BERTUAHPOS.COM, JAKARTA – Anggota Dewan Pers Nezar Patria menghimbau masyarakat memasukkan lembaga survei yang manipulatif dalam hitung cepat atau “quick count” Pemilu Presiden 2014 dalam daftar hitam atau “blacklist”.
“Pesan Dewan Pers, jangan dipakai lagi lembaga survei yang manipulatif sebagai sumber informasi. Kalau ada lembaga survei yang terbukti melakukan manipulasi, kita wajib menetapkan blacklist di media karena dia berbohong kepada publik,” kata Nezar dalam diskusi “Kebebasan Penyiaran Quick Count” di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta, Rabu.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 diikuti dua capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Perbedaan hasil hitung cepat ini membuat kedua pasangan capres dan cawapres mengklaim kemenangan sementara Pilpres 2014.
Terdapat delapan lembaga survei menyebutkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh dukungan suara yang lebih unggul dari Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sedangkan empat lembaga survei mengunggulkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Mantan anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan hitung cepat tidak mungkin dilakukan sebuah lembaga survei dalam waktu persiapan yang singkat.
Ia mencontohkan, untuk hitung cepat di 2.000 tempat pemungutan suara dibutuhkan 2.000 relawan yang bertugas sebagai informan ditambah koordinator hingga tingkat provinsi dan sumber daya manusia di pusat data-nya.
“Hitung cepat itu proyek yang sangat besar dan enggak mungkin disiapkan dalam sebulan. Dibutuhkan manajemen yang serius dan pengalaman,” jelas Agus yang juga mantan Direktur Eksekutif lembaga survei Indonesia Research Center (IRC).
“Lembaga survei yang bukan anggota Persepi (Perhimpunan Survei dan Opini Publik) bukan berarti tidak kredibel. Tapi dalam kondisi chaos begini, baik anggota Persepi maupun tidak, sudah menjadi keharusan lembaga survei transparan. Ini pertaruhan. Mereka harus declare tanpa harus menunggu diperintah siapapun,” tambah Agus.
Ia menambahkan hitung cepat merupakan alat kontrol yang sangat dibutuhkan untuk verifikasi dan afirmasi real count yang dihitung Komisi Pemilihan Umum.
“Quick count seharusnya instrumen yang digunakan masyarakat untuk mengontrol hitungan KPU, bukan hitungan KPU yang mengontrol quick count. Ini kan karena ada perbedaan suara, ada kecenderungan orang melihat hasil KPU dulu dan lembaga survei yang sesuai dengan hitungan KPU itu yang kredibel. Tidak begitu,” jelasnya.
Sementara itu, Pengamat Komunikasi Ade Armando juga mempertanyakan lembaga survei yang menolak diaudit oleh Persepi. “Kalau enggak mau diaudit ada pertanyaan besar kenapa,” ujar Ade.(investordaily)