BERTUAHPOS.COM – Apa yang terbesit di pikiran kita ketika terjadi persaingan antara pedagang kaki lima, pedagang nomaden dan pedagang moderen berkelas ruko?
Sebelum menuju arah itu, ada sedikit ilustrasi mengenai fenomena pedagang yang memiliki label-label tersendiri. Domain pedagang kaki lima adalah emperan toko, kios kecil nan sempit sesak, atau pasar-pasar tradisional yang telah disediakan semula.
Atau jika lebih maju sedikit, pedagang kaki lima akan berpindah dari emperan ke dalam kios-kios sederhana nan sempit sesak tadi. Pedagang kaki lima tidak memiliki harga jual tetap (fixed price). Harga jual barang dagang kaki lima tergantung “seni†kepintaran tawar-menawar antara penjual dan pembeli sehingga terjadi kesepakatan menuju transaksi.
Satu lagi, kelompok pedagang musiman atau lebih dikenal dengan pedagang pasar mingguan, sama artinya dengan model pedagang nomaden. Kelompok pedagang ini bergerak dari satu tempat menuju tempat lain menurut hari yang telah ditetapkan.
Harga jual barang kelompok pedagang ini sama dengan pedagang kaki lima, tidak ada harga tetap. Kemampuan tawar menawar menjadi kunci sukses transaksi. Model display dan lay out barang-barang dagang terkesan acak dan berantakan. Pada kelompok pedagang kaki lima dan mingguan ini tidak tersegmentasi. Dengan barang-barang heterogen, kelompok pembeli pun variatif, menunjukkan bahwa model pergangan ini seakan berada di tempat pesta rakyat. Inilah ilustrasi dari kedua kelompk pedagang rakyat yang konon menjadi cikal bakal model dagang sektor mikro.
Sisi lain, kelompok pedagang yang memiliki tampilan (performa) berbeda adalah pedagang retail yang sudah memiliki rumah tetap yang berdiam dalam ruko dengan sejumlah kelebihan; layout yang meliputi lighting, pricing, dan managing yang jauh lebih baik. Pedagang yang dimaksud adalah kelompok Indo Maret, Alfa Mart, Seven Eleven, Circle K, Law Son, dan beberapa nama lainnya. Sistem kerja kelompok pedagang ini dibantu teknologi dengan maksud mempermudah dan kerapian sistem pekerjaan dengan tujuan mengupayakan maksimalisasi kunjungan konsumen untuk membeli.
Jika pedagang emperan atau kiosan memasang harga variatif, maka model pedagang ruko memasang harga fexed (tetap) untuk nilai jual barang. Seni tawar-menawar tidak berlaku dalam kelompok pedagang ini. Artinya, konsumen dapat menyesuaikan persediaan finansial dengan keinginan untuk memperoleh sejumlah barang (produk).
Kini, permasalahannya adalah, dengan kehadiran pedagang ruko itu, kelompok pelaku bisnis yang menamakan dirinya pedagang kecil terpojok karena derajat kompetisinya tinggi.
Sebagai contoh, konsumen lebih cenderung memilih belanja di Indomaret yang tempatnya bersih, bersuhu pendingin, terang benderang, dan bebas parkir, ketimbang belanja di pasar tradisional yang becek, amburadul, bayar parkir, dan terkadang terkesan tidak nyaman. Oleh karena adanya pengalihan minat pembeli, maka pedagang kecil merasa tersaingi. Sebenarnya, dalam teori ekonomi sederhana, model ini dapat dimasukan sebagai model rencana persaingan pasar yang dapat diperhitungkan angka besaran minat pembeli dengan pangsa pasar (market share) yang dikuasai oleh suatu kelompok pedagang.
Stakeholder Sebagai Juri yang Menentukan
Jeritan pedagang kaki lima yang memiliki domain sektor mikro, seakan menjadi pilu karena dibumbui dengan ekonomi kerakyatan. Seakan jeritan itu adalah jeritan rakyat yang notabene belum tentu memiliki fungsi ekonomi kerakyatan.
Ekonomi kerakyatan itu sendiri berbasis pada ekonomi yang dibangun oleh potensi masyarakat arus bawah yang bersandikan nilai-nilai kerakyatan, juga nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam menjalankan ekonomi kerakyatan itu. Secara normatif, ekonomi kerakyatan sudah memiliki model tersendiri mulai dari sektor produksi, distribusi hingga konsumsi. Â
Jargon kapitalis-liberalis bukan isapan jempol belaka. Stakeholder sebagai pemilik modal kelompok bisnis level atas diuntungkan dengan berbagai kemudahan yang dapat diartikan sebagai kebebasan menyelenggarakan instrumen bisnis. Bagian-bagian dari instrumen bisnis kapitalis itu adalah terselenggaranya pedagang retail dengen genre model baru seperti yang dicontohkan di atas yaitu Indomaret atau Alfa Mart dan segenerasinya itu.
Apa yang terjadi ketika kaum pedagang proletariat melawan kelompok borjuis yang diwakili oleh kaum kapitalis-kiberalis itu? Sama artinya anak sapi melawan singa. Selanjutnya, instrumen terpenting adalah konsumen sebagai penentu arah, kelompok mana yang lebih diminati; kecendrungan memihak ekonomi elite proletar atau borjuis.
Sesungguhnya, peran terpenting dalam permasalahan pertarungan dua kelompok pedagang ini adalah stackholder. Pedagang sektor mikro yang bertebaran di emperan toko kecendrungannya “menuduh†stackholder bermain sehingga gampang merengsek masuk ke domain mereka. Sementara, kaum pedagang elite tadi, berpijak pada ketentuan yang berlaku.
Artinya, kewajiban diselesaikan maka hak dapat diperoleh. Pedagang kecil yang mengusung jargon ekonomi kerakyatan beranggapan stackholder sebagai juri yang tidak fair dalam permainan persaingan niaga. Akhirnya muncul banyak variabel tuduhan tentang status keberadaan kaum pedagang elitis itu; mulai dari “makan duit†izin hingga tidak mendukung ekonomi kerakyatan.
Sudah saatnya ekonomi rakyat ini merujuk pada konsep ekonomi bangsa ini yang dituangkan dalam Pancasila sebagai Dasar Negara yang tidak bisa ditawar lagi. Sinkronisasi stackholder (pemerintah) dan dua kelompok elite peniaga harus diposisikan untuk mengusung konsep niaga yang jelas, yaitu ekonomi berbasis rakyat. Artinya, model atau sistem perniagaan dapat merujuk pada model modernitas, tetapi substansi adalah tetap yaitu membangkitkan semangat pertumbuhan ekonomi yang berhasrat menuju kesejahteraan.
Tidak ada yang dapat membatasi derajat pertumbuhan “ekonomi borjuisme†sebelum adanya pembatasan ranah kebijakan yang membatasi kedua kelompok peniaga itu. Apapun momentumnya, ekonomi kerakyatan yang diwakili pedagang emperan dan sektor mikro akan terdegradasi ke wilayah yang lebih suram akibat ketidaktegasan stackholder. Memang, trianggulasi simetris mesti terjadi antara stackholder yang diwakili pemerintah, dan kedua kelompok peniaga yang direpresentasikan oleh peniaga kaki lima atau emperan dan kelompok elitis. (*)
Penulis:
Nyoto SE, MM -Â Dosen di Fakultas Ekonomi Unilak dan Mahasiswa S3 di Universiti Selangor Malaysia