BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Gubernur Riau Syamsuar berbicara mengenai pemanfaatan kawasan hutan dan kemandirian ekonomi masyarakat. Ironisnya, sikap itu baru ditunjukkan di saat sisa luasan hutan di Riau semakin menipis.
Syamsuar berharap kebijakan pemerintah dalam memberikan akses kepada masyarakat terkait pemanfaatan kawasan hutan dapat mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat melalui skema perhutanan sosial. Hal itu dia ucap saat penandatanganan nota kesepahaman pengelolaan kawasan hutan antara Pemda dengan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), 4 November 2020.
“Potensi pembangunan akan terus dikembangkan oleh pemerintah dengan mengedepankan peran aktif masyarakat. Sebagai contoh dalam pemanfaatan kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial masyarakat diberikan kesempatan mengelola lahan di dalam hutan untuk menunjang perekonomian,” tuturnya.
Dia mengklaim pemerintah sangat konsen dengan program berkaitan perhutanan sosial, hal itu menurut Syamsuar dibuktikan dengan dikeluarkannya SK Perhutanan Sosial oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pemprov Riau akan meminta peran Babinsa dan Babinkamtibmas untuk bantuan sekaligus juga melihat sejauh mana perkembangan tindak lanjut skema Perhutanan Sosial Presiden Jokowi, sejalan dengan model pemanfaatan kawasan hutan yang semestinya
“Harapan kita sesuai apa yang diharapkan bapak Presiden terhadap hutan sosial yang telah diberikan ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.
Luasan Hutan di Riau Kian Menipis
Berdasarkan analisis Jikalahari, sisa luasan hutan alam di Riau hanya tinggal 1.442.669 hektare. Jumlah ini jelas saja menyusut dari sebelumnya, berdasarkan pencatatan pengukuran luas hutan alam provinsi itu tahun 1982 seluas 6.727.546 hektare. Data itu didapat Jikalahari melalui Citra Landsat 8-OLI dan Sentinel-2.
Koordinator Jikalahari Made Ali menjelaskan, faktor utama menipisnya luasan hutan disebabkan meningkatnya deforestasi. Jumlahnya bahkan mencapai tiga kali lipat dibandingkan tahun 2018.
Peningkatan deforestasi — hilangnya hutan akibat kegiatan manusia — justru dilakukan oleh korporasi HTI, perkebunan sawit, dan cukong-cukong yang merambah kawasan hutan lindung, konservasi, dan taman nasional.
Jikalahari mencatat bahwa penguasaan korporasi terhadap hutan alam di Riau mencapai 2,1 juta hektare, seperti APP dan April Grup.
Menurut Made, deforestasi terjadi karena ada korupsi, pembakaran hutan, dan lahan yang faktanya memang terjadi di kawasan hutan, bahkan di kawasan yang menjadi zona lindung untuk resapan air.
Jika mengulik kembali hasil temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Provinsi Riau pada 2015 ada, maka 1,8 juta hektar sawit ilegal yang terbagi dalam 378 perusahaan. Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp24 triliun, hanya baru Rp9 triliun yang mengalir ke kas negara.
Dampak nyata dari deforestasi, Riau berada dalam ancaman bencana mengalami banjir longsor dan kekeringan, sebagai dampak bencana hidrometeorologi — suatu fenomena alam yang terjadi berkaitan dengan lapisan atmosfer, hidrologi, dan oseanografi yang berpotensi membahayakan, merusak, dan menyebabkan hilangnya nyawa penduduk.
Menurut Made, satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menghentikan ancaman hidrometerologi yaitu dengan menghentikan kerusakan hutan alam, memulihkan dan mengembalikan fungsi hutan sebagai habitat satwa. “Serta memelihara keanekaragaman hayati di dalamnya,” tuturnya. (bpc2)