BERTUAHPOS.COM – Partisipasi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Provinsi Riau mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya.
Salah satu sorotan utama adalah Kota Pekanbaru, yang mencatatkan angka partisipasi hanya sebesar 46 persen, jauh di bawah harapan.
Ilham Muhammad Yasir, pengamat dari Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), menyebutkan bahwa angka partisipasi yang rendah ini menjadi alarm bagi perkembangan demokrasi di Riau.
Ia bahkan membandingkan situasi ini dengan rendahnya partisipasi di Kota Medan pada Pilkada 2015.
“Partisipasi di Kota Pekanbaru yang menjadi barometer sebagai ibu kota provinsi sangat rendah, bahkan tidak mencapai 50 persen. Ini perlu menjadi perhatian khusus,” ujar Ilham, yang juga mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Senin 2 Desember 2024.
Meskipun angka partisipasi di Pekanbaru dan beberapa daerah lainnya merosot, beberapa kabupaten seperti Kuantan Singingi (Kuansing), Rokan Hulu (Rohul), dan Rokan Hilir (Rohil) berhasil menunjukkan kontribusi yang signifikan untuk menahan angka total partisipasi di Riau agar tidak jatuh lebih dalam.
“Ketiga kabupaten ini menunjukkan tren partisipasi yang lebih baik dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Namun, secara keseluruhan, partisipasi pemilih di Riau cenderung menurun jika dibandingkan dengan Pilkada 2020,” tambah Ilham, yang pernah menjabat sebagai Ketua KPU Provinsi Riau periode 2019–2024.
Ilham mengidentifikasi beberapa faktor penyebab penurunan ini, salah satunya adalah rasa jenuh masyarakat terhadap agenda politik yang berdekatan.
Pemilu 2024 yang dilaksanakan pada bulan Februari, diikuti dengan Pilkada pada November, dinilai terlalu rapat dan membuat masyarakat enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Meskipun sosialisasi telah dilakukan, jarak waktu yang sempit ini membuat masyarakat enggan datang ke TPS,” jelasnya.
Selain itu, keterlibatan elite politik secara vulgar, termasuk pejabat tinggi negara, juga dirasa mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
“Pemilih merasa tidak nyaman dengan tontonan politik yang terlalu mencolok, sehingga Pilkada terasa hambar,” paparnya.
Ilham juga menilai bahwa penyelenggara pemilu kelelahan menghadapi dua pesta demokrasi besar dalam tahun yang sama. Ia merekomendasikan agar Pilkada mendatang tidak lagi dilaksanakan berdekatan dengan Pemilu.
“Idealnya, Pilkada serentak nasional dilakukan dua tahun setelah Pemilu, seperti yang direncanakan dalam naskah akademik UU Pilkada pada 2011–2012. Hal ini akan memberi ruang jeda untuk pemilih dan penyelenggara,” tegasnya.
Ilham menyarankan agar Pilkada serentak nasional berikutnya digelar pada 2027, bukan 2029, agar tidak lagi bertabrakan dengan Pemilu 2029.