Saat itu jam menunjukkan pukul 10 malam dan pembeli sudah sepi. Tapi mereka masih ingin berlama-lama duduk dan menghabiskan waktu di gerai es durian ini. “Tiba-tiba kami melihat ada pemulung lewat malam-malam,” kenang Ari heran. Spontan saja, ia mengajak teman-temannya mengumpulkan uang untuk membeli nasi bungkus.
Bukan karena lapar, tapi niatnya ingin dibagi-bagikan kepada pemulung itu. Dan terkumpullah uang untuk membeli 20 nasi bungkus. Mulailah Ari dan teman-temannya menjalankan aksi membagi-bagikan nasi itu kepada pemulung dan pengemis yang mereka jumpai di jalan.
“Sebenarnya komunitas berbagi nasi ini sudah ada di Bandung. Karena setelah kami komen di twitter Komunitas Berbagi Nasi, eee… ternyata langsung dibalas. Mereka bilang, langsung aja buat komunitasnya,” terangnya pada bertuahpos.com.
Sejak saat itu Ari dan teman-temannya mulai membaca sumpah: “Kami putra putri berbagi nasi berjanji, mempersatukan Indonesia dengan sebungkus nasi. Kami putra putri berbagi nasi mengaku berbangsa satu, bangsa yang mau berbagi. Kami putra putri berbagi nasi menjunjung bahasa persatuan, bahasa lapar.”
Komunitas berbagi nasi ini sebenarnya hanyalah sebuh perkumpulan tak terbatas usia. Mereka turun ke jalan-jalan untuk membagikan sebungkus nasi kepada orang-orang yang berada di jalanan. Mereka menamai diri sebagai ‘pejuang’, sedangkan orang yang diberi nasi adalah ‘target’.
“Desember ini, usia komunitas berbagi nasi Pekanbaru genap 2 tahun,” kata Yuda, salah seorang anggota komunitas berbagi nasi.
Komunitas ini tidak pernah mendata siapa dan berapa banyak jumlah mereka. “Syarat gabungnya mudah, Mas. Cukup membawa nasi semampunya dan ikut membagikan. Jika tidak, boleh menitipkan nasi saja. Tapi jika itu juga tidak mampu, cukup ikut membagikan nasi. “Kalau tak bisa juga, cukup sebarkan broadchast kita aja keteman-teman lain. Itu sudah kita anggap sebagai anggota,” terangnya.
Akhir-akhir ini banyak media mengekspos beberapa pengemis dan pemulung profesional. Mereka menjadikan ngemis sebagai profesi sehari-hari. Hasilnya pun tak tanggung-tanggung, bisa jauh lebih besar dari karyawan kantoran. Tapi komunitas ini punya cara sendiri untuk menentukan kriteria target. “Caranya sangat sederhana, targetnya adalah orang yang tidur beralaskan tanah dan beratap langit. “Itulah alasanya kenapa kita gerak jam 10.00 ke atas. Hingga pernah sampai menjelang subuh,” katanya.
Selain itu ‘target’ juga orang-orang yang masih mengais rezeki hingga tengah malam. Seperti pemulung, loper koran, pengamen, satpam, petugas kebersihan, petugas SPBU atau tukang ojek. “Mereka ini orang-orang yang punya tanggunggungjawab terhadap pekerjaannya. Siapa tahu saat menjalankan tugas itu mereka menahan lapar dan tidak sempat keluar,” tambah Yuda.
Banyak kisah dan cerita menarik dan berkesan saat bergerak dalam komunitas ini. Ia pun berkisah, pernah punya pengalaman menarik ketika ingin memberikan sebungkus nasi pada selah seorang pria tua yang tinggal dalam gerobak, di depan Pasar Cik Puan. Sebelum membagikan bungkusan nasi, Yuda mengajak bapak itu berbincang soal kehidupannya. “Saya lupa namanya, Mas. Yang jelas bapak itu cacat fisik,” katanya.
Saat mengakhiri perbincangan, Yuda menyodorkan sebungkus nasi, dengan harap bisa diterima. Namun tak pernah disangka, ternyata bapak tua itu menolak. Dia bahkan menyuruh Yuda untuk memberikan nasi itu kepada orang lain yang belum makan. “Berikan saja pada orang itu, karena dia belum makan seharian ini,” tirunya.
Kejadian itu terasa berkesan sekali bagi Yuda. “Bayangkan Mas,orang yang belum tentu bisa makan sehari sekali saja, masih sempat memikirkan orang lain, Mas. Bagaimana dengan kita?” tambah Yuda.
Sejak saat itu Yudah yakin, bahwa suksesnya komunitas ini bukan diukur dari seberapa banyak anggota yang ikut atau seberapa banyak nasi yang akan dibagikan. Tapi seberapa lama komunitas ini bisa terus membagi nasi. “Mau sedekah, enggak mesti kaya, biar sedikit yang penting ikhas,” katanya.(melba)