BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Pagi itu, Selasa tanggal 10 Februari 2015. Sekitar pukul 10.00 WIB, warga di Desa Pulau Rambai melakukan aktifitas tidak seperti biasanya. Wajah-wajah mereka terlihat panik saat berhamburan keluar rumah. Air sudah menggenangi halaman dan hanya selang beberapa menit, ketinggian air bertambah dan masuk ke pelataran. Pemandangan dari setiap sudut di desa itu terlihat sedang kacau. Masing-masing dari warga sibuk mengangkat barang-barang perabot, pakaian, mesin cuci, TV, kulkas dan beragam perkakas lainnya, untuk dilarikan ke tempat yang lebih tinggi.
Di tengah kerumunan itu, Siti Musiatun, seorang wanita berusia 40 tahun itu, menitip Sara, anak kandungnya yang baru berusia 2 tahun ke rumah tetangganya. “Saya harus bantu angkat barang di Puskesmas,” katanya. Kepada bertuahpos.com, Siti menceritakan secara rinci bagaimana paniknya masyarakat ketika itu. Air naiknya terlalu cepat. Warga tidak bisa berfikir panjang. Hanya bisa menyelamatkan barang yang terlihat saja.
Melihat ibunya sedang sibuk, Sara hanya duduk diam di rumah tetangga tanpa banyak berbicara. Sambil berlari menuju ke Puskesmas, Siti kembali mendengar teriakan warga yang minta tolong diangkatkan barang-barangnya. Fokus Siti berubah kepada barang-barang milik tetangganya itu, kemudian kembali berlari menuju Puskesmas. Tengah membereskan obat-obatan, dia ingat bahwa barang di rumahnya belum terselamatkan. “Cuma suami saya sendiri yang beres-beres di Rumah,” sabungnya. Hanya berjarak 1 jam, lebih kurang pukul 11.00 WIB, genangan air sudah setinggi dada orang dewasa. Listrik sudah dimatikan. Satu-satunya cara, dia dan suaminya melarikan barang-barang miliknya ke atas langit-langit Rumah yang terbuat dari papan. Karena sudah termakan usia, lantai di langit-langit rumahpun lapuk. Ketika itu, Sara dan Usman Ali, anak pertamanya yang berusia 10 tahun, dan seorang mertuanya lebih dulu diletakkan di langit-langit rumah. Sementara Siti dan sang suami, masih membereskan barang-barang untuk diletakkan ke atas.
Tepat pukul 14.00, satu keluarga ini sudah berada di atas langit-langit rumah mereka. Sedangkan air sudah menggenagi hingga palang pintu. “Air naik cepat sekali.” Lebih kurang 4 jam, seluruh rumah di Desa Pulau Rambai ini tenggelam. Dengan menelan korban lebih kurang 330 kepala keluarga dan 1.500 jiwa lebih.
Malam pertama musibah itu berlangsung, Siti, sang suami, mertua serta kedua anaknya, Sara dan Usman terkurung di atas langit-langit rumah. Selasa malam itu, dengan diterangi cahaya lampu teplok, mereka sekeluarga melahap nasi dingin yang sempat dimasak sejak pagi. “Malam itu kami tidak bisa tidur. Lantai langit-langit sudah lapuk. Si Sara hampir saja jatuh karena lantainya patah,” ujarnya. Keesokan harinya, karena khawatir dengan kondisi keluarga, Siti dan kedua anaknya dijemput dengan speedboat oleh TNI yang bertugas melakukan evakuasi di desa itu. “Mertua saya tidak mau ikut. Dia takut naik perahu. Akhirnya, suami dan mertua tetap tinggal di rumah,” sambungnya.
Desa Pulau Rambai adalah salah satu desa terparah saat musibah banjir tahun ini melanda Kabupaten Kampar. Secara georafis desa yang terletak di Kecamatan Kampar Utara itu berada di wilayah dataran rendah. Bentuknya seperti pulau, dengan di kelilingi sungai. Tidak ada satupun jembatan untuk masyarakat nyeberang ke desa itu. Satu-satunya akses, harus menggunakan rakit atau naik sampan pribadi. Ketika musibah itu terjadi. Sebuah sarana transaportasi umum untuk masyarakat biasa menyeberang terpaksa harus berlabuh. Mengingat kondisi arus sangat deras, sehingga tidak ada operator yang berani mengoperasikan alat transportasi itu.
Kata Juni, seorang warga di desa tersebut, saat hari pertama ketinggian air dan lajunya arus luar biasa. Bahkan menenggelamkan atap dan merusak beberapa rumah. Didampingi satu komandan regu dari TNI, bertuahpos.com melihat kondisi rumah yang rusak itu. Tiang penyangga kaca jendela patah dan bagian atasnya, kaca jendela itu hilang terseret arus. “Ada beberapa rumah memang yang mengalami kerusakan akibat ditejang arus deras,” katanya.
Di hari pertama, proses evakuasi warga sangat jauh dari kata layak. Puluhan TNI yang diturunkan ke lokasi, hanya dibekali satu buah speedboat. Sementara warga yang akan dievakuasi sebanyak 1.000 kepala lebih. Sebab itu pula masih banyak warga yang terkurung di rumahnya masing-masing.
Hari pertama dan hari kedua saat musibah banjir itu datang, para TNI ini bahkan melakukan proses evakuasi sampai pukul 03.00 dini hari. “Saya pulang subuh terus,” ujar Babinsa Desa Pulau Rambai, Ayu Wisafrizal saat berbincang dengan bertuahpos.com di sebuah warung kopi, tepat di pinggiran sungat desa itu.
Sejak senin sore, pihak PLTA Koto panjang sudah melayangkan surat pemberitahuan, bahwa pintu air akan dibuka. Mayarakat diminta untuk bersiap-siap. Setelah mendapatkan informasi itu. Ayu menghunugi kepala desa untuk segera diberikan peringatan kepada warganya. “Kami juga sudah sampaikan ke warga,” katanya. “Mungkin masyarakat berfikir kejadinya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak begitu parah. Makanya warga tidak terlalu panik.”
Namun sayangnya hal itu jauh dari prediksi. Air naik begitu cepat hingga membuat warga sama sekali tidak bisa mengemas perkakas rumah tangga mereka secara utuh. Berbekal sebuah speedboat itulah, proses evakuasi anak-anak dan masyarakat usia lanjut berlangsung selama dua hari. Itupun masih banyak warga yang tidak ingin meninggalkan rumahnya, dan memilih menetap di atas loteng.
Ayu yang ketika itu menjadi sang komandan, ternyata punya cerita menarik. Meski dalam situasi darurat seperti itu, dia masih melihat kreatifitas warga yang cepat tanggap. Saat mengetahui bahwa debit ketinggian air yang kian tidak terkendali, sebagian besar masyarakat mengantar sepeda motornya ke mesjid. Berharap alat transportasi pribadi itu bisa selamat dari genangan air. Ternyata nasib berkata lain. Lebih kurang 400 buah sepeda motor warga, tetap saja menghilang. Namun ada beberapa warga yang berpikir cepat. Sepeda motor mereka gantung di atas pohon karet agar tidak tenggelam.
“Ada juga warga yang membuat tempat khusus dari drum kosong. Di atasnya diberi papan untuk meletakkan sepeda motor. Jadi semakin tinggi air naik, sepeda motor mereka juga ikut naik. Supaya tidak hanyut mereka tambat di pohon kelapa,” ujar Ayu sambil tertawa.
Tapi nasib keluarga Siti masih belum mujur. Saat air belum terlalu tinggi. Dua buah sepeda motor miliknya di bawa sang suami ke mesjid. Kini sepeda motor itu hanya terlihat stangnya saja.
“Untuk perbaiki motor saja sudah habis uang 2 juta rupiah. Belum yang lain-lain,” ujar suaminya.
“Ah… nantilah itu, bang. Yang penting kita dan anak-anak selamat dulu. Kalau ada rezeki diperbaiki nanti,” jawab Siti.
Saat bertandang ke lokasi itu pada Kamis sore, tanggal 11 Februari 2016, bertuahpos.com menelusuri sebagian Desa Pulau Rambai dengan menggunakan sampan dayung. Meski dengan kondisi basah kuyup, warga dengan pelampung ban mobil yang sedang bermain air di depan rumahnya tetap melepas senyum ramah. Sebagian para orang tua bahkan sempat membentang jaring dan menebar jala untuk mencari ikan di sekitar halaman rumah mereka. Berharap beban kerugian yang kini mereka tanggung, bisa lepas dari pikiran sesaat, dengan aktifitas yang mereka lakoni, sembari mengunggu air surut. Para ibu rumah tangga ada yang mencuci pakaian di tangga depan rumah. Sesekali mereka melambaikan tangan di hadapan kamera. Bahkan seorang bapak terlihat sedang menghibur anaknya yang masih balita, dengan terjun dari pintu rumah, kemudian menghempas tubuh dalam air. Sang anak pun cekikikan.
Kemudian dia berteriak sambil bercanda, “Tolong kami, Pak wartawan. Rumah kami tenggelam.” Mendengar teriakan sang ayah sambil mengacungkan kedua tangannya, si bocah kembali tertawa. Selain ratusan rumah warga, bangunan sekolah TK, SD dan MTs, serta sebuah mesjid juga ikut tenggelam. Kalau kebun karet dan kebun sawit warga, jangan ditanya lagi. Aliran getah pohon karet sisa nakik yang tertampung dalam tempurung sudah hanyut entah kemana.
Musibah banjir yang menerjang desa ini, diakui warga adalah bencana terparah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dulu, musibah yang sama pernah terjadi pada tahun 1978. Kata Husni, warga di sekitar Desa Danau Bingkuang, ketika itu dia tengah duduk kelas 1 SMP. “Tapi airnya naik tidak separah ini. Pelan-pelan. Jadi warga sempat selamatkan barang-barang mereka,” ujarnya.
Musibah yang disebabkan akibat dibukanya pintu air waduk PLTA Koto Panjanag itu memang rutin terjadi hampir setiap tahun. Tiga minggu sebelum musibah banjir besar ini, perkampungan di Pulai Rambai ini juga sudah digenangi air. Namun tidak terlalu membuat masyarakat merasa khawatir. Hingga saat ini bantuan sembako yang datang hanya bisa untuk masyarakat korban banjir bertahan.
Sementara itu, kucuran dana sebesar Rp 500 juta dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk bantuan korban bajir di Riau, dipastikan tidak cukup. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kampar, Santoso, selesai menghadiri rapat di kantor BPBD Provinsi Riau, kamis kemarin sudah memperkirakan, bahwa kucuran anggaran sebesar itu dipastikan kurang, jika dibandingkan jumlah korban banjir di Kampar secara keseluruhan.
Anggaran sebesar Rp 500 juta itu harus dilakukan sistem “belah semangka”, Rp 250 juta untuk bantuan korban bajir di Kabupaten Kampar, dan Rp 250 juta lagi untuk korban banjir di Kabupaten Rokan Hulu. “Kami bisa pastikan tentusaja itu tidak cukup, jika dihitung dengan jumlan korban banjir,” katanya
Anggaran Rp 250 juta tersebut, harus dibagi lagi untuk biaya perbaikan jalan putus menuju 4 desa yang kini terisolir di wilayah Kampar Kiri Hulu.
“250 juta rupiah dana bantuan itu termasuk untuk memperbaiki akses jalan yang putus, dan bantuan logistik untuk korban banjir,” sambungnya.
Sementara setelah semua stakeholder duduk satu meja di Provinsi Riau, telah sepakat menetapkan musibah banjir kali ini tengan status darurat bencana banjir dan longsor. Hal ini dilakukan mengingat jumlah wilayah yang terendam banjir di Riau semakin bertambah.
Sebelumnya, tiga daerah yang juga dihantam musibah itu, yakni Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi serta Rohul sudah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir. Kepala BPBD Riau Edwar Sanger, bersama TNI, BPBD Daerah, Basarnas, Dinas Kesehatan Provinsi dan instansi terkait telah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir itu. Semua pihak yang terlibat dalam hal ini, telah menyatakan diri untuk siap menurunkan anggotanya, bantu tenaga turun ke lokasi bencana untuk melakukan peyisiran evakuasi.
***
Hari semakin gelap. Aktifitas ibu-ibu di dapur umum sudah tidak sesibuk sebelumnya. Di sebuah kursi sofa depan warung kopi pinggiran sungai desa itu, jilabab hitam yang dikenakan Siti sudah tidak rapi lagi. Usman Ali, anak pertamanya, juga duduk di sofa itu. Sementara si Sara, anak bungsunya yang baru berusia 2 tahun mendekap di pelukan sang ibu. masing-masing dari mereka sedang melahap sepiring nasi putih, sejumput sayur bening dan sebutir telur rebus untuk makan malam ini. “Saya sudah kirim makanan untuk suami yang sedang menunggu rumah bersama mertua sekarang,” katanya sambil tersenyum. (Melba/Ari)