BERTUAHPOS.COM – Kondisi ekonomi saat ini ternyata mengingatkan kondisi pada kondisi perekonomian tahun 1998 dan 2008. Di mana, pada saat itu, Indonesia mengalami krisis ekonomi akibat dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta terjun bebasnya pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Â
Saat ini pun tidak berbeda jauh. Pada Senin, (19/8), IHSG ditutup melemah 255,14 poin atau 5,58 persen ke level 4.313. Sedangkan pada Selasa (20/8), IHSG kembali ditutup anjlok 138,54 poin atau 3,21 persen ke level 4.174. Pada Rabu (21/8), IHSG bergerak naik 43,47 poin atau sebesar 1,04 persen menjadi 4.218.
Â
Pun pada Rupiah. Pada Senin, nilai tukar Rupiah berada di level Rp 10.392 per USD. Angka ini terus melemah hingga kemarin, Rupiah ditutup pada level Rp 10.723 per USD.
Â
Kondisi perekonomian saat ini disinyalir akibat adanya kebijakan dari bank sentral Amerika yang melakukan pengetatan terhadap pengeluaran obligasi besar-besaran atau quantitative easing. Pengetatan tersebut karena ekonomi AS mulai menunjukkan pemulihan dari krisis yang sempat melanda negeri tersebut sejak 2008 lalu.
Â
Krisis ekonomi yang terjadi pada AS tersebut berdampak buruk terhadap perekonomian dunia. Pasalnya, AS dinilai menjadi salah satu poros perekonomian dunia.Â
Â
Walaupun begitu, pemerintah meyakinkan krisis ekonomi tersebut tidak terlalu berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia. Hingga saat ini, saat IHSG dan Rupiah melorot.
Â
Menteri Keuangan Chatib Basri menilai kondisi buruknya pasar keuangan saat ini sangat jauh berbeda dibandingkan dengan kondisi krisis tahun 1998 dan 2008.
Â
“Dibanding tahun 1998, itu jauh lebih berat yang krisis 1998. Jadi jangan samakan kondisi perekonomian sekarang dengan apa yang terjadi pada krisis 1998 dan 2008 juga,” kata dia di Jakarta, Kamis (22/8) malam.
Â
Tahun 1998 menjadi saksi bagi tragedi terkelam perekonomian bangsa. Keadaan berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Â
Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Krisis ini juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Â
Selama periode sembilan bulan pertama di 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling ricuh dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997, berkembang memburuk dalam waktu cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat khususnya dunia usaha.
Â
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan Rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Â
Tak ayal terjadi permintaan penurunan kepala pemerintahan yang saat itu dipimpin Soeharto. Gelombang penolakan terjadi sangat masif. Pemerintah dianggap gagal dalam menjaga stabilitas negara. Kerusuhan hingga penjarahan terjadi dimana-mana. Ini sebagai akibat tingginya harga barang yang tak tergapai oleh masyarakat.
Â
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar Baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Â
Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Devaluasi Baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Â
Kembali ke 2013, saat ini, Thailand juga resmi mengumumkan bahwa negaranya sedang mengalami krisis. Ini ditandai dengan pelemahan mata uang Bath terhadap dolar AS.Â
Â
Namun tetap, menteri keuangan yang juga menjabat kepala BKPM tersebut, mengklaim kondisi saat ini sangat berbeda dari kondisi 1998. Walaupun tahun 1998, krisis ekonomi yang melanda Indonesia disebabkan karena devaluasi mata uang Bath, Indonesia belum berdampak adanya krisis perekonomian saat ini.Â
Â
Menurut Chatib, kondisi ini lebih disebabkan adanya langkah penghentian quantitative easing yang menyebabkan negara-negara berkembang seperti Thailand dan India juga ikut terdampak. Selain itu, dari domestik juga dipengaruhi kondisi defisit transaksi berjalan yang melonjak mencapai 4,4 persen dari PDB pada kuartal kedua tahun 2013.
Â
“Orang sering samakan situasi dengan krisis 1998. Tiap periode beda. 2008 juga beda. Yang penting bukan Thailand kena.
Â
Tapi cuttering off AS juga. Karena yang dihadapi situasi ekonomi global yang engga bersahabat dengan negara kita. Yang jauh lebih besar itu cuttering off AS. Bisa datang dari Thailand, India, mana saja. Kita harus tunjukkan kita beda. Kita kan fiskal defisit kecil 2,4 persen dari PDB. India defisit transaksi berjalannya diatas 8 persen, defisit lebih besar. Kita sama india struktur defisit beda,” kata dia.
Â
Pada awal tahun 1998, Rupiah terjun bebas hampir mencapai Rp 17.000 per dolar AS. Pelemahan tersebut jauh meningkat yang pada akhir 1997 di mana nilai tukar Rupiah hanya bergerak di kisaran Rp 4.850 per dolar AS.
Â
Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dolar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Â
Anjloknya Rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok. Bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Â
Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau bangkrut.
Â
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Â
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara para masyarakat kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Â
Pendapatan per kapita yang mencapai USD 1.155 per kapita tahun 1996 dan USD 1.088 per kapita tahun 1997, menciut menjadi USD 610 per kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Â
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi minus 7,9 persen pada kuartal I 1998, minus 16,5 persen kuartal II 1998, dan minus 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Â
Di pasar modal, IHSG anjlok ke titik terendah, 292,12 poin pada tahun 1998 dari 467,339 pada semester satu tahun 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 triliun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Â
Chatib menjelaskan pada tahun 1998, kredit macet (non performing loan/NPL) mencapai 30 persen. Sedangkan, saat ini NPL masih berada dikisaran lima persen. “Tahun 1998 NPL itu 30 persen. Sekarang itu NPL dibawah 5 persen bank relatif aman dengan LDR diatas 100 persen. Kemudian krisis 1998 orang tidak terbiasa dengan fluktuasi karena exchange rate diatur. Sekarang orang sudah terbiasa,” kata dia.
Â
Selain itu, pada tahun 1998 juga diperparah dengan adanya kondisi politik yang memanas yang membuat investor masih enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Â
Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak di luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar segera membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar USD 9,8 miliar utang jangka pendek pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap Rupiah terus berlanjut.
Â
Berbeda dengan krisis ekonomi 1998, krisis ekonomi 2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia.Â
Â
Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar USD 2,2 miliar pada tahun 2008.
Â
Selain itu, nilai tukar Rupiah memang bergerak relatif stabil sampai pertengahan September 2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta kebijakan makroekonomi hati-hati.Â
Â
Namun sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711 per dolar AS pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048.
Â
Krisis global membuat daya beli masyarakat di setiap negara pada umumnya menurun. Depresiasi tidak serta merta membuat ekspor Indonesia meningkat justru yang terjadi penurunan.Â
Â
Berdasarkan laporan BPS awal Maret 2009, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7 persen dibandingkan nilai ekspor pada Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008, nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36 persen.
Â
Sementara inflasi pada krisis ekonomi 2008 sempat mencapai level 12,14 persen pada bulan September. Inflasi tersebut didorong dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM subsidi. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga komoditi yang menurun dan penurunan harga subsidi BBM.
Â
Kondisi saat ini ialah ekspor menurun diikuti oleh meningkatnya neraca transaksi berjalan Indonesia. Harga barang melonjak akibat kebijakan penyesuaian harga BBM pada Juli lalu. Salah satu yang fenomenal ialah harga daging sapi yang menjadi Rp 120.000 per kilogram dan belum kembali ke harga normal saat ini.
Â
Kembali menteri keuangan meyakinkan bahwa langkah penaikan harga BBM merupakan langkah tepat. Sebab, penaikan harga BBM membuat kinerja impor migas menyusut. Anggaran pemerintah pun bisa diselamatkan dari beban subsidi dan dialihkan ke pembangunan lain.
Â
Kondisi saat ini juga membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak tinggal diam sebagai lembaga modal yang menaungi pasar modal Indonesia.
Â
OJK melakukan pertemuan dengan beberapa pelaku pasar modal (perusahaan efek dan analis pasar modal), industri keuangan non-bank (perusahaan asuransi dan dana pensiun), serta pemodal kelembagaan domestik di pasar modal Indonesia.
Â
Dari pertemuan tersebut, OJK dan para pelaku industri jasa keuangan yang hadir mempunyai komitmen yang sama untuk terus menjaga kredibilitas serta turut berkontribusi terhadap upaya peningkatan ketahanan industri dari goncangan yang berasal dari internal maupun internal.
Â
Mendapat penjelasan dan keyakinan yang begitu besar dari pelaku sektor jasa keuangan yang hadir, Ketua DK OJK Muliaman D. Hadad mengatakan bahwa setiap pihak yang terlibat di industri jasa keuangan Indonesia bertugas untuk bersama-sama mendorong dan mengembangkan pasar yang sehat dan stabil.
Â
“Stabilitas dan kredibilitas industri keuangan harus dijaga bersama,” ujar Muliaman.
Â
Adapun pelaku industri sektor jasa keuangan yang hadir menginformasikan kesiapan mereka dalam mengevaluasi sekaligus mengantisipasi perkembangan yang ada. Dari hasil evaluasi tersebut mereka meyakini bahwa kondisi pasar modal saat ini adalah sesuatu yang wajar dan merupakan bagian dari dinamika pasar.
Â
Pelaku industri keuangan non-bank sendiri sebagai representasi dari pemodal kelembagaan di pasar modal Indonesia berkeyakinan bahwa kondisi saat ini bersifat sementara (temporary) dan tetap mempunyai optimisme akan adanya perbaikan.
Â
Mayoritas pemodal kelembagaan besar seperti Jamsostek, Taspen, AXA Mandiri dan beberapa Dana Pensiun tetap konsisten menjalankan kebijakan investasi jangka panjangnya bahkan melihat adanya peluang untuk meningkatkan portofolio investasi mereka di pasar modal Indonesia.
Â
(merdeka.com)