BERTUAHPOS.COM (BPC) – Jika dipandang dari konteks kehidupan modern, aktivitas membunuh manusia untuk dimakan dagingnya ini sangat rumit untuk dijelaskan. Namun, beberapa masa silam di balik rerimbunan hutan Irian Jaya, hal ini menjadi sederhana. Hanya sekadar mengikuti hukum rimba yang ada : membunuh atau dibunuh.
Legenda tentang kanibalisme suku ini masih segar dikenang bagi Asmat generasi muda. Setidaknya, menjadi pengingat bagi mereka bahwa kebiasaan biadab itu hanya milik Asmat masa lampau yang belum mendapat pencerahan hidup.
Alkisah, seorang pemuda bernama Bedn mendapat tugas untuk berburu binatang di hutan untuk santap malam. Ia pun menyusuri Sungai Pomar, mencari-cari binatang apapun sebagai hasil buruannya hari itu.
Tak dinyana, ia berjumpa dengan perahu yang memuat seorang pemuda dari suku Momugu Avumu. Pertikaian tak terhindarkan. Karena kalah pengalaman, pemuda Avumu pun terbunuh. Pertumpahan darah ini cukup menguras waktu Bedn, sehingga di ujung senja Bedn tak memiliki waktu lagi untuk berburu.
Tanpa pikir panjang lagi, ia mulai mencacah daging pemuda Avumu menjadi kecil-kecil dan membawanya pulang. Bedn berbohong dengan mangatakannya sebagai daging binatang.
Sesampainya di tengah kampung, ia telah disambut dengan meriah. Api telah dinyalakan. Rupanya mereka terlalu lama menunggu sehingga tanpa banyak komentar, segera saja daging-daging cacah itu dimasak. Komentar datang bertubi-tubi justru setelah mereka memakan daging pemuda Avumu itu. Sebagian mengatakan lezat, sebagian justru merasa mual. Akhirnya penduduk curiga dan mengakulah Bedn, bahwa ia membawa daging manusia.
Untuk sesaat mereka terhenyak. Sebagian tak kuasa melanjutkan, namun sebagian lagi justru makin bersemangat. Melihat situasi ini, beberapa orang malah menyarankan untuk mengulangi lagi acara itu dan menantang suku-suku lain untuk bertarung. Jika mereka menang, maka berhak untuk memakan daging lawannya. Peristiwa inilah cikal bakal tradisi kanibalisme Asmat.
Bedn makin tertantang untuk memenangkan pertempuran baru dengan suku Avumu. Dan memang, ia memenangkannya dengan gemilang. Kemenangan dan rasa puas ini dianggap sebagai sesuatu yang penting sehingga harus ada penghormatan khusus untuknya.
Maka diperintahkanlah para wanita untuk berdandan dan melakukan upacara makan daging lawan itu tanpa penolakan. Ia mengatakan bahwa arwah nenek moyang merekalah yang memerintahkannya. Bahkan, ketika Bedn akhirnya terbunuh oleh suku lawan, ia bersikeras bahwa semua adalah petunjuk dari arwah suci nenek moyang.
Setelah kematian Bedn, tradisi ini menjadi surut. Dan ketika hampir benar-benar hilang, seorang pemuda lain bernama Jupir mengubah sejarah. Ia bahkan lebih berani dan lebih sadis dibanding Bedn.
Sebelum memasak daging lawannya yang terbunuh, ia terlebih dahulu mengambil organ-organ seperti jantung, hati, usus, paru-paru, dan lain sebagainya. Organ ini dikalungkan di leher selama beberapa hari untuk menghormati arwah nenek moyang.
Dalam perkembangannya, organ yang dikalungkan ini digantikan oleh kepala manusia. Semakin banyak kepala yang digantungkan, makin diakui kekuatannya. Perlombaan sadis ini tak terhindarkan lagi. Makin banyak korban berjatuhan. Hal ini berlangsung hingga beberapa generasi. Untunglah bahwa suku ini kemudian juga melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang tak mewarisi kebiadaban pendahulunya. (iz/jss)