BERTUAHPOS.COM – Masyarakat Pulau Mendol dari Desa Teluk, Teluk Bakau, dan Teluk Beringin menggelar aksi damai untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap keberadaan PT Trisetia Usaha Mandiri (PT TUM) di wilayah mereka.
Aksi ini bertepatan dengan peringatan 79 Tahun Kemerdekaan Indonesia dan 67 Tahun Provinsi Riau, namun warga Pulau Mendol merasa belum merdeka dari “penjajahan” perusahaan tersebut.
Dalam aksi tersebut, masyarakat membawa spanduk bertuliskan “79 Tahun Indonesia Merdeka, 67 Tahun Provinsi Riau, Namun Masyarakat Pulau Mendol Belum Merdeka Dari Jajahan PT TUM”.
Spanduk lain bertuliskan “Kemerdekaan Belum Sempurna, Bila Belum Mendapatkan Hak Kami”, dan “Pulau Mendol Bukan Untuk Perusahaan Perusak Lingkungan”, juga dibentangkan.
Aksi dimulai dari lapangan bola Desa Teluk Bakau menuju pelabuhan Desa Teluk Bakau sejauh ±2 kilometer, dan diakhiri dengan pemasangan spanduk di lahan milik warga serta makan dan doa bersama.
Aksi ini juga merupakan respon atas keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi Bupati Pelalawan.
Putusan MA tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru yang memerintahkan Bupati Pelalawan untuk membatalkan izin usaha PT TUM.
Namun, penolakan ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan lahan yang selama ini dikuasai oleh PT TUM.
Misbun, perwakilan masyarakat Desa Teluk, meminta Bupati Pelalawan untuk segera mengambil langkah hukum terkait putusan kasasi MA.
“Pada kesempatan kemerdekaan ini, kami sampaikan bahwa kami belum mendapatkan hak atas tanah. Proses hukum saat ini menghambat kami mengelola lahan dan kebun, ini seperti terjajah,” ujar Misbun.
Wati, perwakilan perempuan yang ikut dalam aksi, menegaskan bahwa warga menolak kehadiran perusahaan yang merusak lingkungan mereka.
“Pulau Mendol ini perlu dilindungi karena merupakan lahan gambut yang harus dijaga kelestariannya untuk memberi manfaat bagi masyarakat,” kata Wati.
Bagi masyarakat Pulau Mendol, lahan tersebut telah menjadi sumber penghidupan selama bertahun-tahun.
Mereka khawatir jika pulau ini ditanami sawit, lahan gambut akan mengering, meningkatkan risiko kebakaran, dan menyebabkan krisis air bagi masyarakat.
Oleh karena itu, warga berkomitmen untuk menolak kehadiran perusahaan yang merusak lingkungan di wilayah mereka.
Selain itu, masyarakat juga meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mengawal gugatan PT TUM di PTUN Jakarta terkait Surat Keputusan Menteri ATR/BPN tentang Penetapan Tanah Telantar.
“Proses ini perlu dikawal, terutama oleh Kementerian ATR/BPN, untuk memastikan proses hukum berpihak pada hak masyarakat. Kami berharap Majelis Hakim memberikan keadilan bagi masyarakat,” tutup Misbun.***