BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Perdagangan awal kayu cendana di Indonesia, berdasarkan catatan Dinasti Yuan, abad ke-12 dan ke-13, Hsing-cha Shenglan pada tahun 1436 sewaktu Dinasti Ming.
DIa menggambarkan gunung-gunung di pulau Timor seperti ditutupi oleh pohon-pohon cendana, dan daerah ini tidak menghasilkan kayu lain, selain kayu cendana.
Pada abad ke-15, Cina memperoleh kayu cendana melalui pasar Malaka. Pasar Cina mengalami masa suram pada awal tahun 1800 karena persaingan kayu cendana dari India dan dengan adanya penebangan yang ekstentif di Kepulauan Pasifik.
Pasar Cina mulai baik tahun 1890 dan 1900, karena pasokan Pasifik mengalami penurunan, terutama Kepulauan Hawai dan Marquesa kehilangan semua pohon cendananya dalam beberapa tahun; dan tambahan lagi, dan permintaan dari Eropa meningkat.
Semenjak tahun 1436, Pulau Timor terkenal dengan produksi kayu cendana. Kayu cendana merupakan komoditas ekspor yang diminati pedagang Tiongkok.
Begitu pula pedagang Portugis yang banyak membeli kayu cendana semenjak tahun 1512 dari pulau yang sama. Timor dan Portugis sudah lama membina hubungan baik.
“Hubungan awal dengan Timor, terkait dengan kayu cendana. Ada kelompok-kelompok tertentu di pulau-pulau pasifik, Madagaskar, India, Australia, Pulau Timor, Sumba, dan Solor menjadi habitat kayu cendana putih paling tinggi mutu dan banyak peminatnya. Sebelum sumber daya alam ini berkurang besar-besaran di abad 19,” kata Geoffrey C Gunn penulis buku 500 tahun Timor Loro Sae (2005).
Kata Gunn para sarjana Belanda menyatakan masa kekaisaran Sriwijaya di Sumatera (sekitar abad 10), kayu cendana dari Timor diangkut ke kawasan selat Melaka, melalui jalur perdagangan yang dikontrol angin barat ke India dan Cina. Sayang itu cerita lalu.
Apalagi setelah pisahnya Timor tahun 1999 dari pangkuan Indonesia. Praktis Timor harus berjuang menentukan masa depannya di kancah internasional. Ketika ada sinyal Timor ingin bersatu dengan Indonesia, bernilai positif untuk Indonesia?
“Saya pikir itu lebih banyak mudhoratnya. Jadi adanya keinginan bergabung sebaiknya ditolak. Hampir semua aspek nilai strategisnya tidak menguntungkan. Sebaliknya beban ekonomi yang kita akan tanggung ke depan. Apalagi ketika Timtim memilih pisah dari Indonesia tempo hari itu melukai masyarakat Indonesia yang lain. Dimana mereka sudah membangun persaudaraan dengan orang Timtim, tapi tidak bersahabat,” kata Dr Andi Yusran pengamat politik dari Universitas Nasional Jakarta. (bpc5)