BERTUAHPOS. Hari-hari ini, mata banyak orang fokus pada turbulensi ekonomi pasar keuangan, terutama di pasar modal dan pasar uang. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG terkoreksi cukup dalam, bahkan year to date sudah dalam posisi turun sekitar 3%.
Sedangkan rupiah hingga kemarin diperdagangkan pada level di atas Rp11.000 per dolar AS. Para pelaku pasar bahkan cenderung terus bersikap menunggu perkembangan yang terjadi. Wait and see, begitu kira-kira istilah yang kerap disebut.
Seorang kawan lantas nyeletuk: Inilah fit and proper test yang sebenarnya bagi para pejabat otoritas keuangan, termasuk Menteri Keuangan M. Chatib Basri, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D. Hadad.
Ya. Gejolak finansial yang dihadapi Indonesia ini memang merupakan tantangan nyata bagi pemerintah, dan tentu saja bagi para pejabat finansial yang sekarang duduk.
OJK, seperti dijelaskan oleh Muliaman D. Hadad, telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengantisipasi pemburukan yang mungkin terjadi.
Intinya OJK menyiapkan pelaku industri sektor keuangan lebih tanggap, agar tidak terkena dampak yang mengganggu stabilitas sistem keuangan. Stabilitas finansial menjadi kata kunci yang harganya semakin mahal.
Bank Indonesia begitu pula. Agus Martowardojo selaku pemimpin tertinggi di bank sentral telah berkali-kali mewanti-wanti perbankan untuk semakin prudent dan concern dengan apa yang disebut pengelolaan likuiditas. Sebab jika sampai terjadi problem likuiditas dan mismatch yang tak terbendung, ceritanya akan lain. Stabilitas finansial akan menjadi taruhannya.
Dan Menteri Keuangan Chatib Basri begitu rupa. Ekonom dari Universitas Indonesia itu telah menyiapkan sejumlah skenario dan strategi fiskal, untuk mendukung penyelamatan ekonomi tanpa meningkatkan risiko terhadap manajemen keuangan negara yang prudent atau berhati-hati.
Bahkan, Chatib merancang sejumlah skenario fiskal untuk mendukung apa yang disebut keep buying strategy. Strategi untuk menjaga agar konsumsi masyarakat tetap tumbuh.
Dan, dalam payung lebih luas, bersama tim ekonomi pemerintah yang dikomandoi Hatta Rajasa, didukung Menteri Perindustrian M.S Hidayat dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, keluarlah paket kebijakan yang diharapkan dapat menghentikan gejolak finansial tersebut.
Intinya, pemerintah menyiapkan paket kebijakan untuk memperkuat struktur dan fundamental ekonomi, dengan memperbaiki posisi neraca transaksi berjalan guna mengendalikan nilai tukar rupiah, menjaga daya beli masyarakat, mengendalikan inflasi, serta merangsang investasi lebih gencar lagi.
Tujuan akhirnya adalah untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi lebih sustainable atau berkelanjutan, tidak putus di tengah jalan apalagi krisis berkepanjangan.
Maka, sikap panik dalam situasi seperti ini tidak ada gunanya. Jika rupiah menyentuh angka Rp11.000 per dolar AS, bukankah rupiah pernah menyentuh Rp12.000 saat krisis 2008, dan bahkan sampai Rp17.000 per dolar AS saat krisis 1998?
Pun tatkala IHSG bergerak turun menuju level awal 4.000-an, bukankah kita pernah mengalami IHSG di level yang bahkan jauh lebih rendah? Begitu kira-kira analogi saya.
Sikap panik biasanya menjadi energi negatif yang mematikan. Dalam ekonomi, ada yang menyebut sebagai self fulfilling prophecy, yang kurang lebih dimaknai sebagai kekhawatiran yang menjadi kenyataan. Apa yang dipikirkan lalu benar-benar terjadi.
Ilustrasinya begini. Seorang pelajar, beserta sejulah temannya, yang tengah berencana mengambil kuliah di Jerman, tiba-tiba mendengar rupiah mendekati Rp11.000 per dolar AS.
Dan ia berdiskusi bersama rekannya, lalu menganjurkan orang tuanya untuk memburu dolar, jangan sampai terlambat sebagai persiapan untuk biaya kuliah ke Jerman.
Maka kejadian-lah. Jika ‘ulah’ tersebut dilakukan oleh lebih banyak orang, ya tentu saja tekanan terhadap rupiah akan terus terjadi, dan bisa lebih terpuruk.
Indonesia dikaruniai rejeki yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara di Eropa yang kini tengah mengalami krisis berkepanjangan, maupun di Amerika yang juga masih menghadapi tekanan ekonomi yang melelahkan.
Negara-negara Eropa, tentu Anda jauh lebih tahu, kini dihuni oleh lebih banyak kaum manula (manusia usia lanjut) atau aging population. Mereka umumnya di ata 65 tahun. Begitu pula di Amerika, dan sebagian negara maju Asia seperti Jepang.
Sebaliknya, Indonesia — dan India serta China — lebih banyak dihuni oleh populasi yang baru tumbuh kembang. Golden age population, atau bahkan banyak ahli ekonomi kependudukan menyebutnya sebagai bonus demografi.
Komposisi penduduk Indonesia, yang saat ini sekitar 240 juta jiwa, didominasi oleh kelompok usia produktif (15-64 tahun) sekitar 44,98%. Bonus demografi ini akan dinikmati setidaknya hingga mencapai puncaknya pada 2030 mendatang.
Apa implikasinya bagi perilaku etnografis mereka? Yang satu perilakunya menabung untuk membiayai pensiun, satunya lagi doyan belanja alias komunitas konsumtif.
Tapi mengapa market Indonesia ikutan turbulens?
Saya kira bisa perlu perspektif yang berbeda: soal persepsi. Ekonomi erat kaitannya dengan persepsi. Krisis 1997/1998 meledak ketika seorang petinggi Bank Dunia, pada akhir 1997, bilang “this is the vote of no confidence” bagi Indonesia.
Apa dia bilang? Ini mosi tidak percaya atau krisis kepercayaan terhadap Indonesia. Maka jatuhlah riwayat macan baru Asia ketika itu. Modal asing lari, rupiah jatuh, bank-bank kollaps dan memicu krisis lebih parah lagi: krisis sosial dan politik. Rezim Soeharto jatuh.
Detonator atau pelatuk awalnya adalah persepsi bahwa Indonesia sama dengan emerging markets yang lain, seperti Thailand, yang ekonomi dan mata uangnya rentan.
Krisis 2008 juga kurang lebih sama. Kejatuhan Lehman Brothers di Amerika telah memicu persepsi negatif bahwa perbankan Indonesia yang memiliki portofolio di negeri Paman Sam bakal terkena imbasnya. Jatuhlah pasar keuangan kita.
Tahun ini, persepsi negatif muncul bermula dari sabda bank sentral AS yang hendak memperketat pelonggaran kuantitatif sejak beberapa tahun lalu. Meski baru rencana, pelaku pasar mempersepsikan akan menjadi bencana, karena dana asing yang selama ini mampir di Indonesia bakal pulang kampung ke negeri asalnya.
Apalagi, kebetulan pula, struktur ekonomi Indonesia sedang timpang oleh defisit neraca pembayaran, neraca modal, neraca perdagangan dan defisit anggaran. Klop sudah.
Maka, indeks saham seperti roller coaster dan rupiah terus tertekan. Ada yang memperkirakan rupiah bakal sampai 12.000 per dolar AS beberapa bulan ke depan.
Apa pemicunya? Ini yang belum muncul atau belum dimunculkan. Dan moga-moga tidak benar-benar muncul dan tidak ada pemicunya. Kuncinya hanya satu: Perlu resep kebijakan yang tepat.
Maka, ekspektasi tidak akan terjadi krisis itulah yang diharapkan benar-benar menjadi self fulfilling prophecy.
Itu pula yang kita harapkan dari para pembuat kebijakan dan pelaku pasar maupun pelaku bisnis.
Apa dasarnya?
Karakter ekonomi kita yang berbeda. Ekonomi yang digerakkan kaum muda, the strivers, berdaya beli tinggi. Jumlahnya hampir separuh penduduk Indonesia. Jumlah mereka bertambah 7 juta lebih setiap tahun. Dan mereka doyan belanja.
Ini yang sebenarnya menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak dihela oleh konsumsi masyarakat.
Perbedaan itulah yang menentukan. Maka resep survive dan tumbuh hanya tiga: pekerjaan, pekerjaan dan pekerjaan. Resep itu ditemani tiga karakter kuat berikutnya: belanja, belanja dan belanja.
Oleh karena itu formulanya harus tepat: Berikan lapangan kerja, maka akan memelihara daya beli untuk tetap belanja.
Inilah saya kira, cara membaca situasi saat ini, supaya turbulensi pasar keuangan tidak menjalar ke krisis ekonomi yang lebih luas.
Saya jadi ingat nasehat orang tua di kala kecil dulu: Rajinlah menabung karena hemat itu pangkal kaya.
Tapi saya jadi mikir lagi, nasehat itu perlu disesuaikan untuk situasi saat ini; ternyata konsumtif itu menyehatkan ekonomi kita. Bagaimana menurut Anda?
sumber: bisnis.com