BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Keberadaan PT Riau Andalan Palp and Paper (RAPP) di Provinsi Riau dinilai sama sekali tidak menghormati keberadaan masyarakat Riau. Pengamat Lingkungan UIN Suska Riau Elviriadi menyebutkan, bahwa selama ini perusahaan raksasa tersebut sama sekali tidak pernah memikirkan nasib masyarakat. Hal ini terbukti dari beberapa kasus yang sampai sekarang belum ada jalan keluarnya.
“Secara tegas saya katakan bahwa, tolong RAPP itu hormatilah hak masyarakat. Harusnya mereka itu jujur dan mendengarkan suara nurani masyarakat,” ujarnya kepada bertuahpos.com, Jumat (16/01/2015).
Elvi menyebutkan, bahwa konflik antara RAPP dan masyarakat tidak akan pernah usai jika pihak perusahaan tidak pernah mau mendengarkan keinginan masyarakat. Dirinya mengakui bahwa saat ini perusahaan kertas ini seolah semakin ganas dengan kekuasan yang dimilikinya.
“Merekakan punya power, tapi diwilayah kita. Nah, sementara dengan kekuatan itu yang ditindasnya masyarakat. Setiap konflik yang terjadi selama ini selalu dengan masyarakat bawah. Masyarakat yang tidak mengerti, dan tidak paham dengan prosedur birokrasi. mereka memanfaakan itu untuk kepentingan perusahaan,” tambah dosen UIN Suska Riau ini.
Sejauh ini, Elvriadi menilai masih belum ada itikad baik dari pihak RAPP untuk meredam konflik tersebut. Hal ini bisa dibuktikan dari seberapa banyaknya konflik yang tercipta antara masyarakat dan perusahan. “Saya juga sempat baca dibeberapa media massa soal report (laporan) beberapa LSM tentang konflik yang paling banyak terjadi di kawasan RAPP dan APRIL. Dari data tersebut, membuktikan bahwa kehadiran RAPP tidak diinginkan. Bagaimanapun, saya orang yang konsisten mengkritik RAPP,” tambahnya.
Sebelumnya, sebanyak 24 luasan konflik yang dirangkum Scale Up sepanjang 2014 sebagian Ubesar terjadi di area Perusahaan RAPP dan APRIL. Direktur Executive Scale Up Riau Hari Octavian menyebutkan sebagian besar konfilk tersebut dipicu oleh konflik sebelumnya yang hanya memenangkan sebelah pihak.
Padahal kedua perusahaan ini masing-masing telah mengeluarkan komitmen soal pengelolaan hutan secara berkelanjutan, yang sedang digembar-gemborkan hingga internasional. Termasuk juga bentuk kampanye didengungkan yakni resolusi penyelesaian konflik.
“Kedua perusahan ini sengaja mencuatkan seolah-olah serius menyelesaikan konflik tersebut. Juga mereka mengkampanyekan bahwa setiap tindakan operasional yang dilakukan sudah memenuhi hak-hak masyarakat disekitarnya,” katanya.
Hasil investigasi Jikalahari merekam penghancuran hutan alam dan gambut di Pulau Padang dimuai sejak pertengahan 2011 PT. RAPP memulai penebangan hutan alam di konsesi Pulau Padang, ketika itu masih sepenuhnya berhutan, tanpa adanya penilaian HCV yang independen dan kredibel, hanya dengan penilaian HCV yang lemah oleh konsultan, yang melanggar kebijakan perlindungan HCV 2005 mereka sendiri. Mereka tidak mengikuti Toolkit HCV Indonesia, yang tidak ditinjau (peer-review) oleh HCVRN.
Selanjutnya pada 2013, APRIL menugaskan konsultan lainnya, PT Remarks Asia, untuk melakukan penilaian HCV baru dari konsesi itu sembari terus menebangi hutan alam. Pada 22 November 2013, APRIL menyerahkan kepada WWF satu peta mendekati final dari kawasan HCV dan setuju dengan WWF bahwa kawasan-kawasan ini akan dilindungi hingga kajian tepat oleh HCV Resource Network. Menariknya, kawasan yang diidentifikasi sebagai HCV telah kehilangan sekitar 1.600 hektar hutan alam pada 8 Oktober 2013, bahkan sebelum laporan penilaian diselesaikan
Pada tanggal 28 Januari 2014, APRIL menerbitkan kebijakan SFMP-nya. Sejak hari itu, PT. RAPP terus menebangi hutan alam yang mana melanggar komitmen SFMP Ia dan Ib, tanpa konsultan HCV mereka menuntaskan satu penilaian independen, transparan dan kredibel.
“Mereka semua kekurangan keterkaitan kuat terhadap Toolkit HCV Indonesia, kurangnya proses konsultasi pemangku kepentingan yang diwajibkan dan tinjauan peer-review oleh HCVRN seperti dikomitmenkan,†kata Muslim.
Sementara itu Corporate Communications Manager RAPP Djarot Handoko melalui email yang dikirim ke redaksi BertuahPos pada awal pekan Januari kemarin atau Senin lalu membantah akan hal itu. “Perlu kami jelaskan bahwa Perusahaan dalam melakukan operasinya senantiasa mengacu pada izin yang diberikan pemerintah melalui Menteri Kehutanan,” ujarnya.
Dijelaskannya, operasinya senantiasa mengacu pada izin yang diberikan pemerintah melalui Menteri Kehutanan dengan mengedepankan Praktek Tata Kelola Perusahaan Terbaik seperti penerapan Sustainability Forest Management Policy (Pengelolahan Hutan Berkelanjutan). Hal tersebut juga dibarengi dengan audit dan pemantauan dari instansi terkait dan para ahli (pihak ketiga) sesuai pada bidangnya. (melba)