mengabaikan petani sawit dan tidak berkontribusi pada percepatan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Idealnya harus proporsional, jangan jor-joran ke perusahaan. Sosialiasi ke masyarakat yang berkepentingan pun minim. Tak heran masyarakat tidak banyak bisa memanfaatkan dana tersebut. Pemprov Riau juga perlu bersuara ke pusat perihal ini. Dengan begitu program lebih terbuka ke masyarakat. Kita bisa mencontoh Provinsi Jambi. Di sana dana BPDPKS tak hanya untuk program replanting, tapi sudah sampai ke proses pendirian pabrik kelapa sawit yang sahamnya dimiliki masyarakat. Begitujuga peruntukan lain semisal infrastruktur jalan.
Terakhir, keinginan Kami Pemerintah mulai pusat hingga Pemda bisa duduk bersama seluruh pemangku kepentingan. Pemda juga diharapkan dapat memfasilitasi petani sawit swadaya dapat berdaya dalam tata niaga kelapa sawit. Dengan begitu mereka bisa mendapat peran aktor utama dalam subsektor perkebunan dan industri sawit serta perekonomian daerah. Ingat, sistem perekonomian kita bukan liberal.
Bahkan negara liberal saja sangat protektif dan begitu ketat mengatur sektor pertanian dan perkebunan mereka demi mengakomodasi kepentingan dalam negeri. Membuka investasi seluas-luasnya bagus. Tapi investasi dikehendaki memberi nilai tambah bagi kepentingan ekonomi daerah, kesejahteraan masyarakat dan mendukung kepentingan bangsa.
Apa guna investasi masuk banyak tapi ujungnya hajat dan kebutuhan publik dikendalikan segelintir golongan. UUD 1945 pasal 33 Ayat 3 dan nilai Pancasila merupakan pandang visioner dan ideal bagaimana seharusnya SDA negeri dikelola. Pertanyaan, maukah mempedomaninya?***