بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.
“Manungsa iku bisa kadunungan dating Pangeran, nanging aja darbe pangira yen manungsa mau bisa diarani Pangeran”
(Manusia itu bisa memiliki zat Tuhan, namun jangan beranggapan bahwa dengan demikian manusia itu dapat disebut Tuhan).
Sahabatku, bila kita merasa mendapat cobaan yang sangat berat sesungguhnya pada saat itu kita sedang ditinggikan kadar keimanan kita maka jangan pernah kita menggerutu dan jangan pula lepas dari berdzikir, beristighfar, berusaha dengan disertai tawakal kepadaNya.
Selain itu dengan berkaca pada para nabi, wali Allah SWT, para ulama dan orang-orang saleh, maka dapat menghilangkan perasaan bahwa hanya Anda yang mendapat cobaan paling berat dalam hidup. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ حَمَّادٍ الْمَعْنِيُّ وَيَحْيَى بْنُ دُرُسْتَ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Hammad Al Ma’ni dan Yahya bin Durusta keduanya berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari ‘Ashim dari Mush’ab bin Sa’d dari Ayahnya Sa’d bin Abu Waqash dia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya?” beliau menjawab, “Para Nabi, kemudian kalangan selanjutnya (yang lebih utama) dan selanjutnya. Seorang hamba akan diuji sesuai kadar agamanya (keimanannya). Jika keimanannya kuat maka cobaannya pun akan semakin berat. Jika keimanannya lemah maka ia akan diuji sesuai dengan kadarnya imannya. Tidaklah cobaan ini akan diangkat dari seorang hamba hingga Allah membiarkan mereka berjalan di muka bumi dengan tanpa dosa.” (HR Ibnu Majah)
Menghadapi istri cerewet, besar curiga, menuduh yang bukan-bukan, itu juga bagian cobaan kepada para Wali Allah lho…!!
Demikian pula halnya kepada para wali Allah, para Mursyid, para ulama dan orang sholeh, mereka juga manusia biasa yang menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan berumah tangga. Para kekasih Allah itu, sebagaimana orang awam, menghadapi ujian-ujian dalam berumah tangga seperti menghadapi ucapan istri yang pahit dan menyakitkan.
Para wali Allah menghadapi cobaan dan ujian rumah tangga tersebut dalam taat kepada Allah. Para wali Allah bukan selalu manusia ideal tanpa cobaan dan ujian. Mereka kerap menghadapi ujian termasuk ujian di dalam rumah tangga. Tetapi, mereka menjalaninya dengan ringan tanpa khawatir dan sedih hati sebagaimana sifat para wali Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an, Surat Yunus ayat 62-63.
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ketahuilah sungguh wali-wali Allah tidak ada rasa takut dan tidak pula ada rasa sedih pada mereka, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa,” (Surat Yunus ayat 62-63).
Para orang sholeh menghadapi ujian rumah tangga tersebut dengan sabar dan santai saja bahkan ada yang menghibur dirinya dengan istilah, anggap aja ngedengerin radio butut hahaha. Mereka menahan diri untuk bersikap reaktif dan respons yang melanggar hukum syara atau hukum poisitif. Mereka cukup bersabar yang merupakan salah satu pilar kewalian.
والصبر على لسان النساء مما يمتحن به الأولياء
“Sabar atas ucapan istri termasuk cobaan yang menguji para wali,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], juz II, halaman 44).
Para wali Allah menahan diri menghadapi ucapan istri yang kasar, pahit, dan menyakitkan karena (menjaga) ketinggian derajat dan maqam kerohanian-spiritual mereka di sisi Allah. Mereka tidak menjawab dan membalas dengan ucapan serupa yang menyakitkan. Mereka secara istiqamah menahan diri dari sikap reaktif. Mereka tidak mudah terprovokasi dan terpancing oleh ucapan-ucapan pahit di dalam rumah tangga mereka.
قوله (الأولياء) فهم الذين يصبرون ذلك لعلو مقامهم
“(Para wali) di sini adalah mereka yang bersabar menahan diri atas ucapan itu karena ketinggian maqam (rohani-spiritual) mereka,” (Az-Zabidi, 1994 M/1414 H: V/341).
Para wali Allah menahan diri menghadapi ucapan istri yang kasar, pahit, dan menyakitkan karena (menjaga) ketinggian derajat dan maqam kerohanian-spiritual mereka di sisi Allah. Mereka tidak menjawab dan membalas dengan ucapan serupa yang menyakitkan. Mereka secara istiqamah menahan diri dari sikap reaktif. Mereka tidak mudah terprovokasi dan terpancing oleh ucapan-ucapan pahit di dalam rumah tangga mereka.
قوله (الأولياء) فهم الذين يصبرون ذلك لعلو مقامهم
“(Para wali) di sini adalah mereka yang bersabar menahan diri atas ucapan itu karena ketinggian maqam (rohani-spiritual) mereka,” (Az-Zabidi, 1994 M/1414 H: V/341).
Sebaiknya yang harus kita renungkan cobaan apapun yang kita hadapi sesungguhnya ujian kepada kita agar selalu bergantung kepada Allah.
Untuk memudahkan memahami tentang hakikat kebergantungan diri pada Allah ada baiknya kita membaca kisah dibawah ini :
Suatu saat, seorang sufi bernama Khafif pergi menunaikan haji dengan hanya membawa sebuah ember dan seutas tali untuk menimba air minumnya. Di tengah perjalanan, ia melihat beberapa ekor kijang sedang berdiri di tepian sumur, sedang meminum air dari sumur itu. Ketika Khafif mendekati sumur, kijang-kijang itu pun berlari menjauh dan permukaan air sumur mendadak turun.
Sekuat apa pun Khafif berusaha, ia tak juga dapat menimba air sumur itu. ia berdoa kepada Tuhan untuk menaikkan kembali permukaan air sumur itu seperti yang telah Tuhan lakukan untuk para kijang.
Lalu Suara Yang Agung menjawab, Kami tak dapat mengabulkan doamu; karena kau lebih bergantung kepada ember dan talimu daripada kepada Kami. Ketika itu juga, Khafif membuang ember dan tali yang dibawanya dan permukaan air sumur pun langsung naik kembali. Segera Khafif menghapus rasa dahaganya.
Sepulang dari haji, Khafif menceritakan pengalamannya kepada Junaid Al-Baghdadi. Junaid berkata, Tuhan telah menguji kebergantunganmu kepadaNya. Jika saja kau menunggu sedikit lagi, air sumur itu akan meluap ke luar.
Ibnu Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam menjelaskan: “Laa nihaayata limadaammika in arja’aka ilaika, wa laa tafrughu madaaihuka in adzhara juudahu ‘alaika kun bi-aushaafi rubuubiyyatihi muta’alliqan, wa bi-awshaafi ‘ubuudiyyatika mutahaqqiqan,”.
لَانِهَايَةَ لِمَذَامِّكَ إِنْ أَرْجَعَكَ إِلَيكَ، وَلَا تَفْرُغُ مَدَائِحُكَ إِنْ أَظْهَرَ جُوْدَهُ عَلَيْكَ ڪُنْ بِأَوْصَافِ رُبُوْبِيَّــتِهِ مُتَعَلِّقًا وَبِأَوْصَافِ عُبُوْدِيَّتِكَ مُتَحَـقِّقًا
“Engkau akan terus-menerus menjadi orang tercela jika Allah membiarkan keburukanmu, dan engkau akan menjadi orang yang selalu terpuji saat Allah menampakkan kemurahan-Nya atasmu. Teruslah bergantung pada sifat-sifat rububiyah Allah dan laksanakanlah sifat-sifat ubudiyahmu kepada-Nya”.
Demikianlah iman yang harus kita tumbuhkan bahwa cobaan apapun yang kita alami sesungguhnya adalah cara Allah menguji kebergantungan kita kepada Sang Khalik yang melimpahkan rizki dan menentukan takdir terbaikNya untuk kita semua. Semoga Allah Ta’ala selalu memberkahi hidup kita. Aamiin.
Oleh : H Derajat
Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita