BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Pada periode tahun 1920-an, terjadi pertentangan tajam antara kaum Islam tradisionalis dan kaum Islam modernis.
Harry Jindric Benda dalam bukunya The Crescent and The Rising Sun (1938) menuliskan pertentangan tajam ini disebabkan oleh kaum modernis yang mempertanyakan kompetensi kyai dalam memutuskan hal-hal yang bersifat doktrinal dan keagamaan. Mereka juga mempertanyakan budaya santri berbeda dengan kyai.
Lebih lanjut, Benda menuliskan organisasi kaum modernis telah mengancam basis ekonomi pondok pesantren dan kyai pengasuhnya. Kaum modernis berhasil menggaet para tuan tanah dan pedagang kaya, yang sebelumnya merupakan pendukung keuangan para kyai.
Hal ini dianggap para kyai sebagai ancaman yang menjauhkan para kyai dari umat yang dipimpinnya.
Penulis lain, Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2003) menuliskan dalam Kongres al-Islam pada tahun 1922, yang terjadi malah saling hujat antara kaum tradisionalis dan kaum modernis. Padahal, kongres ini dihadiri organisasi besar Islam.
Kaum modernis menuduh kaum tradisionalis dengan tuduhan musyrik. Kaum tradisionalis menuduh kaum modernis dengan tuduhan kafir. Kaum tradisionalis walk out dari kongres dan menyimpan kecurigaan kuat terhadap kaum modernis. Kaum tradisionalis juga menolak menghadiri kongres selanjutnya.
Tahun 1926, dengan berkuasanya Ibnu Saud di Arab Saudi, pertentangan dua kaum ini semakin memuncak. Kaum modernis menyambut baik berkuasa Ibnu Saud yang menganut aliran Wahabi. Namun, kaum tradisionalis khawatir Ibnu Saud akan membatasi ritual dan praktik Mazhab Syafi’i.
Kaum tradisionalis semakin merasa ditinggalkan, karena kaum modernis tidak mendukung usulan mereka untuk mendesak Ibnu Saud menjamin kebebasan cara beribadah semua golongan muslim di Mekkah. Kaum tradisionalis juga kecewa saat kaum modernis tak mencantumkan mereka dalam delegasi Hindia Belanda dalam Muktamar Dunia Islam di Hijaz.
Dari sini, kaum tradisionalis meyakini bahwa mereka membutuhkan suatu utusan sendiri untuk menyampaikan pendapat mereka. Wahab Hasbullah, atas persetujuan KH Hasyim Asy’ari kemudian mengundang ulama ke Surabaya di akhir Januari 1926.
Tujuan mereka adalah untuk mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Hijaz, yang akan menyampaikan pandangan kaum tradisionalis. Sebagai perwakilan Islam tradisional, dibentuk Nahdlatul Ulama sebagai wadahnya.
Maka, pada 31 Januari 1926, berdirilah Nahdlatul Ulama (NU), dengan KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin dengan gelar Rais Akbar, dikutip dari Tirto.id. (bpc4)