Selama ini proses pinjam meminjam uang sebagian besar dijembatani oleh sebuah institusi bernama bank. Kegiatan simpan meminjam sudah menjadi bagian penting dari kegiatan manusia sejak uang pertama kali diciptakan. Namun, formalisasi sebuah institusi bank seperti yang kita kenal sekarang baru terjadi pada abad ke 15. Sampai saat ini tidak banyak perubahan berarti yang terjadi pada institusi yang sudah berusia lebih dari 500 tahun. Betul telah terjadi revolusi online banking dimana sebagian bentuk transaksi sekarang dapat dilakukan tanpa perlu menginjakkan kaki ke sebuah bank.
Melihat bagaimana startup dan perusahaan seperti Uber, e-bay, dan airBnB telah mendemokratisasi berbagai industri, mengapa belum ada startup yang mendistrupt industri perbankan?
Lending Club, perusahaan yang baru saja mendapatkan pendanaan USD 125 juta (sekitar Rp. 1,5 trilliun) dari Google dan beberapa venture capital lain, berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Secara singkat, Lending Club memberikan fasilitas peminjaman antar orang tanpa melalui bank. Orang yang bergabung dapat memilih untuk menjadi investor atau peminjam. Investor membuka account dan menanamkan uang. Uang yang ditanamkan oleh investor dapat dipinjam oleh peminjam dengan membayarkan bunga. Setiap peminjam dikenakan suku bunga yang berbeda ditentukan oleh seberapa baik credit-score mereka dan beberapa kriteria lain. Investor dapat memilih mau meminjamkan bunga kepada siapa untuk membuat portofolio kredit yang seimbang. Mereka dapat memilih untuk meminjamkan hanya sedikit uang untuk peminjam yang berisiko tinggi (walaupun berbunga tinggi) contohnya.
Dengan mengeluarkan bank tradisional yang biasanya mempunyai biaya operasional tinggi dari proses pinjam meminjam ini, Lending Club dapat memberikan rata-rata bunga yang lebih rendah kepada peminjam. Biaya-biaya yang biasa dibebankan pada nasabah bank tradisional seperti prepayment fee juga dihilangkan. Investor lebih mempunyai kontrol atas kepada siapa mreka mau meminjamkan uang mereka dan mengatur portofolio kredit mreka sendiri. Selain itu Lending Club juga dapat menjembatani proses peminjaman tidak formal yang sering terjadi antar rekan bisnis, sehingga elemen akuntabilitas yang tidak terlalu formal dapat terjadi.
Selain pinjaman pribadi, Lending Club juga baru-baru ini membuka peminjaman untuk perusahaan yang lebih berfokus pada usaha kecil dan menengah (UKM) yang memerlukan pinjaman kerja. UKM dapat memasukkan aplikasi pinjaman mereka ke Lending Club sampai USD 100.000.
Investasi dari Google dan venture capital lainnya, serta perkembangan asset under management (AUM) yang sekarang mencapai USD 450 juta menunjukkan bahwa perusahaan ini telah berkembang pesat dari 5 tahun yang lalu.
Bisakah Dilakukan di Indonesia?
Walaupun bisnis model peminjaman peer-to-peer seperti Lending Club ini sangat menarik dan berpotensi besar, untuk melakukan bisnis model yang sama di negara berkembang seperti Indonesia ada beberapa tantangan. Pertama, sistem ini membutuhkan infrastruktur online banking yang solid dan menyeluruh. Kedua, sistem pengecekan kredit di Amerika Serikat, karena faktor kuatnya infrastruktur online tadi, sangat canggih dan dapat merefleksikan kredibilitas kredit tiap-tiap orang. Sistem credit score di Amerika secara singkat memberikan suatu angka nilai pada setiap orang. Apabila nilainya terlalu rendah kredit bisa tidak perlu diberikan atau diberikan dengan bunga yang sangat tinggi. Sistem BI Check di Indonesia memberikan fungsi yang hampir sama namun tidak memberikan info yang terlalu detail. Faktor terakhir yang dapat mempengaruhi perkembangan perusahaan semacam ini adalah regulasi dari pemerintah. Contoh yang paling nyata sudah terjadi pada Lending Club sendiri. 5 tahun yang lalu Lending Club sempat berkembang sangat pesat, namun regulasi baru dari SEC (semacam OJK) menghambat perkembangan mereka. (Inovasi.com)