BERTUAHPOS.COM — Nama Frenki, tak asing lagi—terutama di kalangan pembudidaya ikan di Pekanbaru dan Kampar. Hampir setiap hari, dia bertemu dengan orang-orang itu. Bertransaksi dalam bisnis jual beli. Walau, yang dijualnya hanya cacing sutra.
Belum lama ini, saya mendatangi kediaman Frenki di sudut Gang Kuantan, Jalan Hang Tuah, Sail, Pekanbaru. Agak sulit menemukan rumahnya. Tersuruk di dalam sebuah komplek perumahan karena letaknya persis di bantaran Sungai Sail.
Sekelilingnya ditumbuhi pepohonan dan semak belukar. Dari teras, saya dapat menikmati dengan jelas pemandangan Sungai Sail. Airnya keruh. Debitnya lagi tinggi, sisa-sisa pasang air laut setiap penghujung tahun.
Hampir setiap tahun, kondisinya seperti ini. Bahkan, bisa lebih dalam menenggelamkan beberapa rumah warga. Saat pasang besar lima tahunan misalnya, rumah Frenki biasanya tenggelam hingga lebih dari setengah meter.
Di sebelah rumahnya, ada bak cor semen yang tidak begitu besar. Pipa paralon putih menempel di dinding rumah. Dari pipa itu mengalir air ke dalam bak. Di dasarnya, terlihat pemandangan seperti benang kusut merah. Itulah cacing sutra.
Setelah mengambil beberapa gambar dan melakukan wawancara. Frenki menyuguhkan saya segelas kopi tubruk hangat. Kebetulan cuaca juga mendukung. Langit tiba-tiba mendung, cuaca jadi sejuk. Sesekali angin cukup kencang berhembus.
Dari kesimpulan saya, ada dua profesi yang saling berkaitan satu sama lain dalam usaha yang digeluti Frenki. Pertama, penambang atau orang yang mencari cacing sutra di sungai. Mereka menyebutnya petani.
Kedua, pengepul yang hanya membeli cacing sutra hasil tangkapan petani. Petani yang bekerja dengan pengepul, disebut anggota.
Frenki adalah seorang petani sekaligus pengusaha cacing sutra. Kisahnya dimulai pada tahun 2000. Saat itu dia berhenti sebagai karyawan di sebuah perusahaan.
Di tengah kebingungan, dia melihat teman-temannya mengumpulkan cacing sutra dari Sungai Sail. Awalnya, ini bukan pekerjaan yang dia inginkan. Tapi, situasi saat itu tidak memberinya pilihan. “Lagi pula, tak ada salahnya mencoba,” katanya.
Sekitar enam bulan, dia menjadi anggota. Mencari cacing di sungai, dijual ke pengepul, selesai. Jadi anggota memang lebih enak. Tidak perlu mencari pasar. Cacing sutra hasil tangkapan pasti laku. Tapi harganya jauh lebih murah dari harga yang dilepas pengepul ke pasaran.
Kata Frenki, hasilnya cukup lumayan walau hanya menjadi anggota. Cukuplah untuk makan keluarga kecilnya. “Tapi, tak cukup untuk bayar angsuran,” katanya sambil tertawa.
Berangkat dari sana lah, Frenki memutuskan dan mencoba untuk membuka usaha cacing sutra sendiri. Cacing hasil tangkapan teman-temannya dibeli, lalu dijual sendiri. Tapi, dia juga turun ke sungai, agar pasokan cacing sutranya selalu ready.
Karena baru, tentu belum punya pasar. Frenki kemudian berinisiatif membuat profil usaha Cacing Sutranya di Google Map dan Facebook. Saya juga bisa sampai ke rumah ini setelah berselancar dan menemukan kontak WhatsApp Frenki di Google Map.
Pelan tapi pasti, bisnis disebutnya Usaha Cacing Sutra Pekanbaru itu semakin dikenal banyak orang di luar sana. Bahkan, bukan cuma mereka yang butuh cacing sutra, tapi instansi pemerintah dan mahasiswa juga kerap ke sini, bertemu dan bercerita dengan Frenki, untuk keperluannya masing-masing.
Saat itulah dia sadar, bahwa usaha cacing sutra menjanjikan cuan yang lebih dari sekadar lumayan. Lagi pula, dia nyaman menjalani usaha itu.
“Bos atas diri sendiri itu lebih nikmat. Sekarang, saya sudah punya lima sampai enam anggota,” katanya.
Pasar cacing sutra di Pekanbaru tergolong bagus. Komoditas ini banyak dibutuhkan sebagai pakan utama ikan lele, patin, hingga ikan hias. Terutama untuk bibit.
Frenki menyebut, permintaan cacing sutra selalu ada. Kadang-kadang melebihi pasokan. Selain membeli cacing dari anggotanya, dia juga ikut turun ke sungai di depan rumahnya. Setiap hari, bahkan.
Durasi kerjanya sekitar empat jam. Turun ke sungai pukul 08.00, selesai pukul 12.00 WIB. 10 hingga 15 kaleng susu kecil, cacing sutra, didapat dari hasil tangkapan sendiri. Jika digabung dengan anggota, hasilnya bisa puluhan kaleng.
Dari anggotanya, Frenki membeli cacing seharga Rp12.000 per kaleng. Lalu, dilepas ke pasar dengan harga Rp15.000 hingga Rp20.000 per kaleng.
Paling banyak, sehari dia pernah menjual hingga 300 kaleng cacing sutra. Saya mengalikan di harga Rp15.000 saja, omzet yang didapat Frenki bisa mencapai Rp4,5 juta. Itu sehari.
Tapi, kata dia, rata-rata per hari cacing sutra yang terjual di atas 50 kaleng. Dalam hitungan saya, pendapatan kotornya per hari sekitar Rp750.000 (silahkan dikalikan sendiri jika ingin tahu penghasilan dalam sebulan. Angkanya puluhan juta).
Saat saya bertanya, Frenki tak menyebut angka pastinya. Dia cuma bilang, “Rata-rata di atas UMR lah, Bang,” ujarnya sumringah.
Harga ini sepadan memang, karena untuk mendapatkan cacing sutra dari sungai tak semudah yang dibayangkan. Ancamannya banyak. Namanya alam, tentu tidak selalu bersahabat. Belum lagi lintah yang tiba-tiba nempel di badan. Sesekali berhadapan dengan ular.
Alat yang digunakan untuk mencari cacing sutra sederhana, seperti; tangguk, ember dan ayakan. Lumpur yang dikeruk dari dasar sungai, disaring dalam ayakan. Setelah itu, cacing-cacing yang masih bercampur dengan lumpur ini, diendapkan.
Setelah didiamkan dalam durasi tertentu, cacing dengan sendirinya akan mengambang ke permukaan air. Lalu, dipindahkan ke bak penampung khusus—terbuat dari cor semen.
Di sini, proses perawatannya juga tak serampangan. Air bersih harus tetap mengalir. Mesin pompa harus tetap menyala. Jika penanganannya tidak tepat, cacing akan mati.
Di bak penampungan itu, Frenki menggunakan mesin pompa—yang bisa dipakai untuk akuarium. Dia sengaja menyetok beberapa mesin, jika sewaktu-waktu ada yang rusak atau tidak berfungsi dengan baik. “Kalau mesin mati, penanganannya tidak tepat, cacing juga bisa ikut mati,” ungkapnya.
Meski terlihat menggiurkan, usaha cacing sutra juga memiliki tantangan. Terutama kondisi alam. Saya, berdiri di pinggir sungai di depan rumah Frenki. Debit air masih sangat tinggi, sisa pasang akhir tahun kemarin.
Ini situasi yang tidak menguntungan bagi orang-orang yang menggeluti usaha seperti diri Frenki. Saat sungai meluap atau banjir, proses untuk mendapatkan cacing sutra jauh lebih ekstra. Petani harus menyelam ke dasar sungai untuk mengambil lumpur, dan berjibaku dengan arus dan lintah.
Kata Frenki, di kondisi seperti ini cacing selalu ada. Tapi untuk mendapatkannya lebih sulit. Hasilnya tidak sesuai dengan usaha. Meski demikian, dia sudah sangat beruntung bisa membangun rumah dan tinggal di pinggir sungai.
Bahkan, Frenki sengaja mendesain pintu depan rumahnya berhadapan langsung dengan sungai itu. Berbeda dengan kebanyakan rumah di komplek ini, yang dapurnya menghadap ke sungai.
Di tengah banyak orang menganggap sungai layaknya tong sampah kedua, sangat berbanding terbalik bagi orang-orang seperti Frenki. Bagi mereka, sungai adalah sumber kehidupan, sungai menjadi habitat paling ideal bagi cacing sutra, bahkan biota-biota lainnya.
Perbincangan saya dengan Frenki harus dihentikan, karena rintik hujan sudah mulai turun. Saya pamit, lalu menyusuri jalan setapak di samping rumahnya menuju ke tempat parkir kendaraan di pinggir jalan komplek perumahan.
Di tengah gerimis itu, pikiran saya bergeming; orang malas pasti betah hidup miskin. Saya beruntung dipertemukan dengan Frenki. Hanya dengan memanfaatkan sungai di depan rumah, dia bisa menghidupi keluarga kecilnya selama 24 tahun, dengan cacing sutra.***