BERTUAHPOS.COM – Draf Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang tengah disusun oleh DPR menuai kontroversi di masyarakat.
Isi dari draf tersebut dinilai mengambil wewenang yang seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Salah satu poin kontroversial dalam draf tersebut adalah terkait pengaturan penyelenggaraan platform digital penyiaran.
Hal ini mengindikasikan bahwa kreator konten yang memiliki dan menjalani akun media sosial seperti YouTube dan TikTok juga akan termasuk dalam ranah UU Penyiaran ini.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengungkapkan bahwa rumusan draf yang saat ini disusun oleh DPR akan mencakup platform digital.
“Termasuk konten-konten yang didistribusikan melalui platform berbasis user generated content (UGC) seperti YouTube, TikTok, dan sebagainya,” ujarnya, seperti dilansir dari Kontan, Kamis, 16 Mei 2024.
Wahyudi menilai pengaturan ini tumpang tindih dengan peraturan dalam undang-undang lain.
Saat ini, platform berbasis UGC seperti YouTube dan TikTok diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik serta Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 juga sudah jelas mengatur konten-konten yang didistribusikan melalui platform berbasis UGC.
“Tentu menjadi problematis ketika konten yang didistribusikan melalui platform UGC itu dipersamakan dengan konten siaran,” kata Wahyudi.
Ia menjelaskan bahwa konten siaran dihasilkan oleh lembaga penyiaran seperti televisi dan rumah produksi, sementara konten UGC diproduksi oleh individu atau kreator konten dan kemudian didistribusikan melalui platform digital tersebut.
Pasal 34F ayat (2) dalam draf tersebut menyebutkan bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Isi Siaran (SIS).
Ketentuan ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan karena dianggap berpotensi menghambat kebebasan berekspresi di platform digital serta menciptakan beban tambahan bagi para kreator konten yang sudah diatur dalam regulasi lain.***