BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebelumnya menegaskan kalau vaksin MR dinyatakan haram karena mengandung babi dan organ manusia. Masalah ini kemudian bikin pemerintah dan MUI sendiri kebingungan sebab di satu sisi masalah ini berkaitan dengan kemaslahatan umat dan di sisi lain berbenturan dengan hukum syar’i.Â
Hasil pleno pada awal pekan lalu, MUI menyepakati kalau vaksin ini dibolehkan untuk disuntikkan pada anak melalui imunisasi. Sebab hingga kini tidak ada alternatif lain untuk solusi. Statusnya mubah menurut syar’i, atau sama dengan memakan makanan haram lantaran tak ada lagi makanan halal lainnya. Namun MUI tetap mendorong pemerintah agar menyegerakan untuk mencari vaksin lain.Â
“Kami selaku MUI di Riau bagaimanapun tentu ikut dengan keputusan MUI pusat. Artinya memang harus ada solusi. Hasil pleno itulah solusi sementara namun tetap mendesak kepada pemerintah agar sesegera mungkin mencari vaksi yang halal untuk mengganti vaksin ini,” kata Ketua MUI Riau, Prof. Dr. HM. Nazir Karim, MA.
Namun dari sisi syariat Islam menurut pandangan pribadinya, bahwa menyuntikkan barang haram (vaksin) ke tubuh anak sama saja dengan memasukkan benda haram ke dalam tubuh anak dan itu akan menjadi darah daging. Dan memang secara aturan agama Islam, itu dilarang.Â
“Makanya seluruh makanan dan obatan dan kosmetik harus betul-betul dapat pengawasan tegas. Ada fatwa yang dilakukan MUI,” sambungnya.Â
Nazir menjelaskan mamang untuk kasus seperti vaksi MR, sejak awal dia mengklaim kalau MUI sudah meminta kepada pemerintah agar mengajukan proses sertifikasi halal terhadap vaksin asal India tersebut. Namun pemerintah terkesan lambat. Atas dasar itu pula muncul kecurigaan di kalangan internal MUI tentang kehalalan vaksi tersebut.Â
Baca:Â Tak Ada Perintah Penghentian, Diskes Pekanbaru Tetap Jalankan Vaksin MR
Namun terlepas dari pada itu, fatwa sudah diputuskan dan untuk sementara ini solusinya diperbolehkan sambil ada alternatif lain pengganti vaksi tersebut untuk imunisasi anak. Diperbolehkannya vaksi itu disuntikan kepada anak berdasarkan fatwa MUI Nomor: 33 Tahun 2018.Â
Pertama dalam situasi seperti ini ada kondisi keterpaksaan atau darurat syar’iyah. Kedua memang belum ditemukan vaksin MR halal dan suci. Dan selanjutnya wajib ada keterangan ahli berkompeten dan dipercaya tentang bahaya ditimbulkan jika anak tidak diimunisasi, dan memang belum ada vaksin MR yang halal. “Kalau nanti ada vaksin serupa dan halal, maka vaksin ini vajid ditinggalkan,” tambah Nazir Karim. (bpc3)