Oleh: Listi Mora Rangkuti, S.S.
Pendamping PKH Kementerian Sosial RI
Pandemi virus korona yang melanda dunia belum berakhir. Tidak hanya pola hidup masyarakat saja yang berubah, bahkan seluruh sistem yang mengatur seluruh sendi kehidupan ikut berubah. Perubahan drastis ini bisa dilihat pada sendi pendidikan, khususnya sendi pendidikan di Indonesia.
Dikutip dari sebuah berita online Kompas.com pada 22/08/2020 mengisahkan tentang sekelompok anak-anak di NTT yang tidak bisa merasakan sentuhan pendidikan secara daring selama masa pandemi berlangsung. “Kami di sini bingung itu internet apa, hanya tahu nama saja. Modelnya seperti apa tidak tahu. Bagaimana mau tahu, handphone kami tidak punya. Di sini juga listrik dan sinyal tidak ada,” tutur Velisia kepada wartawan.
Selain berita di atas, sebuah berita mengejutkan lainnya berisi tentang kisah seorang bapak di Garut yang mencuri ponsel agar anaknya yang duduk di bangku SMP tersebut bisa ikut serta belajar daring (liputan6.com dikutip pada 22/08/2020). Begitu juga kisah seorang bapak yang rela mencuri laptop untuk memenuhi kebutuhan anaknya saat belajar daring (kaltengpos.co dikutip pada 22/08/2020).
Beberapa kisah di atas menjadi sebuah fenomena kecil di antara banyaknya kisah serupa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada masa sekarang berkat tuntutan belajar daring. Bahkan, polemik yang terjadi karena tuntutan sekolah daring juga memberikan efek terhadap kelangsungan sekolah, khususnya sekolah-sekolah swasta karena biaya operasional sekolah tetap harus ditunaikan sedangkan pemasukan minim.
Jika ditelusuri lebih jauh, polemik juga dirasakan oleh para tenaga pendidik. Tentu saja situasi yang tidak biasa di masa pandemi ini, membuat para guru tidak bisa lebih leluasa mendidik para peserta didik lewat daring. Selain keterbatasan kuota, guru juga merasakan banyak keterbatasan saat harus mengunjungi siswa dari rumah ke rumah.
Model pendidikan daring diberlakukan oleh pemerintah sejak masa pandemi. Oleh sebab itu, banyak sekali persoalan yang terus berantai. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa jauh sebelum masa pandemi, permasalahan pendidikan telah lama menjamur di negeri ini. Permasalahan utama di bidang pendidikan dipicu oleh berbagai faktor, namun faktor biaya merupakan masalah utama. Perlengkapan sekolah, buku-buku pelajaran, sarana-prasarana, dan SPP menjadi sebuah kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat jika memilih untuk bersekolah.
Seperti dikutip dalam cpps.ugm.ac.id bahwa Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, mengumumkan hasil penelitian Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Ada temuan menarik. Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus keterampilan lainnya.
Munculnya permasalahan di atas merupakan gambaran beban yang harus dipikul oleh masyarakat untuk memenuhi impian wajib belajar 12 tahun. Ditambah lagi kondisi pandemi setahun terakhir ini, cukup membuat masyarakat merasa terpukul, sementara tuntutan pendidikan wajib dipenuhi.
Berangkat dari maraknya persoalan-persoalan di atas, lantas, sudah merdeka belajarkah bangsa kita pada hari ini?
Konsep Merdeka Belajar
Perhatian khusus yang diberikan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, terhadap para guru diaplikasikan melalui kebijakan “Merdeka Belajar”. Merdeka Belajar menjadi salah satu program untuk menciptakan suasana belajar di sekolah yang bahagia bagi peserta didik maupun para guru sebagai upaya mewujudkan SDM Indonesia yang berkualitas. Dikutip dari gtk.kemdikbud.go.id, program pendidikan “Merdeka Belajar” meliputi empat pokok kebijakan, antara lain: 1) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN); 2) Ujian Nasional (UN); 3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaan (RPP), dan 4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi.
Lahirnya kebijakan “Merdeka Belajar” merupakan sebuah gagasan hebat dan layak untuk diterapkan di tengah-tengah pendidikan di negeri ini. Akan tetapi, kebijakan “Merdeka Belajar” masih terpusat pada kemudahan-kemudahan yang akan diterima oleh para guru dan peserta didik saja. Kemudahan ini pun masih bersifat pada proses belajar-mengajar dan belum menyentuh seluruh aspek untuk memudahkan proses di bidang pendidikan Masih ada satu hal yang seharusnya menjadi bagian penting dari konsep “Merdeka Belajar”. Kebijakan “Merdeka Belajar” apakah yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini? Tentu saja kebijakan “Merdeka Belajar” dalam bentuk merdeka dari biaya pendidikan. Sudah sepantasnya di negeri yang kaya akan SDA ini memfasilitasi seluruh peserta didik dengan pendidikan gratis. Jika pendidikan gratis telah dilaksanakan, maka permasalahan biaya tidak lagi menjadi pemicu tingginya angka putus sekolah di Indonesia.
Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa sesungguhnya seluruh elemen masyarakat membutuhkan kondisi yang benar-benar “Merdeka Belajar” dari segala aspek. Konsep “Merdeka Belajar” seharusnya menjadi kado terbaik pada usia Kemerdekaan RI ke-75 ini.
Gelora Budaya Dalam Upaya Mewujudkan SDM Berkualitas
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki khazanah budaya yang tercermin dalam kearifan lokal dan spiritual masyarakat. Budaya yang paling fundamental tersebut adalah budaya gotong-royong. Tentu saja budaya gotong-royong ini muncul karena adanya rasa tepa salira yang telah mendarah daging sejak dari nenek moyang kita dahulu.
Sebagai upaya untuk mewujudkan “Merdeka Belajar” yang memberikan kemerdekaan penuh dalam semua aspek pendidikan, pemerintah bisa menggelorakan budaya gotong-royong dengan masyarakat. Tentu saja gerakan gotong-royong yang dimaksud adalah bentuk kerja sama dan kepedulian semua pihak dalam mengentaskan permasalahan pendidikan. Dengan demikian, seluruh permasalahan yang diuraikan di atas, bisa diatasi dengan solusi sebagai berikut:
- Pemerintah membuat kebijakan untuk menanggung biaya pendidikan peserta didik, kemudian pemerintah menggandeng perusahaan dalam mengalokasikan dana CSR untuk berpartisipasi dalam membangun infrastruktur pendidikan.
- Setiap peseta didik diberikan insentif pendidikan sebagai motivasi untuk menanamkan semangat belajar.
- Setiap peserta didik secara otomatis diberikan fasilitas kesehatan gratis
- Pemerintah harus menambah fasilitas berupa pengadaan buku gratis dalam bentuk book, maupun dalam bentuk e-book.
- Bersama-sama dan bergotong royong dengan masyarakat membangun Taman Baca Masyarakat (TBM) yang ramah anak dan ramah lingkungan di setiap desa atau lingkungan RW agar literasi masyarakat Indonesia meningkat tajam.
- Metode pembelajaran difokuskan pada metode andragogi, yaitu metode belajar orang dewasa. Artinya, pembelajaran di sekolah tidak lagi fokus pada guru (teacher oriented), tetapi peserta didik dibimbing agar memiliki kesadaran penuh untuk belajar dan mengeksplorasi kemampuan peserta didik (student oriented).
Dengan terwujudnya konsep “Merdeka Belajar” yang ditawarkan di atas, maka faktor utama yang memicu permasalahan pendidikan di Indonesia akan bisa diminimalisasi secara perlahan-lahan. Bahkan, “Merdeka Belajar” bisa dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat. Peserta didik yang bahagia, tenaga pendidik yang bahagia, dan keluarga yang bahagia, sudah pasti akan melahirkan kondisi Indonesia bahagia. Dengan demikian, impian Bangsa Indonesia untuk mewujudkan isi UUD 1945 yang tercatat pada alinea ke-4 yang berbunyi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” akan segera tertunaikan.
*Setiap opini yang telah diterbitkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi Bertuahpos.