BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Laporan terbaru koalisi Eyes on the Forest (EoF) menemukan fakta baru, bahwa mayoritas kebun sawit di Riau beroperasi dalam kawasan hutan bahkan sejak 10 hingga 30 tahun lalu.
Hal ini berdasarkan SK Kawasan Hutan terakhir yaitu SK 903/2016. Bahkan, berdasarkan SK Kawasan Hutan Provinsi Riau sebelumnya, 2014, 2011, dan 1986 juga menunjukkan hal yang sama, yakni berada dalam Kawasan Hutan.
Hal ini menjadi bukti bahwa praktik pengembangan kebun sawit yang dilakukan dengan cara menebangi dan menduduki kawasan hutan sudah berlangsung sangat lama di Riau.
“Pemerintah Indonesia harus segera bertindak tegas terhadap perusahaan sawit yang diduga melakukan pelanggaran ini berupa selain sanksi administratif, penegakan pidana korupsi dan pencucian uang perlu diterapkan dalam kasus sawit dalam kawasan hutan,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Dalam laporan ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dari November 2022 hingga Januari 2023 melakukan analisis geospatial dan disusul pemantauan lapangan terhadap 46 perkebunan sawit yang diindikasikan masuk dalam Kawasan hutan di Riau. Dari 46 kebun yang diinvestigasi, hasilnya umur kebun sawit tersebut berkisar antara 10-35 tahun.
Artinya, kebun sawit ini sudah berada dalam kawasan hutan sejak Tahun 2013, jauh sebelum UUCK terbit. Laporan ini terbit setelah dua tahun pasca terbitnya laporan investigatif EoF yang bertajuk Omnibus Law Bukan Legalisasi Otomatis untuk Perkebunan Sawit Ilegal (Juni 2021).
“Cukup memprihatinkan adanya fakta kebun sawit berada dalam Arahan Pengembangan Kawasan Kehutanan jika mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi No. 10 Tahun 1994 . Sementara mayoritas kebun berada di Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) dan Hutan Produksi (HP) bahkan Hutan Lindung (HL) berdasarkan SK Kawasan Hutan Provinsi Riau No.193/2016,” ujar Nursamsu, koordinator EoF.
Dalam laporan ini juga menyajikan hasil investigasi EoF yang menunjukkan bahwa 46 unit kebun sawit, 41 di antaranya dikelola oleh perusahaan, di mana dua perusahaan milik BUMN, dua milik Sinarmas/GAR, dua milik Grup Mentari dan masing-masing dimiliki satu perusahaan: Darmex, Surya Dumai, First Resources, Adimulya, Pancadaya Perkasa, Panca Eka, Panca Putra, Bumitama Gunajaya Agro dan 27 perusahaan sisanya belum teridentifikasi kepemilikannya.
Sementara tiga unit pengelolaan dijalankan oleh Koperasi Petani (KOPNI), dan dua diantaranya diindikasikan juga dikelola oleh perusahaan; Koperasi Tani Sahabat Lestari dikelola oleh PT Sekar Bumi Alam Lestari (grup KLK), dan Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri masuk ke dalam wilayah PT CSL Johannes. Dua unit dimiliki oleh CV yang salah satunya merupakan anak dari BUMN.
EoF menganalisa dengan menggunakan peta Kawasan Hutan, dan juga merujuk pada data Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Tahun 1994 dan 2018.
Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan banyak ditemukan perusahaan sawit yang belum memiliki izin, seperti izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan hak guna usaha. Mengutip cnbcbindonesia.com, 23 Juni 2023, Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara menegaskan, pemilik lahan sawit harus melaporkan asetnya.
Pemilik lahan dapat melaporkan asetnya ke Satgas melalui pelaporan mandiri atas kondisi lahan perkebunan disertai bukti izin usaha yang dimiliki guna mengoptimalisasikan penerimaan negara.
EoF mengharapkan perusahaan yang menjalani skema sanksi administratif untuk juga bertanggung jawab terhadap pemulihan kawasan hutan lindung dan konservasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Kami meminta adanya transparansi dalam penyelesaian masalah kebun sawit dalam kawasan hutan, sehingga diharapkan lebih banyak pendapatan keuangan negara yang terselamatkan,” Boy Even Sembiring, Direktur WALHI Riau. “Dan pemulihan ekosistem akan membantu tercapainya target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.”
Satgas yang dipimpin Luhut Panjaitan diminta untuk menjelaskan kepada publik sudah berapa banyak pajak yang didapatkan Negara dari proses penyelesaian sawit dalam Kawasan hingga saat ini, tambah Boy Sembiring.
Publikasi Laporan seri kedua ini juga menyebut kebun sawit ilegal dan keterkaitannya dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UUCK tahun 2023).
Pada UUCK tahun 2023 Pasal 110A disebutkan: Di mana kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki Perizinan Berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023.
Jika sudah lewat tenggat waktu tersebut, kegiatan usaha tidak menyelesaikan izin yang diwajibkan, akan dikenakan sanksi administratif, berupa: penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha.
Eyes on the Forest mendesak pemerintah untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam investigasi ini, tidak hanya dengan menggunakan instrumen pasal 110 A dan 110 B, namun juga memakai dakwaan tindak pidana korupsi.
“Keberhasilan Kejaksaan Agung menuntut Surya Darmadi pemilik grup sawit Darmex, hingga ia dihukum 15 tahun penjara, menunjukkan kasus sawit dalam kawasan juga bisa secara pidana, apalagi jika kejahatan itu terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Made Ali. “Upaya kubu Surya Darmadi yang seakan berlindung di balik pasal 110 A UUCK atas dakwaan kasus korupsi perizinan sawit dalam kawasan di Riau ditolak mentah-mentah oleh majelis hakim tipikor.“
Sementara itu, industri sawit juga terkena kasus kelangkaan minyak goreng dimana tiga grup besar Wilmar, Musim Mas dan Permata group telah dihukum pengadilan –selain beberapa nama personal pejabat dan eksekutif perusahaan—karena dianggap bersalah atas kelangkaan minyak goreng di negeri ini beberapa waktu lalu.***