BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Pemprov Riau berpotensi kehilangan pendapatan setelah peraturan daerah (Perda) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) diberlakukan sejak tahun lalu. Nilainya tak tanggung-tanggung, mencapai Rp114 miliar dalam realisasi penerimaan 2018.
Kabid Pajak Dispenda Riau, Ispan Syahputra menjelaskan, lost potensi penerimaah daerah dari sektor ini setelah melihat realisasi penerimaan daerah dari PBBKB akhir 2018 lalu, dimana realisasi penerimaan hanya sekitar 85% atau sekitar Rp782 miliar dari target Rp896 miliar.
“Dampak revisi Perda penurunan tarif pajak Pertalite pada pertengahan tahun 2018 adalah realisasi PBBKB 2018 sebesar Rp782 miliar atau 85% dari target,” katanya.
Soal PBBKB memang bikin dilema. Satu sisi jika Pemprov Riau tidak menurunkan besaran pajak bahan bakar untuk kendaraan bermotor ini, maka akan sangat memberatkan masyarakat, karena harga BBM non subsidi tergolong mahal. Pada tahun lalu, gejolak protes terhadap masalah ini mencuat ke publik. Sebab harga BBM di Riau tergolong paling tinggi se-Indonesia. Namun di sisi lain, jika Perda PBBKB direvisi dengan besaran penurunan pajak, maka pendapatan daerah yang justru turun.Â
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Riau, Indra Agus Lukman menilai realisasi penerimaan PBBKB tidak mencapai target juga disebabkan tingginya angkutan perusahaan yang memanfaatkan BBM bersubsidi untuk operasionalnya. Akibatnya, nilai konsumsi BBM non subsidi menjadi turun.Â
“Maka Pak Gubernur kemarin menginstruksikan ke kita untuk mencermati lagi pemakaian BBM yang non subsidi itu bagi kalangan swasta,” kata Indra. “Misalnya masih banyak kendaraan perusahaan yang memanfaatkan BBM bersubsidi untuk mengangkut hasil perkebunan dan CPO.”
Dalam waktu dekat, Pemprov Riau akan menggelar rapat dengan Pertamina dan instansi terkait untuk membahas masalah ini. Terutama berkaitan dengan realisasi penerimaan PBBKB. Termasuk meminta pihak PT. Pertamina (Persero) agar membuka data realisasi pungutan PBBKB oleh BUMN itu.
“Karena laporan Pertamina ke pak gubernur waktu itu, kita ada kehilangan antara Rp100 miliar hingga Rp200 miliar setiap tahun, kalau seandainya masih memakai pola sekarang, tapi kalau pemakaian BBM non subsidi itu betul-betul kita cermati itu bisa ada kenaikan realisasi pendapatan,” jelasnya. (bpc3)