BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Pemanasan Global yang ditimbulkan oleh efek rumah kaca menimbulkan dampak besar yakni fenomena perubahan iklim. Termasuk dialami Provinsi Riau, dimana dalam satu dasawarsa terakhir telah terjadi dua puncak musim panas dan musim hujan.
Pernyataan ini dipaparkan Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Lingkungan Hidup, Ir Mukti Sardjono MSc dalam kegiatan sosialisasi dampak pemanasan global terhadap pembangunan pertanian di Hotel Premiere Pekanbaru, Kamis (11/9/2014) kemarin.
Dampak tersebut telah dirasakan di berbagai tempat di belahan dunia, dalam berbagai aspek. Baik aspek yang berkaitan langsung dengan pertanian, dan kesehatan. Juga memunculkan bencana alam seperti banjir, kekeringan, longsor maupun abrasi pantai.Â
Untuk meminimalisir pemanasan global tersebut, diharapkan kepada seluruh stake holder terkait untuk terus berperan aktif dalam mengendalikan lahan gambut yang ada di Indonesia.
Lahan gambut punya peranan ganda, dimana lahan gambut bertanah organik yang menyimpan karbon yang sangat besar di dalam tanah. Sedangkan di atas tanah ia menyimpan karbon dalam bentuk vegetasi hutan.
“Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan efek rumah kaca sebesar 20 persen. Hal itu telah dituangkan dalam peraturan nomor 21 tahun 2009. Diharapkan dengan aturan yang kita buat ini, gas rumah kaca pada tingkatan global akan turun juga,â€ujar Mukti.
Riau menurut Mukti merupakan salah satu lumbung gambut terbesar di Indonesia. Untuk itu, pengendalian gambut di Riau harus lebih serius ke depannya.
Hal itu disebabkan oleh sebagian besar wilayah riau berada di pesisir dan juga memiliki hutan alam yang luas. Sebagai catatan, Riau memiliki total lahan gambut 4,04 juta hektar atau sektiar 48% dari total wilayah Riau. Bahkan hamparan gambut di Riau itu merupakan 56% dari total gambut di Sumatra.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan, Drs H Zulher MS dalam sambutannya mengungkapkan sangat mendukung kegiatan pengendalian pemanasan global. Menurutnya, pengembangan agro industri berbasiskan kelapa sawit harus mendapatkan penilaian yang pro lingkungan.
Yaitu melalui Roundtable Susitainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Susitainable Palm Oil (ISPO). Dengan kedua sistem tersebut, diyakini pengembangan industri kelapa sawit ke depannya akan semakin ramah lingkungan.
“Seluruh pelaku usaha perkebunan diwajibkan memenuhi seluruh unsur penilaian yang ada di ISPO maupun RSPO. Setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit diberi waktu hingga 31 Desember 2014 agar memiliki sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Bila hingga 1 Januari 2015 perusahaan belum memiliki sertifikat itu, setiap perusahaan perkebunan sawit dapat dikenakan sanksi oleh pemerintahâ€tegas Zulher.
Untuk provinsi riau sendiri, pemanasan global diakibatkan oleh pembukaan lahan dengan cara membakar. Dengan cara membakar ini ini, diperkirakan 5 ton karbon akan terbakar atau hilang per centimeter lahan.
Zulher juga menerangkan bahwa issue kebakaran lahan turut menurunkan daya jual CPO di pasar global. Buktinya hingga bulan September ini harga CPO terus terdorong turun.
“Isu pemanasan global ini turut juga merugikan subsektor perkebunan. Dengan pengendalian pembakaran lahan akan turut memperbaiki citra kelapa sawit di mata konsumen global. Untuk itu, Disbun Riau siap berkoordinasi dengan pihak manapun bagaimana caranya pengendalian pembangunan usaha perkebunan di Riau yang pro lingkunganâ€ujar Zulher.
Sementara itu salah satu pembicara lainnya yaitu Lailan Syaufina, Peneliti dari IPB mengungkapkan bahwa pada tahun 1998 terjadi peningkatan suhu hingga 1 persen dan ini adalah yang tertinggi hingga saat ini.
“Jika suhu bumi ini naik hingga 2 persen saja, maka itu dapat mengancam seluruh makhluk hidup di bumi,†ujarnya. (syawal)