BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Candi Muara Takus di Kampar, Riau, tidak semegah namanya. Cagar budaya peninggalan Kerajaan Sri Wijaya ini diklaim oleh tiga provinsi — Riau, Sumsel, dan Jambi. Hal inilah salat satu contoh nyata kelemahan itu.
Menurut Dr Musnar Indra Daulay dosen Ilmu Sejarah Universitas Pahlawan Kampar, kelemahan itu begitu terasa hingga saat ini. Bahkan, hanya segelintir generasi muda di Riau yang mungkin mengetahui tetang Candi Muara Takus di Kampar.
“Sejarah lokal kita lemah. Generasi muda tidak mengenal sejarah dan lingkungannya. berapa persen anak Riau yang tahu keberadaan candi Muara Takus,” kritiknya saat berbincang dengan Bertuahpos.com dalam sebuah diskusi.
Saat ini, ada banyak keyakinan bahwa kemegahan dan keperkasaan candi itu jauh lebih besar dari apa yang ada saat ini. “Kalau Muara Takus berhasil digali, tidak menutup kemungkinan lebih besar dari Borobudur,” sambungnya.
“Tapi situsnya kan ditenggelamkan dengan dalih PLTA. Kita hanya diam. Mana budayawan Riau kala itu?” sesal lelaki asli Padangsidempuan lulusan FKIP Sejarah Unri 2004 ini.
Menurut Musnar, apa yang terjadi pada Candi Muara Takus pada masa lalu cukup membuktikan bahwa kaus sejarawan, pemerintah dan penggiat sejarah lainnya sangat lemah.
Kondisi ini harusnya menjadi koreksi bersama bahwa itu merupakan kelemahan Indonesia, jika dibandingkan dengan negara lainnya, dalam hal menjaga cagar budaya.
Selain itu, jika dilihat dari dukungan akademisi juga minim. Bisa dilihat hanya beberapa kampus di Tanah Air yang menyediakan jurusan-jurusan terkait arkeologi.
“Ya itu memang kekurangan kita di Indonesia, kampus yang memfasilitasi jurusan arkeologi hanya ada enam, artinya arkeolog di Indonesia langka!,” kata Arkeolog Universitas Indonesia Ali Akbar saat dihubungi Bertuahpos.com via seluler, akhir September 2020 lalu.
Secara geografis, di Indonesia hanya menyediakan jurusan arkeologi. Tiga di Jawa (UI, UGM, dan Universitas Udayana), dua di Sulawesi (Unhas, Universitas Halu Uleo), dan satu di Sumatera (Universitas Jambi). Namun semuanya masih PTN.
“Padahal Indonesia punya banyak situs bersejarah,” tambah lelaki yang pernah meneliti Muara Takus 10 tahun lalu ini. (bpc5)