Penggiat lingkungan di Riau menilai, rencana perubahan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau condong mengakomodir kepentingan ekonomi dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Sebelumnya Konsultasi Publik atau KP 1 terkait penyusunan RTRWP Riau sudah dilaksanakan Pemprov Riau pada 19 Mei 2022. Kegiatan tersebut juga dihadiri langsung oleh Gubernur Riau Syamsuar, jajaran Pemprov Riau, Bupati dan Walikota se-Riau, Pemerintah Pusat, KPK, akademisi, Ormas, NGO hingga pihak swasta selaku pemangku kepentingan.
“Kami menyambut positif KP yang diadakan Pemprov Riau untuk menjaring masukan, meskipun ini terlalu lama. Sebab Perda RTRWP Riau telah putus Mahkamah Agung untuk dilakukan perubahan sejak Oktober 2019 dan salinan putusannya diterima pada 2020,” kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari dalam keterangan resminya sebagaimana diterima Bertuahpos.com, pada Rabu, 1 Juni 2022.
“Dalam sambutannya, Syamsuar juga menyoroti pentingnya RTRWP Riau untuk kepentingan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Syamsuar juga menyoroti pentingnya dukungan terhadap sektor perizinan dengan mewujudkan kebijakan satu peta di Provinsi Riau.”
Syamsuar juga menyinggung terkait persoalan kebun sawit dalam kawasan hutan, dimana ada perbedaan data antara KLHK yang menyebut ada 1,4 juta hektar, sedangkan menurut DLHK Riau ada 1,8 juta hektar, termasuk HGU baru 1,1 juta ha, padahal kebun sawit di Riau sangat luas.
“Sayangnya Gubernur Riau Syamsuar lebih fokus terhadap investasi dan perizinan dan sama sekali tidak menyinggung isu terkait masyarakat adat, alokasi hutan adat, perhutanan sosial, TORA juga persoalan konflik lahan. Padahal isu tersebut yang menjadi persoalan mendasar di Riau dan dalam Perda RTRWP Riau,” kata Okto Yugo.
“Syamsuar juga tak menyinggung program Riau Hijau, yang semestinya sangat penting diintegrasikan dalam penyusunan RTRW.”
Di samping sambutan Syamsuar, dalam materi awal RTRWP Riau 2022-2042 yang dipaparkan oleh ketua tim ahli, DR Wilmar Salim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), juga masih belum berbeda dari Perda No. 18 tahun 2018. Seperti kawasan lindung masih merujuk pada (19 lokasi) berupa kawasan suaka alam, suaka margasatwa, taman nasional, cagar alam, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Alokasinya sebesar 11% dari luas Provinsi Riau dan belum mengakomodir untuk kawasan lindung untuk ekosistem gambut fungsi lindung yang diterbitkan KLHK. Jikalahari memberikan catatan untuk penyusunan RTRWP:
Pertama, RTRWP yang disusun harus menjadi jalan penyelesaian konflik lahan di Riau yang selama ini masif terjadi, caranya dengan meninjau kembali izin-izin korporasi sektor kehutanan, perkebunan maupun pertambangan.
Kedua, Alokasi untuk hutan adat bagi masyarakat adat dalam RTRWP Riau harus ditingkatkan. Dalam Perda RTRWP Riau No. 10 Tahun 2018, alokasi hutan adat hanya sebesar 470 ha. Alokasi hutan adat dalam RTRWP Riau dapat dilakukan secara indikatif, hingga nantinya ditetapkan dengan peraturan daerah. Ini sejalan dengan kebijakan KLHK tentang Wilayah Indikatif Hutan Adat (WILHA).
Alokasi hutan adat maupun WILHA sebagai salah satu jalan menyelesaikan konflik lahan, memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, di mana saat ini masyarakat adat adalah penyumbang angka kemiskinan tertinggi di Riau.
Ketiga, penyelesaian perkebunan sawit dalam kawasan hutan harus dilaksanakan dengan melibatkan serta memenuhi hak masyarakat adat dan masyarakat setempat serta kawasan lindung.
Keempat, prioritas perlindungan dan pemulihan gambut, sebab gambut yang dieksploitasi untuk kepentingan investasi menyebabkan kerusakan dan menjadi rawan terbakar hingga mengakibatkan bencana asap yang banyak menimbulkan kerugian, mulai dari ekonomi, sosial hingga jatuhnya korban jiwa. Data Jikalahari selama 10 tahun terakhir, hotspot paling banyak terjadi di wilayah gambut hingga 75.89% atau 67.580 titik dari total 89.052 titik hotspot.
Kelima, menjamin perlindungan keanekaragaman hayati dan habitat satwa. Termasuk mereview izin korporasi yang berada di habitat satwa yang selama ini merusak habitat satwa hingga terjadi konflik manusia dan satwa yang menimbulkan korban jiwa. Sejak 2018 terdapat 8 korban jiwa akibat konflik manusia dan harimau dan mayoritas terjadi di wilayah izin korporasi.
Keenam, harus menjemput aspirasi masyarakat terdampak, khususnya yang tinggal di kampungkampung. “Selama ini masyarakat di kampunglah yang merasakan dampak atas kebijakan RTRWP Riau,” kata Okto, “ini mandat undang-undang penataan ruang, yang tak dilaksanakan saat penyusunan Perda RTRWP Riau sebelumnya.”
Ketujuh, perlu mengintegrasikan kebijakan “Riau Hijau” dalam Ranperda RTRWP Riau. “Ini merupakan kebijakan yang digadang-gadang oleh Gubernur Syamsuar sebagai program pembangunan Riau yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sayang sekali sama sekali tak disinggung baik Ketika dalam sambutan, maupun materi dalam konsultasi publik,” sambungnya.***