BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Senarai menilai putusan perkara lingkungan hidup 12 kabulaten/kota di Riau sepanjang 2020 layak diapresiasi.
Hal itu lantaran putusan majelis hakim yang dipantau oleh Senarai dalam perkara Karhutla, yang melibatkan korporasi perkebunan Sawit—PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS), PT Adei Plantation and Industry di PN Pelalawan dan PT Teso Indah (TI)—di PN Rengat membuka tabir bobroknya pengawasan lingkungan hidup yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Karhutla terjadi salah satu penyebabnya karena lemahnya pengawasan pemerintah daerah,” kata Suryadi, Peneliti Senarai dalam keterangan resminya yang diterima Bertuahpos.com, Selasa, 12 Januari 2021.
Dia menuturkan, dalam tiga putusan itu hakim menemukan; pertama, dalam putusan PT SSS, Majelis hakim berpendapat, kebakaran di lahan PT SSS jadi pembelajaran bagi pemerintah daerah yang telah mengeluarkan izin lingkungan agar selalu mengawasi di lapangan secara periodik dan berkala.
“Bukan hanya berdasarkan laporan namun terus terjadi kebakaran di lahan-lahan baru. Pencegahan kebakaran harus dikedepankan dan dapat dioptimalkan. Perizinan bukan formalitas tapi substansi dan implementasinya,” kata Ketua Majelis Hakim Bambang Setyawan.
Kedua, dalam putusan PT TI, Hakim berkeyakinan bahwa perusahaan tidak menaati dan menjalankan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan upaya perlindungan lahan konsesi yang diberi izin pemerintah.
Ketiga, dalam putusan PT Adei Plantation Industri, Ketua Majelis Hakim, Babang Setyawan menyatakan, perkara ini harus jadi pelajaran kita semua, khususnya pemerintah daerah dan kementrian yang mengeluarkan izin lingkungan, selalu melakukan pengawasan ke lapangan secara periodik dan berkala. Tidak hanya berdasarkan laporan atau setelah terjadinya kebakaran.
Semua pihak harus lebih pro natura dan pencegahan kebakaran lebih dikedepankan, sehingga perizinan bukan hanya formalitas, tetapi pada substansi, implementasi dan evaluasinya.
Senarai menghitung masalah lingkungan hidup 12 kabupaten/kota di Riau, tahun 2020. Rujukannya berdasarkan, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) 11 pengadilan tingkat pertama di Riau.
Untuk diketahui, perkara-perkara dari Kabupaten Kepulauan Meranti masih diadili di Pengadilan Negeri Bengkalis. Ada 18 klasifikasi perkara pidana lingkungan hidup yang ditinjau.
Berdasarkan jumlah perkara, Kuantan Singingi dan Rokan Hilir, wilayah paling buruk kualitas lingkungan hidupnya dengan jumlah masing-masing 22 perkara.
Selanjutnya Indragiri Hulu dan Bengkalis 20 perkara, Pelalawan dan Pekanbaru 17 perkara, Kepulauan Meranti 9 perkara, Siak 8 perkara, Indragiri Hilir 5 perkara, Kampar dan Dumai 4 perkara.
Hanya Rokan Hulu yang tidak ada perkara lingkungan hidup pada tahun tersebut. Namun, bila ditinjau dari jenis-jenis perkara lingkungan hidupnya, Pelalawan lebih banyak masalah lingkungannya.
Antara lain, hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup; kebakaran hutan; kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan (mineral, batu bara), minyak dan gas bumi; konservasi sumber daya alam; penebangan kayu dan satwa liar (penangkapan, perdagangan, dll).
Selanjutnya, Pekanbaru, dengan masalah lingkungan, kebakaran hutan; kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan (mineral, batu bara), minyak dan gas bumi; penangkapan ikan (dengan racun, bahan peledak/bom ikan) dan penebangan kayu serta satwa liar (penangkapan, perdagangan, dll).
Lalu, Indragiri Hulu, dengan masalah lingkungan, kebakaran hutan; kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan (mineral, batu bara), minyak dan gas bumi; konservasi sumber daya alam dan penebangan kayu.
Kemudian, Kuantan Singingi, Rokan Hilir dan Bengkalis, sama-sama punya 3 masalah lingkungan. Antara lain, kebakaran hutan; penebangan kayu dan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Bedanya, Kuantan Singingi tak punya masalah KSDA tapi banyak masalah kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan (mineral, batu bara), minyak dan gas bumi.
Tiga kabupaten lainnya juga punya dua masalah lingkungan. Kepulauan Meranti, kebakaran hutan dan penebangan kayu. Indragiri Hilir, hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup serta kebakaran hutan. Kampar, hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dan penebangan kayu.
Terakhir, Siak, punya masalah kebakaran hutan, sementara Dumai, masalah penebangan kayu. Hanya Rokan Hulu, tak ada masalah lingkungan hidup selama 2020.
“Harusnya perkara korporasi karhutla jauh lebih banyak dibanding perkara individu, sebab sepanjang 2015-2020 saja dominan areal korporasi terbakar luas,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Analisis Jikalahari melalui Satelit Terra Aqua Modis sepanjang 2015 – 2020 terdapat 16.546 titik hotspot di areal korporasi, 6.040 titik dengan confidance di atas 70%.
Perusahaannya adalah PT Sumatera Riang Lestari 555 titik. PT RAPP 371 titik, PT Satria Perkasa Agung 260 titik, PT Rimba Rokan Lestari 251 titik, PT Ruas Utama Jaya 124 titik, PT Surya Dumai Agrindo 179 titik, PT Palma Satu 143 titik, PT Agroraya Gematrans 123 titik, PT Alam Sari Lestari 80 titik, PT Sumber Sawit Sejahtera 61 titik, PT Gelora Sawit Makmur 55 titik, PT Teso Indah 41 titik dan PT Teguh Karsa Wana Lestari 39 titik.
Temuan Jikalahari hasil investigasi 2019 dan 2020 menemukan 13 korporasi sengaja biarkan lahannya dibakar. Perusahaannya adalah PT Sumatera Riang Lestari, PT Surya Dumai Agrindo, PT Arara Abadi Siak, PT Teguh Karsa Wana Lestari, PT RAPP Siak, PT Gelora Sawita Makmur, PT Sumber Sawit Sejahtera, PT Arara Abadi Sorek, PT Tabung Haji Indo Plantation, PT Teso Indah, PT Adei Plantation dan Industri, PT RAPP Pelalawan dan PT Sumatera Riang Lestari Inhil.
“Hakim sudah progresif. Artinya kasus yang melibatkan korporasi dihukum dalam perkara karhutla. Lalu mengapa Polda Riau hanya sedikit menangani perkara korporasi karhutla?” Kata Made Ali. (bpc2)