BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Untuk memperdalam ilmu agama, pada tahun 1927, Abdul Malik berangkat ke tanah suci.
Setelah dari Jawa, Abdul Malik pada tahun 1926 kembali ke Padang Panjang. Tujuannya adalah untuk berdakwah dan menyiarkan Islam di kampung halaman.
Namun, sambutan masyarakat tak seperti yang diharapkan. Pidato Abdul Malik tak didengarkan, karena dianggap masih anak kemarin sore.
Karena itu, Abdul Malik kemudian memutuskan untuk pergi ke tanah suci. Namun, pada tanggal 28 Juni 1926, gempa 7,6 Skala Richter mengguncang Padang Panjang.
Gempa ini menimbulkan kerusakan besar, termasuk Madrasah Thawalib sang ayah, Haji Rasul. Karenanya, Abdul Malik menunda kepergiannya ke tanah suci.
Februari 1927, Abdul Malik akhirnya berangkat ke tanah suci. Selama di tanah suci, dia tinggal di rumah Hamid bin Majid, seorang penduduk Mekkah kenalan ayahnya, Haji Rasul.
Selama di Mekkah, Abdul Malik banyak belajar pemahaman Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang ulama besar yang juga merupaka guru dari Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, dan juga Haji Rasul.
Di Mekkah jugalah Abdul Malik bertemu dengan Agus Salim, seorang pejuang kemerdekaan dan juga merupakan seorang pahlawan nasional.
Abdul Malik yang pada awalnya ingin menetap dulu di Mekkah, dinasehati oleh Agus Salim agar segera kembali ke Nusantara. Dari Agus Salim pulalah Abdul Malik mengetahui nama Indonesia, yang sebelumnya hanya dikenalnya sebagai Hindia Belanda.
1928, Haji Abdul Malik benar-benar kembali ke Indonesia. Dia kemudian memutuskan untuk menetap terlebih dahulu di Medan, tepatnya di Tebing Tinggi, untuk berdakwah dan menerapkan ilmunya.
Tidak hanya itu, Abdul Malik juga menjadi seorang wartawan di surat kabar harian Pelita Andalas. Di surat kabar ini, Abdul Malik mempunyai nama Pena, yaitu Hamka, singkatan namanya sendiri, Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Selain jadi wartawan, Hamka juga aktif mengajar mengaji dan juga berdakwah. Hingga akhirnya, dia diminta pulang oleh Haji Rasul dan berdakwah di Padang Panjang. Tahun 1928, setelah kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo, Hamka dipercaya untuk menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang.
Aktivitas berdakwah Hamka pun semakin padat. Dalam dakwahnya, Hamka juga menerbitkan Majalah Kemauan Zaman, yang mana dia sendiri yang menjadi pemimpin redaksi.
Dalam bidang pendidikan, Hamka mendirikan sekolah yang diberi nama Tabligh School. Sebagai Kepala Sekolah, Hamka juga mendidik murid dengan Islam yang bebas dari bid’ah, kesyirikan, dan khurafat, sesuai tujuan Muhammadiyah.
Hamka juga aktif menulis buku, dari buku agama hingga buku roman. Namun, buku-buku karya Hamka tidak disenangi pemerintah Kolonial Belanda. Buku-buku karya Hamka kemudian dilarang beredar, dengan alasan membahayakan.
Semangat Hamka dalam berdakwah tak pernah surut, meski bukunya dilarang oleh Belanda. Tahun 1931 hingga 1934, Hamka bahkan berdakwah di Sulawesi, tepatnya di Kota Makassar. Di kota ini, dia berdakwah sambil mengembangkan organisasi Muhammadiyah.
Dalam periode 1930 hingga 1940, banyak buku yang berhasil diselesaikan Hamka. Dalam pendidikan agama, dia menulis buku Pelajaran Agama Islam yang kemudian diberendel Pemerintah Kolonial Belanda.
Di bidang sastra, buku yang berhasil diselesaikan Hamka antaranya adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wick.
Dua buku ini berhasil diselesaikannya di Kota Medan, saat dia menjadi pimpinan redaksi majalah Pedoman Masyarakat. Kelak, karyanya ini semakin dikenang orang, bahkan diadopsi dalam bentuk film. (bpc4)
Sumber: Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi. Karangan Haidar Musyafa, diterbitkan Imania tahun 2018