BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Pada 24 Agustus 1903, Mohammad Yamin Lahir di Talawi, Sumatera Barat. Dia kelak menjadi perumus Sumpah Pemuda.
Di masa kebangkitan nasional, pemuda dari berbagai organisasi menginginkan adanya wadah persatuan bagi organisasi pemuda. Namun, ada satu tokoh pemuda yang menentangnya, Mohammad Yamin yang saat itu ketua dari organisasi Jong Sumateranen Bond.
Dikutip dari Kompas, alasan Yamin menolak menyatukan semua organisasi pemuda adalah demi kebebasan bergerak. Menurut Yamin, yang diperlukan adalah federasi organisasi pemuda, sehingga organisasi kedaerahan yang ada bisa bergerak bebas.
Saat Kongres Pemuda II sedang berlangsung, Yamin yang menjabat sebagai sekretaris menuliskan gagasannya tentang ‘Sumpah Pemuda’. Kemudian, gagasan ini disampaikan Yamin kepada ketua kongres, Sugondo Djojopuspito.
Gagasan Yamin kemudian dibacakan Sugondo, yang disetujui oleh semua peserta kongres. Maka, lahirlah sumpah pemuda seperti yang dikenal saat ini.
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tak Dukung PRRI, Takut Jenazahnya Ditolak Warga Kampung
Namun, menjelang akhir hayatnya, Yamin ternyata mempunyai ketakutan besar. Yamin dalam wasiatnya berpesan agar nanti dia dikuburkan di kampung halamannya, di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Namun, yang dia takutkan adalah masyarakat Sawahlunto tidak menerima jenazahnya.
Saat terjadi peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Yamin adalah tokoh yang sangat menentang gerakan tersebut. Meski orang Sumatera Barat, namun Yamin sama sekali tidak memihak kepada PRRI.
Atas alasan itulah, maka Yamin mempunyai kekhawatiran bahwa rakyat Sumatera Barat, khususnya Talawi dan Sawahlunto menaruh dendam padanya. Dia takut masyarakat kampungnya tidak mengizinkan jenazahnya dimakamkan di sana.
Yamin kemudian meminta Buya Hamka agar membujuk masyarakat, jika nantinya jenazahnya benar-benar ditolak dimakamkan di Talawi.
Maka diutuslah Menteri Perindustrian saat itu, Chaerul Saleh untuk menemui Buya Hamka. Kebetulan, Chaerul Saleh juga merupakan orang Sawahlunto.
“Jika Buya Hamka yang membujuk masyarakat, pasti semua akan mendengarkan,” ujar Chaerul Saleh, dan Buya Hamka pun bersedia memenuhi permintaan tersebut.
Saat Yamin meninggal pada 17 Oktober 1962, ternyata tidak ada penolakan dari masyarakat Talawi. Mereka sangat mencintai dan membanggakan Yamin sebagai tokoh bangsa. Pemakaman Yamin juga dilaksanakan sebaik-baiknya dengan prosesi militer. (bpc4)