BERTUAHPOS.COM – Desa Sungai Tohor di Kecamatan Tebingtinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti resmi ditetapkan sebagai Desa Devisa melalui program Special Mission Vehicle (SMV) Icon oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Dalam acara yang dilaksanakan secara daring 26 Agustus 2024 itu, Desa Sungai Tohor terpilih bersama dua daerah lainnya di Sumatera yakni Aceh dan Sumatera Selatan.
Terpilihnya Desa Sungai Tohor berkat keberhasilan mengoptimalkan potensi sagu yang menempatkan di peringkat atas komoditas ekspor Indonesia. Sekedar informasi, Desa Devisa adalah program diinisiasi oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)/Indonesia Eximbank bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dan perusahaan swasta. Misinya memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat lewat pengembangan potensi komoditas unggulan desa.
Program yang sudah berjalan sejak 2019 itu ditargetkan akan mengembangkan 5.000 desa devisa hingga 2024. Pelaku usaha yang tergabung dalam Desa Devisa maupun Desa Pendulum Devisa akan mendapatkan pembinaan intensif untuk peningkatan kualitas produk, manajemen keuangan dan pemasaran serta fasilitasi pembiayaan ekspor. Setakad ini Desa Devisa terbanyak se-Indonesia berada di Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim per 31 Desember 2023, tercatat sebanyak 149 desa devisa di Jatim. Jumlah tersebut merupakan 25 persen dari total seluruh desa devisa se-Indonesia yakni 613 desa.
Beragam komoditi Desa Devisa Jatim antara lain meliputi Tenun Gedog Tuban, Jahe serta Gula Aren Pacitan, Batik Aromateraphy Bangkalan, Kopi Bondowoso, Daun Kelor Sumenep, Kendang Jimbe Blitar hingga Udang Vaname Situbondo dan Rumput Laut Sidoarjo.
Intensifikasi dan Ekstensifikasi
Sebagai bagian dari Provinsi Riau, kita patut berbangga atas penetapan Desa Sungai Tohor. Kami selaku anggota Komisi V bidang Kesejahteraan Rakyat meliputi Pemberdayaan Masyarakat Desa mengapresiasi dan berharap program lebih diintensifkan dan diekstensifkan.
Sehingga muncul desa-desa devisa lainnya di Riau. Tentunya keuntungan bagi daerah. Pertama, bentuk pengakuan atas kontribusi masyarakat, dukungan terhadap petani lokal dan pengembangan Sentra Industri Kecil dan Menengah (SIKM).
Kedua, output program sejalan kepentingan nasional. Kembali ke Provinsi Jatim, seiring berkembangnya Desa Devisa, kontribusi nilai ekspor nonmigas tumbuh signifikan. Bahkan Jatim termasuk penyumbang nilai ekspor sebesar 8,6 persen dari total ekspor nasional.
Riau perlu menempuh langkah progresif serupa agar tidak semata tergantung pada sektor Migas. Bangkitnya ekonomi desa tak hanya berdampak pada membaiknya kesejahteraan warga tempatan. Tetapi turut membantu Negara berdaulat secara ekonomi.
Kala mayoritas eksportir besar menyimpan devisa di negara lain, pelaku usaha kecil menengah termasuk petani di desa bisa naik kelas sebagai eksportir. Peran mereka diperlukan supaya devisa Indonesia tetap terjaga. Berhubung cadangan devisa semakin tergerus, Indonesia butuh cadangan devisa yang kuat agar nilai rupiah tidak terus tertekan.
Penting digarisbawahi, dampak positif paling utama yaitu penguatan desa berbasis keunggulan “tradisional”. Topik ini urgen diketengahkan. Menimbang belakangan sering diberitakan konflik melibatkan Pemerintah dan masyarakat akibat investasi.
Terlebih ketika investasi tidak sejalan nilai unggul daerah, mengenyampingkan akses warga dan masyarakat hukum adat ke sumber ekonomi. Akhirnya mereka cuman penonton di negeri sendiri dan merana di atas tanah yang didiami selama bergenerasi.
Memang investasi membuka lapangan kerja. Cuman kualitas kehidupan turun level dari semula memiliki lahan beralih jadi pekerja. Untung paling banyak tetap saja investor. Ironisnya pundi-pundi kekayaan yang diperoleh di tanah air ditempatkan di luar negeri semisal di negara tetangga seperti Singapura.
Kami bukan bermaksud anti investor asing. Apalagi Riau peringkat teratas investasi di Sumatera. Namun investasi yang kita kehendaki punya nilai tambah. Membuat warga asli dan tempatan berdaya dan sejahtera.
Keunggulan Daerah
Disamping nilai tambah, investasi dan pembangunan ekonomi mesti berorientasi keunggulan daerah. Terkait ini relevan diangkat program Cetak Sawah 1 Juta Hektare guna meningkatkan ketahanan pangan nasional di Merauke, Papua Selatan.
Barangkali kita pernah dengar berita pembelian 2.000 ekskavator oleh seorang pengusaha kawakan asal Kalimantan. Jumlah pembelian disebut terbesar di dunia. Ribuan ekskavator didatangkan untuk membuka hutan dan membangun infrastruktur jalan demi proyek lumbung pangan nasional (Food Estate) ratusan ribu hektar.
Mirisnya, kebijakan Pemerintah Pusat terkesan minim kajian. Selain memunculkan kekhawatiran hilangnya sumber hidup komunitas adat dan masyarakat lokal, juga kontraproduktif dengan diversifikasi pangan. Padahal bumi Papua dikenal penghasil sagu yang telah membudaya sejak puluhan ribu tahun.
Kementerian LHK malah pernah mengulas sagu Papua yang kian terabaikan. Lebih aneh lagi, saat banyak sawah produktif beralih fungsi atau digusur demi pembangunan infrastruktur dan Proyek Strategis Nasional (PSN) kayak tol, bandara dan lain-lain, kini hutan mau dirambah untuk cetak sawah di Papua yang notabene aslinya bukan produsen beras.
Belajar dari Food Estate di daerah lain, hasilnya banyak tak sesuai ekspektasi. Sudahlah defrostasi ancam lingkungan, masyarakat setempat dikesampingkan.
Berangkat dari pemaparan, kita tidak ingin fenomena sama terjadi di Bumi Lancang Kuning. Itulah kenapa asa terhadap program Desa Devisa demikian tinggi. Sebab selaras dengan upaya memajukan desa dan mensejaterakan warganya yang menonjolkan keunggulan unik daerah.
Untuk memaksimalkan program ke depan, Pemda mulai Pemerintah Provinsi (Pempro) Riau bersama Kabupaten/Kota seharusnya duduk bersama guna menyamakan persepsi, berkolaborasi lintas sektoral dan keberpihakan anggaran.
Disinilah APBD dipergunakan sebagaimana mestinya. Seumpama kata bijak, yang menanam akan menuai. Berkaitan aspek teknis, Pemda diminta lebih aktif lagi mengidentifikasi produk unggulan berorientasi ekspor dan berpeluang diproduksi secara massal oleh suatu desa.
Didasarkan pada indikator untuk mengembangkan sebuah desa menjadi Desa Devisa dengan mempertimbangkan sejumlah aspek yaitu produk, konsistensi dan keberlanjutan produksi, pemberdayaan masyarakat dan koordinasi antar stakeholder, produsen dan manajerial, infrastruktur dan sarana penunjang lain sesuai standar Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Apabila pendekatan ini ditempuh penuh komitmen, niscaya menjadikan desa sentra dan lebih berdaya.
Prof. Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.
ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU